tag:blogger.com,1999:blog-71117867662397539742024-03-13T08:05:06.035-07:00ABDUL QODIR QUDUSMas Doelhttp://www.blogger.com/profile/00461627397766309038noreply@blogger.comBlogger50125tag:blogger.com,1999:blog-7111786766239753974.post-4359725612706703022011-07-12T19:03:00.000-07:002011-12-29T20:18:45.629-08:00RENUNGAN; BILA AJAL TIBA<div align="justify"> <span class="awal">S</span>udah menjadi keyakinan dalam kehidupan kita, bahwa segala yang ada permulaannya, tentu akan ada penghabisannya, setiap yang punya awal, mesti akan punya akhir, tidak ada keabadian dalam kehidupan dunia ini, semuanya datang dan pergi silih berganti, berubah oleh pergeseran masa dan pertukaran waktu.<span class="fullpost"> Demikianlah kalau kita mau merenungi dari alam di sekitar kita, sejak dari kehidupan tumbuh-tumbuhan, binatang, sampai kepada kehidupan kita, makhluk bernama manusia.<br />Lihatlah kita manusia misalnya, dimulai sejak kita terlahir ke alam ini, keluar dari rahim ibu, menjadi bayi yang merah tidak berdaya, untuk kemudian berangsur meningkat menjadi anak-anak. Dari kehidupan anak-anak berubah kita lagi menjadi remaja, dengan segala keceriaan dan kelincahannya, dan dari masa remaja, naik lagi kita memasuki usia dewasa, untuk kemudian berangsur memasuki hari tua.<br />Lalu… setelah kita memasuki hari tua, sehari, seminggu, sebulan, setahun, sampailah kita kepada batas waktu yang telah ditentukan oleh Allah, yang dinamakan ajal dan bertemulah kita dengan yang disebut maut. Ini merupakan kepastian dalam kehidupan.<br />Kalau saja kita mau merenung, perubahan-perubahan yang terjadi pada diri kita, seharusnya membuat kita insaf dan sadar. Bila maut sudah menjemput kita, apakah selesai sampai disitu, belum. Kalau lahir merupakan perpindahan hidup dari alam rahim ke alam dunia, maka mati hakikatnya perpindahan hidup dari alam dunia ini ke alam kehidupan berikutnya yang dinamakan alam barzah.<br />Andai kata hidup cuma sekali, secara moral kita sanggup berkata, alangkah tidak adilnya Tuhan, kenapa? Dalam kehidupan ini kan… aneka ragam terjadi, ada orang dzlaim, ada orang yang didzalimi, ada orang yang membunuh, ada orang terbunuh, ada orang yang kaya, ada orang miskin, ada orang yang jujur, ada orang yang menghalalkan segala cara, sehingga banyak ketidakadilan yang terlepas dari pengadilan dunia. Andai kata hidup cuma sekali, tidak ada hidup setelah hidup yang sekarang ini, bagaimanakah nasib mereka yang lepas dari pengadilan dunia ini. Alangkah tidak adilnya Allah, andai kata tidak ada kehidupan setelah hidup sekarang ini, tentulah akan terjadi, dimana orang akan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, yang penting kan… saya kaya, yang penting kan… saya punya kedudukan tinggi, kalau perlu jilad atas, sikut kiri-kanan, kalau perlu injak orang bawab, injak yang bawah. Ini perinsip orang komunis, dan pantas…, karena mereka tidak percaya kepada kiamat, pantas…karena mereka tidak percaya kepada hidup sesudah hidup yang sekarang.<br />Sebagai muslim yang percaya bahwa kiamat pasti ada, akhirat pasti ada, hidup hanya cuma sekali, maka kalau kita dzalim, kalau kita berbuat aniyaya, kalau kita melakukan korupsi, kalau kita merugikan orang lain, boleh jadi kita terlepas dari pengadilan dunia, tapi ingatlah bahwa kita tidak akan pernah lepas dari pengadilan Allah, pengadilan Qodhi Rabbul Jalil, dimana kita akan diadili seadil-adilnya, dan tidak ada perbuatan salah yang bagaimanapun kecilnya tidak akan lepas dari pengadilan di akhirat itu nanti.<br />Pantas saja…. kalau suatu hari malaikat jibril dating menesehati Rasulullah SAW, yang artinya juga menesehati kita semua. Apa kata malaikat jibril kepada Baginda Nabi.<br />يَا مُحَمَّدْ إِسْمَ شِئْتَ فَإِنَّكَ مَيِّتٌ<br />Hai… Muhammad hiduplah semau kamu, tapi jangan lupa, kamu pasti akan mati, Dan mati itu bukan akhir segalanya, dia babak baru bagi kehidupan selanjutnya, silahkan hidup menurut mau mu, tapi jangan lupa kau pasti akan mati.<br />وَعْمَلْ مَا شِئْتَ فَإِنَّكَ مَجْزِيٌ بِهْ<br />Kerjakan apa saja yang kau mau, (kalau kau menghalalkan segala macam cara, persilahkan kau kerjakan), tapi jangan lupa kau akan mendapatkan balasan dari seluruh amal perbuatan mu.<br />وَأَحْبِبْ ماَ شِئْتَ فَإِنَّكَ مُفَرِّ قُهُ<br />Dan cintailah apa yang mau kamu cintai, (kau cintai anak-istri mu, silahkan..., kau cintai harta-benda mu, silahkan..., kau cintai pangkat dan jabatan mu, persilahkan...), tapi jangan lupa, kau pasti akan berpisah dan meninggalkan segala apa yang kau cintai itu.<br />Apa artinya ini buat kita, ternyata setelah maut menjemput kita, ada kehidupan setelah hidup sekarang ini. Setelah kiamat datang, kau akan diminta pertanggung jawab setelah kehidupan sekarang ini.<br />Oleh karena itu, kehidupan akhirat bukanlah dongeng dan tahayul, bukan khurafat dan hayalan. Kehidupan akhirat, hari kiamat adalah kebenaran dan kepastian. Dalam surah al-Hajj ayat ke 7 Allah SWT menyatakan :<br />Artinya : “Dan Sesungguhnya hari kiamat itu pastilah datang, tak ada keraguan padanya; dan bahwasanya Allah membangkitkan semua orang di dalam kubur”<br />Nah….. kalau kita sudah yakin, bahwa kiamat sesuatu yang pasti adanya, akhirat sesuatu yang pasti adanya, dari mana pembicaraan kiamat itu kita mulai, tentu dari kita. Marilah kita memulai merenungi dari proses hidup ini, sampai kita memasuki kiamat,<br />Tidak ada makhluk secantik manusia, dari seluruh makhluk yang diciptakan Allah itu, manusia fi ahsani taqwin (dalam bentuk yang paling sempurna), dari susunan biologis, sampai kemampuan berfikir. Kesempurnaan hidup manusia di topang oleh dua unsur pokok, perama: unsur jasmani, dan kedua: unsur rohani (jasad dan roh). Jasad kita, kalau sudah ditinggalkan oleh ruh, tidak bisa berbuat apa-apa.<br />Muslim dianjurkan banyak-banyak mengingat mati dalam kehidupan, mengingat mati sesungguhnya akan mendorong manusia untuk bekerja lebih tekun, sebagaimana yang dicontohkan oleh Umar bin Khattab, tatkala ada perintah untuk berhijrah…..<br />Apa yang membuat orang takut mati, (1) dia tidak tahu bagaimana kehidupan setelah mati (alam kubur gelap, alam kahirat gelap) sehingga dia bingung, kemudian takut. (2) boleh jadi karena bayang-banyangan dosa yang pernah dia kerjakan di dunia ini, dia tertawa, bahagia diatas tumpukan dosanya, merasa segan berpisah dengan kehidupan ini, sehingga, boleh jadi maut merupakan sesuatu yang ditakutkan benar adanya dalam kehidupan. Tapi bagaimana pun takutnya, tidak ada tempat lari dari maut.<br />Dalam ayat lain Allah SWT menjelaskan :<br />أَيْنَمَا تَكُنُوْ يُدْرِكُمُ الْمَوْتُ وَلَوْكُنْتُمْ فِي بُرُجٍ مُسَيَّدَهْ<br />Artinya : “Dimana saja kamu berada (dalam benteng yang paling tangguh sekalipun) maut pasti akan datang menjemput kamu”<br />Nah… Bagaimana caranya maut menjemput kita? Bila datang dia, sang malaikat pencabut nyawa, malaikat Izrail namanya, hendak mengambil ruh kita. Dalam kondisi seperti itu, terbagilah manusia dalam dua bagian besar, pertama, yang menghadapi sakaratul maut itu dengan Husnul Khotimah (baik diakhirnya) sehingga pada saat ruh tatkala berpisah dengan jasadnya, kelihatan dia seperti senyum, mukanya cerah, bahkan sebelum itu boleh jadi dia sempat meninggalkan pesan-pesan yang baik, ada yang sempat baca tahlil, ada yang sempat baca al-Qur’an, sekalipun demikian, saat ruh mau keluar, sakitnya tiada tara. Rasulullah SAW dikala beliau hendak berhadapan dengan sakaratul maut, diceritakan “mencelupkan tangannya ke dalam gelas berisi air, lalu mengusapkannya ke mukanya, seraya berdo’a : Ya Allah mudahkan saya dalam mengahdapi sakarat ini. Beliau juga mengatakan bahwa sakitnya sakaratul maut sama dengan 300 kali bacokan pedang, sehingga kita diajarkan do’a, diantara do’a selamat “Allahumma hawwin alaina fi sakaratil maut” (Ya..Allah mudahkan saya dalam menghadapi sakaratul maut itu). Tatkala ruh mau keluar dari jasad, mata masih mengikuti ruh itu.<br />Adapun golongan kedua tatkala berhadapan dengan sakaratul maut mendapatkan Syu’ul Khotimah (jelek diakhirnya). Setelah ruh berpisah dari badan, maka tinggallah jasad, ditangisi oleh orang yang kita tinggalkan, sehingga kepada putrinya Fatimah Rasulullah SAW, tatkala mau dijemput oleh malaikat maut, beliau berkata kepada putrinya: “Fatimah…kamu tahu siapa yang datang, Fatimah menjawab saya tidak tahu abah…yang datang itu Haadzimul Lazza (itu dia yang menghacurkan seluruh kesenangan dunia) wa qati’u syahwat (yang memisahkan kita dengan seluruh yang kita cintai), dia malaikat maut Fatimah.<br />Diuruslah jasad kita, dimandikan, sebagaiman mestinya, dikafani dengan kain putih tiga lembar, itu yang kita bawa kembali ke tempat asal kita, harta yang banyak, isteri yang cantik, anak yang lucu, tidak ada yang menyertai kita, kain putih 3 lembar saja, diiringkan kita ke arah kiblat, orang mensholati kita, kemudian upacara pelepasan, berangkat kita meninggalkan anak, isteri, suami, kampung halaman, tanah air, bahkan alam dunia ini. Selamat tinggal alam beserta isinya, saya akan kembali ke tempat asal saya, dan akan mempertanggung jawabkan semua perbuatan yang saya lakukan di alam dunia ini.<br />Manakala upacara pelepasan selesai, selesailah sudah…dimasukkan kita ke keranda jenazah, dibawalah kita ditempat peristirahatan terakhir…yang luasnya tidak lebih dari 2 x 1 meter. Gumpalan tanah akan menjadi bantal kita, dibaringkan kita kearah kiblat. Orang-orang akan pulang ke rumahnya masing-masing, masuklah kita ke alam selanjutnya yaitu alam barzah atau alam kubur, apa selesai hidup sampai disitu “tidak”.<br />Semoga Allah SWT senantiasa menyayangi kita, memberikan tempat yang terbaik disisinya, dan semoga di akhir hayat kita nanti menjadi Husnul Khotimah, ditempatkan pada tempat yang terbaik dan dikumpulkan bersama orang-orang yang dicintainya. Amien Ya Rabbal ‘Alamien.</span><br /></div>Mas Doelhttp://www.blogger.com/profile/00461627397766309038noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7111786766239753974.post-27501127804349939362010-09-24T19:43:00.000-07:002011-12-29T20:18:58.468-08:00BILA DO’A TAK TERJAWAB<div align="justify"> <span class="awal">S</span>atu hari ketika ulama besar bernama Al-Imam Al-Faqih Abu Lais tengah berjalan-jalan di dekat kota Bashrah, berkumpullah sekelompok orang di dekat beliau, mereka datang mengajukan satu pertanyaan…imam..<span class="fullpost">kami ingin bertanya di dalam Al-Qur’an itu Allah SWT menjelaskan Ud’uni Astajiblakum (berdo’alah kepada Ku maka akan Aku jawab do’a mu, mintalah kepada Ku akan Aku kabulkan permintaan mu) itu dan begitu janji Allah dalam Al-qur’an. Kami (mereka) sudah lama berdo’a kepada Allah, kenapa sampai sekarang do’a kami belum dikabukan, katanya jika kamu berdo’a maka akan aku kabukan..itu janji Allah, pagi siang, sore, malam..terus berdo’a, tapi nyatanya do’a kami sampai sekarang belum dikabulkan…ini bagaimana Imam ? apa Al-Qur’an salah, apa Tuhan pura-pura tidak dengar atau do’a kami terbalik….sebenarnya sepele aja ini, do’a tidak di dengar oleh Allah, permohonan tidak dikabulkan oleh Allah, tapi sebenarnya kalau kita mau merenung “kemalangan apa yang paling besar dalam kehidupan ini, selain dari pada kalau permohonan dan do’a kita sudah tidak dihiraukan oleh Allah” artinya hidup sudah tidak diopeni/tidak dihiraukan oleh Allah.<br />Menanggapi pertanyaan ini Imam Al-Faqih Abu Lais tersenyum kemudian berkata: “tuan-tuan tahu kenapa do’a tuan-tuan tidak mau dijawab, permohonan tidak dikabulkan, ‘tidak tahu”. Allah sudah tidak memperdulikan tuan-tuan ini” mereka menjawab: kami tidak tahu tuan, karena itu kami bertanya” Al-Imam Al-Faqih mengatatakan:<br />Begini..hati tuan-tuan itu mati, dari hati yang mati cenel tidak nyambung kepada Allah, maka bagaimana mungkin do’a tuan-tuan dikabulkan ? hati mu mati..pantai kalau permohonan tidak dipenuhi, pemintaan tidak dikabulkan, do’a tidak dijawab.<br /><br />Dari hati yang mati ini getaran tidak akan sampai ke Hadratullah Azza Wajalla, nah..ini juga penyakit yang harus kita waspadai, tatkala hati mati, jasad masih hidup, artinya jadilah kita bangkai berjalan di hadapan Allah swt. Sementara kita disibukkan dengan menggali berbagai macam jenis obat penangkal penyakit dzahir, dan kita kurang perhatian mencari obat penangkal penyakit banthin yang kalau diserang penyakitnya menghacurkan kehidupan abadi diakhirat nanti.<br />Perkembangan ilmu kedokteran, nyata benar diikuti dengan perkembangan jenis-jenis penyakit, makin maju ilmu kedokteran makin modern penyakit, dulu kita tidak kenal yang namanya aids, tidak kenal kencing manis, lever.<br />Kemudian mereka bertanya lagi: “yang menyebabkan hati kami mati apa Imam?” beliau menjawab :<br />Pertama :<br />Yang menyebabkan hati mu jadi mati, kamu kenal benar kepada Allah, tapi haknya untuk disembah, kewajiban untuk menyembah, tidak pernah kamu laksanakan, bagiamana Allah tidak akan jauh dari kita, kalau kita tidak mendekat, melakukan pendekatan, dan pendekatan kepada-Nya hanya bisa kita lakukan melalui jalur kegiatan ritual ibadah, Allah akan terlalu jauh apabila kita hanya membicarakannya lewaf filasafat dan renungan yang mendalam, tapi Allah akan dekat dan terasa hadir dalam hidup apabila kita dekati dengan pelaksanaan ibadah kepadanya. Tanpa pendekatan Allah akan menjauh.<br />Oleh sebab itu logika mengajarkan kepada kita berpayah-payah dulu, Inna ma’al Yusri Yusra (dibalik kesulitan, menunggu kemudahan), nikmat akan terasa, kelezatan hidupan baru akan terasa seelah kita jerih payah, bantin tulang, peras keringat.<br /><br />Kedua,<br />Kamu baca Al-Qur’an, tapi ajarannya tidak pernah kamu amalkan, kamu baca Al-Qur’an tapi isinya kamu injak-injak, sehingga ada peringatan dari Rasul SAW. beliau bersabda :<br />Tiga peringatan keras, yang merupakan gejalan penyakit kita umat Islam, diperingatkan oleh Nabi kita:<br />Pertama :<br />Apabila umat ku telah mengagung-agungkan dunia, apabila umat ku telah jatuh menjadi umat yang materialistic, segalanya diukur dari sudut keduniaan saja<br />Maka akan dicabutlah dari mereka kehebatan Islam, hilang kehebatan Islam apabila kita jautuyh menjadi umat pengagung dunia, penyembah materi, keberadaan kita tidak dihargai orang. Orang memandang kita remah saja, karena kita menjadikan dunia tujuan, padahal dunia hanya alat, materi cuma alat, harta cuma alat.<br />Yang kedua:<br />“Apabila telah ditinggalkan amar ma’ruf dan nahyi munkar, maka hilanglah keberkahan wahyu” ini ada hubungannya dengan kita…kita baca al-Qur’an tapi kita tidak amalkan isinya, bagaimana hati tidak menjadi mati. Amar ma’ruf dan nahi munkar ditinggal orang…hilang keberkahan wahyu, pada saat itu boleh jadi Al-Qur’an ada, tapi cuma tinggal tulisan saja, Islam ada, tapi tinggal hanya nama saja, di seminarkan, di muktamarkan, tapi tidak pernah dijabarkan dalam kehidupan sehari-hari. <br /><br />Peringatan ketiga dari Nabi :<br />Apabila umat ku sudah saling berbantahan, apabila umat ku sudah saling caci memaki, Jatuhlah mereka dalam pandangan Allah SWT.<br />Maka kita kembali kepada persoalan, hal kedua yang menjadikan hati jadi mati<br />Kita baca Al-Qur’an, tapi ajaran nyaris tidak kita amalkan di dalam kehidupan kita, akibatnya hati lalu jadi mati…itu yang kedua.<br />Yang ketiga, yang menyebabkan hati menjadi mati dan do’a tidak terjawab.<br />Kamu mengaku, kamu memproklamirkan diri sebagai umatnya Nabi Muhammad, tapi sunnahnya tidak pernah kau amalkan, malah perkambangan terakhir bukan mengamalkan sunnah, malah mengingkari sunnah (inkar sunnah.<br />Bagiaman hati tidak menjadi mati apabila tiap hari kita proklamirkan diri sebagai umat nabi Muhammad sementara sunnahnya kita campakkan dan kita ingkari. Padahal jikalau sekarang kita mengenal Islam, jikalau kita sekarang mengerti, tahu halal haram, bisa memilih antara yang ma’ruf dan yang munkar, itu semua karena jasa Nabi Muhammad SAW. Yang dari generasi ke generasi, dilanjutkan oleh para sahabat, oleh tabi’in, oleh tabi’in tabi’in, terus oleh para ulama-ulama sampai kepada kita sekarang ini. Walaupun beliau berfungsi sebagai penyampai tapi keperibadiannya dijadikan model oleh Allah SWT di dalam kita melaksanakan kehidupan beragama.<br />Di dalam diri Rasulullah itu, terdapat suri tauladan yang baik bagi kita, Oleh karena itu, pada pertemuan kali ini, apabila kita konsekuen mengaku umat Nabi Muhammad, mari konsekuen juga menegakkan sunnahnya.<br /><br />Keempat : yang menyebabkan hati menjadi mati dan do’a tidak dikabulkan:<br />Tiap hari kamu makan nikmat Tuhan Mu, tapi kamu tidak mau bersyukur kepada-Nya kepada Allah SWT.<br />Tidak pernah sehari dan sesaat pun terlepas diri dan hidup ini dari nikmat-nikmat yang diberikan Allah, sejak kita tidur, bangun, dan tidur kembali bahkan tidur itu sendiri, di pasar, di sawah, di kantor, dimanapun kita berada tidak pernah nikmat Allah berhenti. Hidup kita di alam ini, diberikan kita fasilitas untuk menunjang kehidupan, tidak pernah Allah pasang pajak matahari, tidak pernah Allah pasang pajak gas udara. Nikmat-nikmat yang banyak itu, tiap hari kita nikmati, tapi kita tidak pandai bersyukur, padahal Allah swt memberikan peringatan keras dalam hadits Qudsinya.<br />Siapa yang tidak mau bersyukur terhadap nikmat yang Aku berikan kepadanya, dan tidak mau bersabar tehadap ujian yang Aku berikan kepadanya, silahkan keluar saja dari kolom langit ini, dan cari Tuhan selain Aku.<br />Diusir oleh Allah, kalau orang tidak mau bersyukur terhadap nikmat yang Aku berikan, dan tidak mau bersabar terhadap ujian yang aku timpakan, keluar dari kolom langit Ku, keluar…cari Tuhan selain Aku.<br />Diusir kita oleh Allah…kalau kita diusir dari Jakarta, kita masih boleh pindah ke Malang, diusir kita dari Malang boleh pindah ke Bandung, diusir kita dari Indonesia, bisa pindah ke singapur, Malaysia, diusir kita dari kolom langit, mau cari langit dimana.<br />Nikmat yang kamu makan, nikmat dari Ku, tapi kepada Ku kamu tidak bersyukur, keluar…keluar dari kolom langit Ku…dan cari Tuhan selain Aku.<br />Wajar…dulu kita tidak ada, sekarang ada…nikmat, susunan biologis manusi kita demikian cantik…nikmat, tinggal di bumi, fasilitas yang kita perlukan disediakan tinggal kemampuan kita mengelolanya…nikmat, diberikan kita otak yang membedajkan kita dengan binatang…nikmat, diberikan kita agama, diutus para Rasul untuk menjadi model dalam kehidupan kita…nikmat. Bukan cuma syukur dalam ucapan, tapi juga syukur dalam perbuatan, banyak nikmat yang diterima, makin banyak dia sujud, makin banyak rukuk, makin banyak dia mengdakan pendekatan kepada Allah. Syukur dalam artian tindakan dan perbuatan, mempergunakan nikmat sesuai dengan kehendak yang memberikan nikmat itu sendiri kepada kita.<br />Ini adalah penyakit yang keempat, kamu makan nikmat Tuhan mu, tapi kamu tidak pandai bersyukur kepada-Nya, bagaimana hati tidak jadi mati, dan do’a tidak dijawab.<br /><br />Penyakit kelima sampai sepuluh, bisa kita jelaskan pada tulisan berikutnya, bahwa do’a kita tidak dijawab, dan hati kita mati dapat disimpulkan bahwa :<br />1. Kita kenal Allah, tapi kita tidak mau memenuhi haknya<br />2. Kita baca Al-Qur’an tapi kita tidak mau mengamalkan ajarannya<br />3. Mengaku sebagai umat Nabi Muhammad, tapi engga melaksanakan sunnahnya<br />4. Tiap hari kamu makan nikmat Tuhan Mu, tapi kamu tidak mau bersyukur kepada-Nya kepada Allah SWT.<br />Semoga kita tidak termasuk pada golongan yang empat tadi…amien, dan semoga Allah senantiasa memelihara diri kita, iman kita sehingga kita selalu pandai bersukur kepada-Nya. Wallahu a’lam bi al Showab.</span><br /></div>Mas Doelhttp://www.blogger.com/profile/00461627397766309038noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7111786766239753974.post-67482780683024945582010-08-06T23:33:00.000-07:002011-12-29T20:19:10.452-08:00RAMADLAN DAN BUDAYA LOKAL<div align="justify"><span class="awal">M</span>erupakan suatu keharusan bagi setiap muslim berkewajiban untuk menjalakan puasa saat memasuki bulan Ramadlan yang merupakan bulan penuh berkah dan pensucian diri baik insan maupun harta. Sebagaimana yang Allah firmakan dalam AL-Qur’an :<span class="fullpost"><br /> <br />Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. (QS. Al-Baqarah : 183)<br /><br />Salah satu tujuan dari berpuasa adalah untuk meraih ketaqwaan. Taqwa yang sesungguhnya bukan tawqa dalam artian semu, tetapi lebih dari itu bahwa di bulan ramadlan ini banyak pelajaran hikmah yang terkadung di dalamnya apabila kita benar-benar menghayati dan berfikir hakikat dari pada disyariatkannya umat Islam untuk berpuasa sebulan penuh. Bagi orang awam yang tidak pernah menyimak akan hikmah yang terkadung di dalamnya puasa hanya sekedar menahan makan dan minum serta menjalankan ibadah ritual seperti ibadah sunnah shalat tarawih dan witir juga tilawah, selebihnya bisa dikatakan tidak sama sekali, karena itu kemudian ulama mendefinisikan bahwa ada tiga tingkatan orang yang berpuasa yang tentunya mempunyai efek terhadap kualitas puasanya yaitu puasa umum yang biasa dilakukan oleh orang awam yang hanya menahan lapar dan dahaga, kemudian puasa khusus yang bukan hanya menahan lapar dan dahaga ansih, tetapi juga seluruh anggota badan manusia juga berpuasa, dan yang ketiga adalah puasa khususnya khusus, artinya model puasa ii bukan hanya menahan lapar dan dahaga, seluruh anggota daban berpuasa tetapi hati juga berpuasa dari penyakit hati seperti riya’, sombong, dengki, hasud dan sebagainya.<br />Idealnya berpuasa itu adalah harus melakukan model puasa yang ketiga ini, supaya puasa kita berkualitas, setelah nanti selesai melaksanakan puasa sebelum penuh, maka akan terbiasa menjalankan hal-hal yang positif yang tidak menyakiti hati orang karena sudah digembleng satu bulan penuh untuk menjadi orang yang lebih baik dari sbelumnya, inilah termasuk orang beruntung, walaupun pahala puasa kita itu hak progatif Allah SWT, tapi kalau kita menjalankan sesuai dengan rambu-rambu syari’at Insya Allah semuanya akan berjalan sesuai dengan harapan.<br />Puasa di bulan Ramadlan termasuk juga ibadah ritual sunnah seperti sholat tarawih dan witir, yang sudah membudaya di masyarakat, bukan lagi merupakan ajaran tapi budaya yang mempunyai musim, dan jika kita tidak terlibat di dalamnya maka aneh bin ajaib, tentunya banyak ditemui macam-macam budaya khususnya di Indonesia apabila telah kita sampai pada bulan Ramadlan. Ramadlan diidentikkan dengan ritual, sehingga banyak orang muslim awam melakukan selamatan di awal bulan ramadlan sebagai salah satu bentuk tanda syukur telah sampai kepada bulan ramadlan, begitu juga setelah selesai bulan ramadlan tepatnya setelah keluar dari Sholat Ied masyarakat tertentu telah melakukan selamatan tanda perpisahan dengan bulan puasa.<br />Disamping itu juga tentunya banyak orang muslim yang berziarah ke makam-makam saudaranya, bapaknya, ibunya, kakek dan neneknya, sekalipun di luar bulan ramadlan juga ada yang melakukan tetapi tidak sebanyak di bulan ramadlan. Ini artinya bahwa bulan ramadlan dianggap sesuatu yang sakral dan sangat di tunggu-tunggu kedatangannya, karena itu tidak heran kalau ada orang yang menangis tatkala bulan ramadlan telah pergi, dan ada juga orang yang tertawa dan bahagia. Wajar jika anak kecil bahagianya karena detik-detik kepergian ramadlan pasti akan dibelikan baju baru oleh orang tuanya, bukan hanya anak kecil juga yang ingin baju baru, orang tuanya juga, bahka semua orang ingin pakai baju baru. Ini merupakan symbol bahwa ramadlan itu identik dengan baju baru.<br />Lain halnya lagi dengan serba serbi makanan yang dijual orang, kita bisa melihatnya disekitar kita, apalagi menjelang buka puasa banyak pemandangan yang lain dari pada yang lain, di kota-kota besar misalnya banyak kita temui di jalan-jalan orang menjajakan makanan buka puasa seperti ta’jil dan nasi dengan berbagai rasa, lain halnya lagi ketika menjelang perayaan Idul Fitri, ibu-ibu lagi sibuk wira wiri ke pasar untuk membeli berbagai macam makanan untuk dihidangkan saat lebaran tiba. Ini berarti juga Ramadan dan Idu l Fitri itu artinya makanan, identik dengan makanan dan pakaian, bukan Rasulullah SAW pernah mengingatkan para sahabatnya bahwa “laisal Ied liman la bisal jaded, wa la kinnal Ied Tha’atan Yazid” (Idul fitri itu bukan pakaian baru, Idul Fitri itu adalah keta’atan yang meningkat).<br />Tetapi bukan berarti bahwa budaya itu makanan dan pakain baru identik dengan bulan ramadlan itu harus ditiadakan, tetapi bagi orang yang berfikir dan mengambil hikmah dari budaya makanan dan pakain baru itu pasti akan mengatakan bahwa pakain baru itu symbol dari orang yang menjalankan ibadah puasa dengan tulus dan ikhlas jika nanti keluar di bulan ramadlan dia akan membuka lembaran baru dan mengubur lembaran lama yang penuh dengan noda dan dosa, karena itu budaya baju baru dan makanan menjadi budaya bagi umat Islam.<br />Kegiatan lain yang menjadi budaya di bulan ramadlan adalah mudik. Mudik sudah menjadi budaya tahunan bagi semua orang yang jauh dari sanak keluarganya. Tentu pula ramadlan mempunyai arti mudik, walaupun di luar pulang ramadlan kita juga sering mengunjugi sanak keluarga, tapi itu tidak dikatakan mudik, tapi kenapa kalau di bulan ramadlan saat orang mau nanya kepada kita, mudik kemana mas?. Kata mudik identik dengan Idul Fitri.<br />Ada lagi budaya di bulan ramadalan yang tidak kalah serunya yaitu bahwa 10 hari terakhir di bulan ramadlan banyak orang Islam sudah pindah terawih bukan lagi di masjid dan musholla dimana dia terus menjalankan sholat tarawih dan witir tetapi sudah pindah dari masjid ke terminal, dari masjid ke bandara, dari masjid ke pasar, dari masjid ke mall, dari masjid ke stasium, budaya ini nyaris setiap tahun terjadi dan sudah menjadi budaya. Semoga saja di bulan Ramadlan tahun 2010 ini kita bisa memilih dan memilah budaya mana yang bermanfaat dan mempunyai nilai plus bisa mendukung kualitas puasa kita. Walla hu a’lam bi al Showab.</span><br /></div>Mas Doelhttp://www.blogger.com/profile/00461627397766309038noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7111786766239753974.post-73555746785769130792010-03-14T18:39:00.000-07:002011-12-29T20:19:23.848-08:00BEASISWA S1 UNTUK SISWA TIDAK MAMPU SECARA EKONOMI TAPI BERPRESTASI<div align="justify"> <span class="awal">P</span>eningkatan pemerataan akses studi (beasiswa) ke jenjang perguruan tinggi, bagi level pendidikan menengah yang terdiri atas lulusan SMA/SMK/MA/MAK atau bentuk institusi pendidikan lain yang sederajat, sampai saat ini masih banyak menyisakan masalah. Masalah dimaksud terutama pada wilayah pemerataan akses informasi terhadap sumber pendanaan kaitannya dalam rangka menjaring calon mahasiswa berprestasi relatif masih sangat terbatas.<span class="fullpost"> Tidak sedikit lulusan pendidikan menengah yang berprestasi dan merupakan calon mahasiswa potensial karena terbatasnya akses informasi, mereka selalu gagal menangkap peluang itu. Karena itu, mereka tidak dapat melanjutkan studi ke jenjang pendidikan tingkat tinggi dengan alasan berasal dari keluarga kurang mampu.<br />Sementara itu, masing-masing Perguruan Tinggi menyadari sepenuhnya, bahwa eksistensi dirinya di mata publik terletak pada kesanggupannya untuk menjalankan peran-peran kompetitif secara sehat, baik pada tingkat regional, nasional, maupun internasional. Dalam rangka menyongsong dan merealisasikan semangat itu, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, khususnya Fakultas Syari’ah UIN Maliki Malang bermaksud menangkap kebijakan Diknas tentang penyediaan Beasiswa Bidik Misi dengan merintis konsep kelas internasional pada tahun ajaran 2010 ini. <br />Upaya merintis kelas internasional itu dengan cara melakukan seleksi ketat kepada calon mahasiswa 2010 yang dipandang memenuhi syarat-syarat kualifikasi akademik berstandart internasional. Di antara syarat-syarat dimaksud antara lain 1) calon memiliki dua kemampuan berbahasa (Arab dan Inggris), baik pasif maupun aktif, 2) calon memiliki pemahaman kokoh terhadap ilmu-ilmu kesyariahan, 3) calon memiliki kemampuan untuk membaca dan memahami al-Qur’an dengan baik, 4) calon memiliki motivasi belajar tinggi.<br />Upaya ideal ini tentu sesuai dengan upaya pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi – Departemen Pendidikan Nasional tahun 2010 yang memiliki program peningkatan dan pemerataan mutu akademik dengan memberikan beasiswa dan biaya pendidikan bagi calon mahasiswa dari keluarga yang kurang mampu secara ekonomi dan berprestasi yang disebut Beasiswa BIDIK MISI.<br />Dana beasiswa dan biaya pendidikan yang diberikan adalah sebesar Rp 5.000.000 (lima juta rupiah) per mahasiswa per semester yang diprioritaskan untuk biaya hidup.<br />Persyaratan untuk mendaftar program beasiswa BIDIK MISI tahun 2010 adalah:<br />1. Siswa SMA/SMK/MA/MAK atau bentuk lain yang sederajat yang dijadwalkan lulus pada tahun 2010;<br />2. Berprestasi dan orang tua/wali-nya kurang mampu secara ekonomi;<br />3. Calon penerima beasiswa mempunyai prestasi akademik/ kurikuler, ko-kurikuler maupun ekstra kurikuler yang diketahui oleh Kepala Sekolah/ Pimpinan Unit Pendidikan Masyarakat (Dikmas) Kabupaten/Kota. Adapun prestasi akademik/kurikuler yang dimaksud adalah peringkat 25 persen terbaik di kelas, sedangkan prestasi pada kegiatan ko-kurikuler dan/atau ekstrakurikuler minimal peringkat ke-3 di tingkat Kabupaten/Kota dan harus sesuai dengan program studi yang dipilih.<br />Pendaftaran dimulai : Maret – 20 April 2010<br />2. Ujian/ Test 26 – 27 April 2010<br />4. Materi Test<br />TPA 26 April 2010<br />Al-Qur'an 26 April 2010<br />Membaca, memahami Bahasa Arab dan Bahasa Inggris dari Kitab-kitab klasik dan kontemporer 27 April 2010<br />5. Tempat Tes : Gedung UIN Maliki Malang Fakultas Syari'ah ruang SY 205, 206, 207.</span><br /></div>Mas Doelhttp://www.blogger.com/profile/00461627397766309038noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7111786766239753974.post-89589924209294298792010-02-14T23:16:00.000-08:002011-12-29T20:19:50.435-08:00MENJADI MANUSIA BERGUNA<div align="justify"><span class="awal">K</span>adang kita menginkan sesuatu yang menurut kita memberikan kebahagiaan dan manfaat buat diri kita maupun orang lain, kadang pula keinginan itu menjadi khayalan yang tak berujung, sulit untuk menerka, mewujudkan dalam dunia nyata, kadang ide-ide kita hanyut terbawa arus, kadang terbang terhempas angin, kadang membeku menjadi gumpulan-gumpalan yang tak bisa kita bendung. Mimpi itu bukan hanya saat kita tidur, mimpi itu muncul dalam lamunan dengan membawa ide-ide cemerlang untuk menggagas hari esok yang lebih pasti, kadang itupun hanya ide-ide kosong tanpa makna.<span class="fullpost"><br />Hidup ini akan berguna jika memberikan manfaat buat kita, keluarga dan tentunya orang lain. Tolong menolong dalam konsep agama sangat diperlukan. Jauh sebelum kita menganal agama sebagai ajaran, diri kita sudah di konstruk oleh budaya dan lingkungan bahwa kita tak akan hidup tanpa orang lain. Budaya tolong menolong dan gotong royong merupakan citra dan potret bangsa Indonesia, hingga akhirnya istilah “gotong royong” itu dijadikan sebagai model dalam kabinet pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri. Hal ini mencerminkan bahwa budaya saling asah, asuh dan asih merupakan potret dari warisan leluhur yang harus dilestarikan dan dijaga keeksistensinya, jika itu tiada?, maka Bangsa Indonesia akan hilang jati dirinya sebagai bangsa yang besar dan berbudi luhur.<br />Kaitannya dengan hidup yang berguna Rasulullah sebagai panutan Umat Islam telah mewariskan ajaran ini kepada sahabat dan ulama yang kemudian di wariskan kepada pengikut dan umatnya, beliau bersabda “Sebaik-baik manusia adalah orang yang memberi manfaat buat orang lain”. Pesan moral yang sangat singkat ini mngandung arti dan makna yang mendalam bahwa hidup manusia selain bergantung kepada Allah SWT juga kepada manusia dalam artian saling tolong menolong dalam kebajikan dan ketakwaan. Inti ajaran Budha, Kristen, Hindu adalah tolong menolong dalam kebajikan untuk mdndapatkan kedamaian hidup di dunia dan di akhirat.<br />Berguna bagi manusia, kalau dia sudah mampu memberikan secuel harapan bagi orang lain untuk menatap hari esok yang lebih pasti, memberikan senyuman dan tawa ria kepada orang yang kesusahan menghadapi hidup, menolong orang (ringan tangan- kenyang perut) buat siapa saja yang memerlukan. Kadang pula kita hanya merenung, befikir dan berfikir terus tanpa ada jedah, merenugkan nasib yang tak tentu. Ingin rasanya kita membatu, meringankan beban orang, tapi kita tidak punya kemampuan untuk menolong, ingin rasanya berbagi suka dengan orang lain, tapi suka itu tidak pernah menghampiri, ingin rasanya menjadi orang yang serba ada, justru serba-serbi yang mengelilingi kita dengan bau sengat. Entah apa yang kita perbuat, untuk bisa berguna buat orang lain? [bersambung….]</span><br /></div>Mas Doelhttp://www.blogger.com/profile/00461627397766309038noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7111786766239753974.post-77800574027914185122010-02-02T00:05:00.000-08:002010-02-14T23:25:54.011-08:00PROFIL PULAU KU<div align="justify"><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiwk6dNzC-hcB1VEFoe4b6WTCEHoJBszpNARm-9yeMyT2bGYlEjH_MCRm2zccbnHpCivPkRhTTPAKFOAM-2blvCA2RKI1E3h5fFuwS-NHt6PRJMOVG-E7hoSieoHijzU5EidTBxOD1H/s1600-h/toroh.JPG"><img style="float: left; margin: 0pt 10px 10px 0pt; cursor: pointer; width: 222px; height: 166px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiwk6dNzC-hcB1VEFoe4b6WTCEHoJBszpNARm-9yeMyT2bGYlEjH_MCRm2zccbnHpCivPkRhTTPAKFOAM-2blvCA2RKI1E3h5fFuwS-NHt6PRJMOVG-E7hoSieoHijzU5EidTBxOD1H/s320/toroh.JPG" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5433554691908273218" border="0" /></a><span style="font-weight: bold;">Letak</span><br /><span class="awal">D</span>esa Tanjung Kiaok berada pada Kepulauan Sepanjang terletak di Kecamatan Sapeken, Kabupaten Sumenep, Propinsi Jawa Timur.<br />Pulau Sepanjang merupakan pulau besar di Kepulauan Kangean. Kepulauan Kangean merupakan gugusan puluapulau berjumlah 68 pulau yang membujur dari arah barat ke arah timur pada posisi 6o30’ – 7o13’ Lintang Selatan dan 115o10’ – 115o56’ Bujur Timur.<span class="fullpost"> Secara administratif Pulau Sepanjang masuk ke dalam wilayah Kecamatan Sapeken yang terbagi menjadi 9 desa, yaitu Desa Sapeken, Sakala, Tanjung Kiaok, Pagerungan Besar, Pagerungan Kecil, Sabunten, Paliat, Sasiil dan Sepanjang.<br />Pantai Pulau Sepanjang disebelah utara dikelilingi oleh coral reef, sedang pantai disebelah selatan langsung berhubungan dengan laut dalam. Daratannya landai dan rata sehingga memungkinkan hutan mangrove berkembang dengan baik. Hutan mengrove yang terdapat di P. Sepanjang tersebar di beberapa lokasi yaitu Pajang Barat, Segentong, Dermaga Sepanjang, Turunan Ceremeh, Calung dan Tarungguk.<br />• Sebelah Barat : Laut Jawa.<br />• Sebelah Utara : Laut Kalimantan<br />• Sebelah Selatan : Laut Bali<br />• Sebelah Timur : Laut Sulawesi<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Demografi dan Matapencaharian</span><br />Penduduk Desa Tanjung Kiaok diperkirakan sekitar 5.000 jiwa dengan jumlah Kepala Keluarga sekitar 400 KK. Kebanyakan penduduk bermata pencaharian sebagai nelayan penangkap ikan hias dan dalam jumlah sedikit sebagai petani (berkebun) dan pedagang kecil. Nelayan sebagiannya bekerja sambilan sebagai petani kebun terutama pada waktu-waktu tertentu dimana tidak dapat melaut karena cuaca dan musim barat (Januari, Februari dan Maret). Pada umumnya nelayan mencari ikan disekitar perairan Teluk dan sebagian lainnya sebagai nelayan antar pulau.<br /><span style="font-weight: bold;"><br />Agama dan Budaya</span><br />Seluruh penduduk desa Tanjung Jiaok adalah pemeluk agama Islam. Sarana peribadatan di desa ini terdiri dari 4 buah masjid dan 3 mushalla.<br />Walaupun terdiri dari berbagai etnis yaitu Bajo, Madura, Jawa, Bali dan Bugis, sifat-sifat kekeluargaan dan gotong royong masyarakat masih cukup besar. Karena sebagian besar terdiri dari suku Bajo maka kegiatan kebudayaan yang dominan adalah budaya Bajo. Namun demikian budaya dan adat istiadat suku Madura, Jawa, Bali dan Bugis masih tetap eksis di daerah ini.<br /><span style="font-weight: bold;"><br />Pendidikan dan Kesehatan</span><br />Sarana pendidikan di desa Tanjung Kiaok cukup memadai terdiri dari Sekolah Dasar 2 buah, Madrasah 4 buah, dan Tsanawiyah. Akan tetapi jumlah penduduk terbanyak hanya berpendidikan sekolah dasar dan hanya sebagian kecil berpendidikan lanjutan.<br />Sarana yang ada di desa Tanjung Kiaok adalah puskesmas tetapi masyarakat nya juga mendapatkan pelayanan kesehatan melalui Puskesmas yang terdekat di desa Sepanjang dan Kecamatan Sapeken. Jenis-jenis penyakit yang sering dialami masyarakat di desa ini adalah demam, flu, muntaber dan penyakit-penyakit ringan lainnya seperti batuk dan sakit kepala.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Telekomunikasi</span><br />Sarana telekomunikasi cukup memadai terdiri dari 4 (empat) buah warung telekomunikasi (wartel) seluler dengan kemampuan komunikasi mulai dari lokal, Interlokal sampai Sambungan Internasional. Dengan demikian faktor komunikasi di desa Tanjung Kiaok cukup lancar.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Kelistrikan dan Air Bersih</span><br />Sarana penerangan listrik juga telah tersedia di daerah ini yaitu pembangkit Tenaga Diesel yang dikelola oleh pihak swasta dan sebagian besar masyarakatnya memiliki mesin diesel sebagai penerang.<br />Ketersediaan air bersih di daerah ini juga cukup memadai yaitu disuplay oleh PAM dan tersedianya sumur umum.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Keamanan</span><br />Kondisi keamanan di daerah ini cukup stabil. Tingkat kriminalitas cukup rendah . Hal ini didukung oleh adanya sifat-sifat toleransi dan gotong royong masyarakat setempat yang cukup tinggi. Sistem keamanan lingkungan juga tetap berlangsung.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Iklim</span><br />Seperti halnya daerah pantai lainnya, Desa Tanjung Kiaok dipengaruhi oleh musim barat dan musim timur. Pada waktu musim barat dengan angin kuat mempunyai curah hujan cukup, sekitar 3-4 bulan hari hujan. Sedangkan pada waktu musim timur dengan kecepatan angin rata-rata rendah sehingga mengalami kekeringan dengan temperatur udara dapat mencapai 29-30° C.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Kondisi Perairan </span><br />Hasil survey yang dilakukan menunjukkan bahwa Desa Tanjung Kiaok memiliki karakteristik yang unik dan kompleks. Data pengukuran pasang surut dengan perbedaan antara 1,5-2 meter, dengan ketinggian gelombang antara 0,3-0,8 meter, kecepatan arus berkisar antara 0,1-0,6 knot, tergantung dari cuaca dan musim.<br />Kondisi topografi dasar teluk juga tergolong kompleks dengan kedalaman terendah 0 meter pada saat air surut dan terdalam dapat mencapai sekitar 30 meter. Sebagian besar areal perairan memiliki kedalaman antara 2-10 meter pada saat air surut. Dasar perairan juga bervariasi terdiri dari pasir, pecahan karang, lapisan lumpur, berkarang dan berlamun (seagrass).<br />Walaupun perairan mengandung suspensi halus, daya tembus sinar matahari dapat mencapai dasar perairan, kecuali pada waktu musim barat.<br />Sifat-sifat oceanografi perairan lainnya seperti suhu, kadar garam, pH dan Bahan Organik Total (BOT) masing-masing berkisar antara 27,4 - 28,7° C, 31 – 36 permil, 8,16 – 8,17 dan 4,06 – 16,5 mg/ l. Kandungan hara terutama Pospat dan Nitrat perairan masing-masing berkisar antara 0,024 – 0,064 ppm dan 0,046 – 0,048 ppm.<br />Kondisi ekosistem perairan Desa Tanjung Kiaok juga tergolong kompleks karena terdiri dari perpaduan berbagai ekosistem yaitu ekosistem terumbu karang, ekosistem mangrove, padang lamun dan lagunan. Kondisi terumbu karang rata-rata sedang dan kondisi padang lamun masih tergolong baik. Sedangkan ekosistem bakau merupakan hamparan tegakan tipis yang berada pada sisi barat teluk dan Timur.<br />Kegiatan masyarakat yang menonjol di Desa Tanjung Kiaok ini adalah pencarian ikan hias laut, pemasangan jaring insang, pancing dan budidaya laut seperti budidaya keramba, rumput laut.</span><br /></div>Mas Doelhttp://www.blogger.com/profile/00461627397766309038noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7111786766239753974.post-25721771499923301862009-11-30T22:49:00.000-08:002009-11-30T22:55:48.916-08:00KALIANGET - SAPEKEN DITEMPUH 3, 5 JAM..ENAK DONK<div align="justify"> <br />SURABAYA POST -- Pelayaran perdana kapal cepat Express Bahari C3 gagal. Mesin kapal tiba-tiba meledak ketika perjalanan sampai Pulau Poteran, Kecamatan Talango atau sekitar 30 menit dari pelabuhan.<br />Akibatnya, kapal yang berangkat Senin 30 November, pukul 10.00, dari Pelabuhan Kalianget menuju Pulau Kangean itu terpaksa kembali lagi ke pelabuhan.<span class="fullpost"><br />Kapal yang baru pertama kali melaut itu membawa 115 penumpang. Di antaranya, Wakil Bupati Sumenep, Moch Dahlan, istri Bupati Sumenep, Hj. Zaitunna Ramdlan Siraj, sejumlah anggota dewan dan Muspida.<br />Rencananya, kapal tersebut akan menempuh perjalanan sekitar 3,5 jam dari Kalianget ke Kangean.<br />Anggota dewan Badrul Aini, salah seorang penumpang yang bisa dihubungi mengatakan, mesin kapal di bagian belakang dekat kelas ekonomi terbakar ketika berada di Perairan Poteran. Kemudian kecepatan kapal berkurang dan mesin mati. “Saya persis berada di dekat mesin. Ketika mesin terbakar, penumpang panik dan berteriak,” katanya.<br />Anak buah kapal (ABK) mencoba memperbaiki mesin dan menghidupkan lagi. Namun, tak lama mesin mati lagi. Akhirnya, kapal berputar lagi kembali ke Pelabuhan Kalianget.<br />“Selama kurang lebih 30 menit kapal terapung di tengah laut. Padahal jarak dari Talango ke Kalianget sudah dekat," kata Badrul.<br />Sedangkan Wakil Bupati Sumenep, Moch Dahlan, ketika ditemui sesampai di pelabuhan mengatakan hal yang sama. "Mesin kapal rusak, ya kita terpaksa kembali lagi," katanya.</span><br /></div>Mas Doelhttp://www.blogger.com/profile/00461627397766309038noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7111786766239753974.post-63423057044528290712009-10-28T05:13:00.000-07:002009-10-28T05:28:16.854-07:00ANALISIS HISTORIS WACANA KALAM SOSIAL<div align="justify"> <br /><span style="font-weight:bold;">A. Pendahuluan</span><br /><span class="awal">P</span>ada beberapa tahun menjelang berakhirnya abad ke-20, pemikiran Islam menunjukkan suatu perkembangan yang menarik. Pada saat ini banyak kita cermati perkembangan gagasan-gagasan “baru” yang bernada kritis terhadap tradisi pemikiran Islam. Nasr Hamid Abu Zaid, Hasan Hanafi, M. Abied Al-Jabiri, Fazlur Rahman adalah di antara beberapa nama yang dapat kita sebutkan dalam konteks ini.<span class="fullpost"> <br />Abad ke-20 merupakan gelombang kedua timbulnya kesadaran baru pemikir Islam. Gelombang pertama dimulai pada tahun 1897 M dimana pada saat itu kesadaran kritis muncul setelah umat Islam sadar akan ketertinggalan dari bangsa Barat yang selama ini diklaim sebagai bangsa yang rendah. Umat Islam selama ini terbius oleh jargon al-Islam ya’lu wala yu’la alaih mulai bangkit setelah melihat kenyataan jatuhnya Mesir oleh Napoleon Bonaparte. Gelombang kedua dimulai sejak munculnya kesadaran umat Islam atas kekalahan dunia Islam atas Israel pada tahun 1967. Sejak saat itu kritik umat Islam atas realitas dirinya menjadi hal yang niscaya. <br />Berbagai pemikiran pembaharuan mulai bermunculan di blantika pemikiran modern Islam dalam rangka membangun kembali “kejayaan” Islam yang telah runtuh. Umat Islam yang saat ini menghadapi berbagai tantangan seiring dengan kemajuan modernitas yang nyata-nyata memastikan respons serius dari umat Islam. Tawaran pemikiran pembaharuan yang digagas para mujtahid memiliki spektrum yang sangat luas mulai dalam bidang hukum, politik, kalam (teologi), ekonomi dan sebagainya. <br />Tulisan ini akan mencoba memberikan diskripsi munculnya pembaharuan pemikiran yang berkembang dalam bidang kalam yang saya katakan sebagai wacana kalam sosial. Secara historis jelas bahwa pada abad ke-20 banyak gagasan pemikiran kalam (baca: teologis) muncul dalam merespons perkembangan yang ada. Hal inilah yang kemudian dapat kita cermati adanya aras baru perbincangan kalam kontemporer. Tulisan ini membatasi pada persoalan latar historis munculnya wacana kalam sosial yang mewujud dalam beberapa performanya seperti kalam pembebasan, kalam feminisme, dan kalam pluralisme. Secara sistematis pembahasan ini akan mencakup hal-hal sebagai berikut, yaitu: memaknai kalam, memahami kalam sosial, performa wacana kalam sosial dan penutup.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">B. Memaknai Kalam</span><br />Wolfson menjelaskan bahwa term kalam yang secara literal bermakna pembicaraan (speech) atau perkataan (word), digunakan untuk menerjemahkan kata logos dalam tradisi pemikiran filsafat Yunani. Term logos dalam bahasa Yunani mempunyai pengertian yang bervariasi baik yang berarti perkataan (word), pikiran (reason), maupun argumentasi (argument). Tidak mengherankan jika istilah kalam pada saat itu digunakan dalam konteks yang luas. Diskusi tentang alam diterjemahkan dengan al-kalam al-tabi’i (the phisical kalam). Istilah Yunani “teolog” diterjemahkan dengan ashab al-kalam al-ilahi atau al-mutakallimun al-ilahiyyat. Demikian juga, misalnya, kita mengenal istilah-istilah the kalam of Empedocles, maupun the kalam of Aristotle. <br />Term kalam, dengan demikian, belum menjadi terminologi khusus sebagaimana yang kita pahami selama ini. Seiring dengan perkembangan sejarah, term kalam telah mengalami sedikit pengkhususan makna. Hal ini dapat dilihat, misalnya, term kalam digunakan sebagai istilah teknis yang mengacu pada persoalan-persoalan yang kemudian menjadi objek utama dalam pembahasan kalam. Realitas adanya ungkapan mutakallimun yang digunakan oleh Ibn Sa’ad (w. 845 M) untuk merujuk orang-orang Murji’ah yang berdiskusi tentang status orang yang berdosa atau istilah yatakallam yang digunakan oleh Ibn Qutaibah (w. 889 M) dalam kaitannya dengan diskusi masalah kebebasan manusia yang dipelopori oleh Ghailan (w. 743 M), merupakan bukti bahwa term kalam telah mempunyai simplifikasi dalam orientasi pemaknaannya. <br />Puncak perkembangan term kalam, sebagaimana dijelaskan oleh Ibn Khaldun dalam Muqaddimah, adalah setelah istilah ini diadopsi sebagai nama bagi sebuah disiplin keilmuan yang ditandai dengan perkembangan pemikiran-pemikiran Mu’tazilah di kalangan Islam. Syahrastani (w. 1153 M) dengan lebih gamblang menjelaskan bahwa term kalam menjadi nama bagi sebuah keilmuan yang definitif pada masa khalifah al-Makmun (813-833 M) di mana pada saat itu para teolog (baca: Mu’tazilah) dalam membahas problem-problem yang berkenaan dengan ketuhanan telah dipengaruhi dan ditopang oleh pemikiran-pemikiran filosofis akibat adanya adopsi dan adaptasi hasanah pemikiran filsafat di luar Islam. <br />Setidaknya terdapat tiga perspektif argumentasi mengapa keilmuan ini dinamakan ilmu kalam. Pertama, menurut al-Taftazzani dalam karyanya Dirasat fi al-Falsafah al-Islamiyyah menjelaskan bahwa disebutnya keilmuan ini dengan ilmu kalam didasarkan pada objeknya di mana yang menjadi persoalan pertama dalam sejarahnya adalah berkenaan dengan kalam Allah yaitu apakah kalam Allah bersifat hadis atau qadim. Kedua, Harun Nasution dalam bukunya Teologi Islam memandangnya dari dua perspektif: (a) ranah objek, yaitu karena yang dibahas dalam ilmu ini adalah sabda Tuhan (al-Qur’an) yang telah menimbulkan pertentangan keras di kalangan umat Islam di abad ke sembilan dan ke sepuluh Masehi; (b) ranah subjek. Hal ini tidak lain karena para ahli kalam dalam sejarahnya sering menggunakan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan pendiriannya berkenaan dengan problem keagamaan yang dihadapi. Ketiga, De Boer dalam bukunya The History of Philosophy in Islam dimana ia lebih melihat dalam perspektif metodologis. Menurut De Boer, karena pemikir Islam (baca: mutakallim) dalam membahas persoalan-persoalan keyakinan dalam Islam adalah dengan menggunakan metode dialektik (al-jadali) dan oleh orang Arab hal tersebut dikenal dengan nama kalam. Itulah mengapa kemudian ilmu ini dikenal dengan nama ilmu kalam dan orang yang berbuat demikian disebut mutakallim. <br />Ilmu kalam juga sering diidentikkan dengan ilmu tauhid. Identikisasi ilmu kalam dengan ilmu tauhid adalah sesuatu yang tidak berlebihan jika ditinjau dari aspek objek materialnya. Namun dari sisi metodologisnya, sebenarnya identikisasi ilmu kalam dengan ilmu tauhid adalah kurang tepat, walaupun pada masa-masa selanjutnya persoalan ini nampaknya kurang menjadi perhatian dan tidak menjadi persoalan serius. Adalah al-Ghazali (w. 1111 M) yang menjelaskan hal tersebut dalam kitabnya al-Risalah al-Laduniyah. Menurut al-Ghazali, ilmu kalam tidak identik dengan ilmu tauhid. Ilmu kalam adalah bagian kecil saja dari ilmu tauhid. Hal ini didasarkan pada argumentasi bahwa ilmu tauhid pada hakikatnya adalah ilmu pengetahuan dan sekaligus pengamalan dan penghayatan, sementara ilmu kalam lebih merupakan metodologi rasional dalam membela akidah dari rongrongan kaum bid’ah, sehingga cakupan ilmu tauhid lebih luas dari ilmu kalam yang hanya sekedar bersifat apologetik. <br />Ilmu kalam tidak lebih sebagai bagian mekanisme pengukuhan pokok-pokok keyakinan secara rasional menghadapi kaum bid’ah. Perbedaan di antara keduanya tidak terletak pada objek materialnya namun lebih pada aspek metodologis dan penghayatannya. Penjelasan al-Ghazali tersebut sejalan dengan apa yang diuraikan oleh sejarawan Islam, Ibn Khaldun. Dalam Muqaddimah-nya, ia menjelaskan bahwa ilmu kalam adalah ilmu yang mengandung perdebatan tentang akidah keimanan dengan dalil-dalil rasional dan penolakan terhadap ahli bid’ah yang menyeleweng dari paham salaf dan ahlussunnah. <br />Potret perkembangan terminologi kalam dalam realitasnya telah menjadi keniscayaan sejarah. Kalau pada zaman klasik-tengah ilmu kalam telah mampu menjadi istilah utama dalam pemikiran Islam menggantikan tema ilmu tauhid dan juga terma ilmu ushuluddin ataupun ilmu aqa’id-sebagaimana yang digelisahkan al-Ghazali, maka pada zaman modern ini nampaknya terma ilmu kalam sedikit demi sedikit mulai tergusur oleh istilah baru yang lebih populer yakni “teologi”. <br /> <br /><span style="font-weight:bold;">C. Memahami Kalam Sosial</span><br />Kalam sosial merupakan pemikiran kalam yang memiliki keterkaitan erat dengan realitas problematika yang dihadapi masyarakat Islam dalam konteks kekinian di samping juga seiring dengan perkembangan pemikiran dan tuntutan yang ada. Sebuah kalam yang menjadikan manusia sebagai pusat dan muara orientasinya. Kalam yang berorientasi untuk memberikan solusi atas problem yang dihadapi masyarakat seperti penindasan, ketidakadilan, keterbelakangan, problem kesetaraan hak laki-laki dan perempuan, ataupun problem pluralisme agama. Tuntutan sosiologis dari praksis sosial kalam adalah menciptakan suatu struktur masyarakat yang berusaha menciptakan masyarakat yang terbebas dari segala kesenjangan, keterbelakangan, diskriminasi, dan ketidakadilan, serta pengedepanan etos egalitarianisme, dan saling penghargaan di antara sesama mahluk Tuhan. <br />Kalam sosial, dengan demikian, menggunakan keyakinan Islam sebagai pembangkit kesadaran akan realitas kehidupan yang tidak mengenakkan, menggugah kesadaran orang-orang yang berakidah Islam akan realitas kehidupan mereka dan realitas di sekitarnya, bukan mengunyah-ngunyah akidah tersebut untuk kepentingan akidah itu sendiri atau bahkan tanpa kesadaran akan tujuan-tujuannya. Kalam sosial menghendaki adanya dialektika sinergis dengan realitas yang tengah dihadapi dan menjadi tantangan kehidupan masyarakat Islam. <br />Mas’udi menjelaskan bahwa dialektika empiris sosiologis tidak lain merupakan keniscayaan untuk menuju kepada performa pemikiran kalam yang lebih dinamis yang memang sangat compatible dengan realitas dan tantangan kekinian yang dihadapi masyarakat Islam. Mempertahankan performa kalam dalam wajahnya yang old fashion tentunya akan melanggengkan realitas stagnasi dalam pemikiran Islam yang ini pada gilirannya akan menciptakan suatu “bahaya” bagi keberagamaan Islam. Rahman dalam hal ini menegaskan ‘unless theology was reformulated afresh, Islam would be in real and grave danger’. <br />Penancapan dan pemunculan kalam sosial, sebagaimana yang telah mengedepan dalam konteks masyarakat kontemporer, telah menjadikan dan mengorientasikan diskursus kalam tidak hanya sekedar memperbincangkan persoalan-persoalan apologis “kelangitan”, melainkan lebih pada upaya aplikasi atas ide-ide kemanusiaan yang didasarkan pemahaman atas ketuhanan. Sebagai khalifah Allah (Q.S. 2: 30), meminjam bahasanya Soetrisno, manusia tidak hanya dibebani untuk “membangun kerajaan surga” di alam “sana”, tetapi manusia mesti juga “membangun kerajaan surga” di alam “sini”, di dunia. Oleh karena itu, pengedepanan ide-ide ‘adalah, musawwah maupun hurriyyah, dalam setiap lini kehidupan untuk menciptakan tata kehidupan manusia yang sejahtera adalah sebuah keniscayaan.<br />Kalam sosial sebenarnya mencoba untuk menciptakan paradigma yang memposisikan dimensi transenden dan antroposentris, dimensi kehambaan dan dimensi kekhalifahan manusia dalam proporsinya yang saling terkait. Tugas kehambaan manusia secara niscaya tidak dapat menafikan terhadap realitas yang ada di sekitarnya. Manusia mesti peduli dengan realitas dan tantangan-tangan yang menghadangnya. Demikian pula, tugas sebagai khalifah di dunia tidak dapat meninggalkan realitas manusia sebagai hamba. Manusia mesti mengaplikasikan ide-ide ketuhanan itu dalam realitas kehidupannya. Kedua hal ini senantiasa berkait kelidan dalam membentuk mekanisme keberagamaan manusia. Manusia mempunyai tugas kehambaan dan sekaligus kekhalifahannya. <br />Kalam sosial menjadikan manusia sebagai pusat kesadaran di bawah sinaran keilahian. Kalam sosial berusaha untuk bagaimana pemahaman tentang dimensi ketuhanan tersebut mampu ditansformasikan untuk mengukuhkan eksistensi kemanusiaan dalam realitas “kebumiannya”. Dari Tuhan menuju bumi, dari dzat Tuhan menuju kepribadian manusia, nilai-nilai kemanusiaan diderivasi dari sifat-sifat Tuhan, dari kekuasaan Tuhan menuju kemampuan berfikir manusia, dari keabadian Tuhan menuju gerakan kesejarahan manusia, dari eskatologis menuju masa depan kemanusiaan. Sinaran keilahian menjadi hal yang tak ternafikan dalam konteks penajaman realitas kemanusiaan. Kalam sosial telah mengarahkan sasaran tembak yang orientasinya pada theocentris, menuju anthropocentris. Paradigma ini mentransformasikan lokus dari iman menuju kemanusiaan yang menjelma dalam suatu paradigma anthroposentris praksis sosial. Kalam sosial dalam realitasnya telah mewarnai wajah kalam yang selama ini cenderung sibuk “membela Tuhan’ dengan wajah barunya, pesona wajah kalam yang “membela manusia’ dalam kilauan sinaran keilahian.<br /><span style="font-weight:bold;"><br />D. Performa Wacana Kalam Sosial</span><br />Berikut dipaparkan beberapa bentuk wacana kalam sosial yang muncul dan berkembang dalam sejarah pemikiran Islam modern. Penulis dalam hal ini hanya memaparkan tiga performa wacana kalam sosial yaitu kalam pembebasan, kalam pluralisme dan kalam feminisme. Pembahasan dalam konteks ini hanya dibatasi pada latar sejarah munculnya gagasan pemikiran tersebut.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">1. Kalam Pembebasan</span><br />Istilah pembangunan (development) dalam realitas masyarakat modern telah menjadi sebuah keniscayaan. Pembangunan telah menjadi mainstream yang berbanding lurus dengan modernitas terutama dalam relasinya dengan pembentukan struktur-struktur ekonomi-politis masyarakat. Hal ini bisa dimaklumi karena memang dalam realitasnya istilah pembangunan sangat lekat dengan misi sistem ekonomi liberal kapitalis. Sebuah sistem yang mengedepankan dalil bahwa pemerataan hasil ekonomi akan terjadi kepada semua pihak yang berperan—entah dengan modalnya maupun dengan tenaganya—apabila mekanisme pasar dibiarkan berjalan dengan sendirinya. Pemerintah dibenarkan turut campur tangan sejauh hanya sebagai fasilitator penyedia keluangan bagi pasar untuk berfungsi dan sejauh ada dampak negatif yang harus dikoreksi. Sistem ekonomi pasar ini telah menjadi paradigma ekonomi yang niscaya di tengah masyarakat modern terlebih setelah ‘gugurnya’ Uni Sovyet tahun 1990 sebagai laboratorium sosialisme.<br />Filosofi ekonomi semacam ini yang nota bene sebagai ‘musuh lama ganti baju’ atau merupakan manifestasi dari neo-imperialisme Barat dalam pentas global modern, dalam realitasnya telah diusung sebagai paradigma pembangunan bagi negara-negara berkembang. Tidaklah mengherankan jika sistem ekonomi liberal kapitalis tersebut, tidak memberikan dampak yang lebih baik bagi upaya peningkatan kesejahteraan kaum lemah dan tertindas, tetapi justru menimbulkan gap yang semakin menganga antara masyarakat yang miskin dan yang kaya, antara negara miskin dan negara kaya. Ketergantungan serta proses periferalnya semakin menjadi, negara miskin yang diperiferi semakin tergantung pada negara kaya seperti yang kita lihat pada kasus hutang luar negeri negara berkembang dan hubungan dagang internasional. <br />Fakih, dengan jelas menegaskan bahwa pembangunanisme yang di-cekok-kan kepada bangsa-bangsa berkembang pada hakikatnya merupakan bentuk mekanisme baru kapitalisme modern dalam menyebarkan sayap-sayap imperialisme, sehingga adalah wajar jika pembangunanisme yang dijalankan itu dalam realitasnya malah melanggengkan struktur dan sistem ekonomi eksploitatif dan menciptakan struktur kelas yang tidak adil. Terlebih lagi sebagaimana yang disinyalir Engineer bahwa banyak bangsa-bangsa Asia dan Afrika setelah lepas dari penjajahan Barat, segera berubah menjadi rezim otoriter di mana orientasi pembangunan ekonominya tidak lagi dirancang untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat yang lemah tetapi hanya untuk memenuhi tuntutan sekelompok elit masyarakat. Dalam kondisi semacam ini, penciptaan tatanan masyarakat yang egaliter, berkeadilan baik secara ekonomi, sosial maupun politik sebagaimana yang menjadi cita-cita dan harapan kaum lemah menjadi sebuah realitas yang sulit tercipta. <br />Patahnya analisis Marx bahwa kapitalisme akan hancur akibat mekanisme internalnya sendiri di samping gagalnya gerakan-gerakan sosial ekonomi kiri baru, sosial demokrat, dalam mengemban proyek-proyek kesejahteraan yang diharapkan telah membuat orang mulai melirik kembali peran agama. Dulu agama diklaim sebagai biang kemandulan dan turut andil dalam melanggengkan status quo, tetapi sekarang agama justru malah tampil sebagai pendorong anti kemapanan dan menjadi media yang sangat efektif bagi gerakan-gerakan revolusioner bagi terciptanya masyarakat yang berkeadilan dan pembela kaum tertindas. Mengapa agama dalam realitas sejarahnya menampakkan performa dispersepsi yang beragam? Engineer dalam hal ini menjelaskan bahwa agama menjadi candu atau sebaliknya menjadi kekuatan yang revolusioner tergantung pada dua hal: pertama, realitas kondisi sosio-politik; kedua, tergantung pada subjek yang bersekutu dengan agama, apakah kaum revolusioner atau pro status quo. Performa agama, dengan demikian, sangat tergantung pada subjek yang memaknai dalam relasinya dengan realitas sosio-politis yang dihadapi. Agama tidak ubahnya sebuah ideologi yang akan sangat terdeterminasi aktor yang mengendalikan. Bila agama dimaknai sebagai sesuatu yang transformatif dan progresif, maka agama akan tampil secara historis sebagai kekuatan transformatif dan progresif. Demikian pula sebaliknya. Namun demikian, hal mendasar yang mesti difahami bahwa eksistensi agama dalam realitas historisnya tidak lain sebagai garda depan bagi realitas-realitas transformatif-progresif, gerakan-gerakan revolusioner untuk membela kaum tertindas, sehingga bukan hal yang mengherankan jika muncul klaim bahwa realitas historis agama yang pro status quo, yang melanggengkan penindasan, tidak lain merupakan bentuk penyimpangan dari eksistensi agama yang sebenarnya. <br />Agama dengan perangkat teologisnya yang secara historis telah terbukti mampu menjadi kekuatan revolusioner,transformatif-progresif, mesti dikedepankan dalam konteks kekinian. Bentuk-bentuk teologi yang menyimpang dari eksistensi agama yang sesungguhnya, teologi yang mendukung status quo, mesti diluluhlantakkan dan diganti dengan teologi yang membela kepada kepentingan rakyat yang tertindas dan terlemahkan. “Pembebasan teologi diperlukan untuk mengembangkan sebuah teologi pembebasan”, demikian Engineer. Adanya realitas kemiskinan, keterbelakangan, ketertindasan yang dialami masyarakat bukanlah sesuatu yang given, bukanlah taqdir yang tidak mungkin diubah. Realitas penindasan semua itu muncul sebagai akibat adanya realitas struktur yang secara apik dan sistemik telah menciptakan kondisi-kondisi tersebut. Dalam konteks ini, peran ‘kalam pembebasan’ sebagai kekuatan penyadaran dan ideologis untuk melawan realitas penindasan dalam masyarakat menjadi sebuah keniscayaan.<br /><span style="font-weight:bold;"><br />2. Kalam Pluralisme</span><br />E pluribus unum atau yang biasa kita kenal dengan unity in diversity merupakan ungkapan yang tepat untuk menggambarkan kemajemukan yang ada di jagat ini. Dalam konteks Indonesia misalnya, ia dikenal sebagai sebuah negara dengan kebudayaan yang sangat beragam. Hal ini sangat bisa dimaklumi karena memang Indonesia merupakan negara dengan latar belakang yang paling beraneka ragam dengan sekitar 400 kelompok etnis dan bahasa yang ada di bawah naungannya. Demikian halnya dalam konteks agama, Indonesia juga menampakkan wajah keberagamaan yang sangat plural. Hal ini tidak lain disebabkan hampir semua agama, khususnya agama-agama besar di dunia, Islam, Kristen, Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu, terwakili di kawasan ini. Semua agama tersebut diakui keberadaannya dan diberi hak hidup di negara Indonesia. Eksistensi mereka dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu”, demikian bunyi Undang-Undang Dasar. Menilik keragaman tersebut adalah tepat jika bangsa Indonesia menyemboyankannya dengan “Bhineka Tungga Ika”.<br />Masyarakat dengan realitas keberagamaannya yang sangat plural ini merupakan masyarakat dengan kondisi yang sangat riskan karena sangat rentan dengan potensi konflik. Davis dalam Religion and the Making of Society menjelaskan bahwa agama bukanlah realitas yang melulu terkait dengan dimensi belief dan ritual keagamaan, tetapi juga sangat bertalian dengan dimensi sosio-politis. Dalam konteks sosio-politik inilah agama sangat rentan dengan potensi konflik yang picu adanya perbedaan-perbedaan kepentingan. “Apabila kepercayaan-kepercayaan yang berlawanan mengenai nilai-nilai tertinggi (ultimate values) masuk ke dalam arena politik, mereka mulai bertikai dan makin jauh dari kompromi”, demikian penegasan Alford dalam salah satu tulisannya. <br />Menilik adanya implikasi negatif pluralisme tersebut, tindakan antisipatif menjadi sebuah keharusan. Namun, solusi terhadap adanya implikasi negatif pluralisme tidak harus melalui mekanisme yang mengarahkan pengingkaran kenyataan pluralisme itu sendiri. Mekanisme demikian, misalnya, seringkali nampak pada upaya menciptakan suatu hegemoni berbagai aspek kehidupan masyarakat. Dalam konteks kehidupan modern di mana masalah pluralisme merupakan agenda kemanusiaan yang penting, penciptaan mekanisme seperti itu bukan solusi yang arif dan konstruktif. Di katakan demikian, karena bagaimanapun pluralisme merupakan kenyataan sosiologis yang tidak dapat dihindari. Pluralisme merupakan bagian sunnatullah, sebagai kenyataan yang telah menjadi kehendak Tuhan. <br />Effendi dalam tulisannya Pluralisme Realitas Sosial dan Hubungan Antar Agama menawarkan beberapa opsi yang bisa ditempuh dalam menjawab pluralisme keagamaan. Pertama, sikap menerima kehadiran orang lain atas dasar sikap tidak saling mengganggu. Kedua, mengembangkan kerjasama sosial-keagamaan melalui berbagai kegiatan yang secara simbolik memperlihatkan dan fungsional mendorong proses pengembangan kehidupan beragama yang rukun. Ketiga, mencari, mengembangkan dan merumuskan titik temu agama-agama untuk menjawab problem, tantangan dan keprihatinan umat manusia. <br />Aktifitas utama yang perlu dilakukan untuk mencegah adanya implikasi negatif pluralisme adalah pengembangan sikap kearifan dalam menerima pluralisme. Sikap yang bersedia menerima perbedaan, bukan hanya sebagai realitas objektif akan tetapi juga sebagai potensi dinamis yang memberikan kemungkinan-kemungkinan dan harapan akan kemajuan di masa depan. Hal ini berarti penumbuhan kesadaran akan adanya pluralitas ke segenap masyarakat adalah sebuah keniscayaan sebagai langkah pengembangan pluralisme menjadi kekuatan sinergis dalam kehidupan kemanusiaan. <br />Dalam upaya menumbuhkan kesadaran tersebut, kalam pluralisme yang ditawarkan oleh beberapa pemikir seperti Farid Essack, Gus Dur, Nurcholish Madjid nampak jelas menemukan titik signifikasinya. Hal ini tidak lain karena kalam pluralisme telah menawarkan sebuah paradigma pemikiran yang menohok ke jantung realitas keagamaan, teologi, yang nota bene, meminjam analisanya Kuntowijoyo, sebagai sesuatu yang sangat dekat dengan fenomen kesadaran manusia. Teologi yang merupakan suatu orientasi pemahaman keagamaan untuk menyikapi kenyataan-kenyataan aktual dan empiris menurut perspektif ketuhanan. Melalui konstruksi kalam pluralisme, di mana iman menjadi pijakan dasar, diharapkan umat Islam sebagai komunitas terbesar dalam konteks masyarakat Indonesia akan mampu menunjukkan sikap yang toleran, terbuka, dan menjauhkan diri dari sikap absolutistik dan klaim-klaim kebenaran. <br /><span style="font-weight:bold;"><br />3. Kalam Feminisme</span><br />Dinamika relasi laki-laki dan perempuan tampak menunjukkan aktivitasnya yang semakin luar biasa dalam konteks masyarakat kontemporer. Adanya “gugatan” kaum perempuan yang kita kenal sebagai feminisme merupakan argumen tak terbantahkan terhadap realitas dinamika tersebut. Feminisme merupakan wacana baru dalam konteks masyarakat modern. Di antara asumsi yang melatari wacana tersebut tidak lain adalah upaya mempertanyakan kembali realitas relasi antara laki-laki dan perempuan seiring dengan perkembangan dan perubahan pola kehidupan sosial ekonomi, setelah sekian lama distingsi kodrati biologis di antara mereka melahirkan distingsi gender dan pada akhirnya meninggalkan realitas diskriminasi bagi perempuan. <br />Dalam konteks Islam, realitas diskriminasi yang terjadi dikalangan perempuan Muslim telah menjadikan feminisme menggelayut di kalangan pemikir Muslim. Mereka pun secara aktif mencoba untuk mengkaji dan melakukan pembacaan kembali terhadap tradisi Islam. Para feminis mempertanyakan mengapa ketidaksetaraan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat Muslim terjadi. Benarkah Islam yang diwahyukan kepada Muhammad saw. dengan al-Qur’an sebagai sumber moral yang mengedepankan etos keadilan dan egaliterianisme mengajarkan diskriminasi? Benarkan Muhammad yang seringkali diklaim sebagai sosok pembebas mengajarkan subordinasi terhadap salah satu jenis mahluk Tuhan. Pendeknya, “Bagaimana sebenarnya pandangan Islam terhadap perempuan?”. Inilah pertanyaan yang seringkali disodorkan kepada para feminis.<br />Secara geneo-historis, diskriminasi perempuan muncul sebagai akibat adanya doktrin ketidaksetaraan laki-laki dan perempuan yang telah menghiasi kehidupan manusia di sepanjang zaman, kecuali dalam masyarakat matriarkal yang jumlahnya tidak seberapa. Adanya anggapan-anggapan bahwa perempuan tidak cocok memegang kekuasaan karena perempuan diklaim tidak memiliki kemampuan seperti yang dimiliki laki-laki, laki-laki harus memiliki dan mendominasi perempuan, menjadi pemimpinnya dan menentukan masa depannya, aktifitas perempuan dibatasi di rumah dan di dapur karena dianggap tidak mampu mengambil keputusan di luar wilayahnya, adalah performa historis subjugasi atau penundukan perempuan di bawah struktur kekuasaan laki-laki. <br />Diskriminasi terhadap kaum perempuan ini telah menjadikan perempuan tersungkur ke pojok-pojok sejarah kemanusiaannya. Hak-haknya sebagai manusia seutuhnya, sebagai mahluk Tuhan yang sempurna, terenggut oleh keganasan sistem patriakhi yang selama ini secara kokoh dan angguh. Di Pakistan misalnya, sebagaimana dijelaskan oleh Anita M. Weiss dalam The Slow Yet Steady Path to Women’s Empowerment in Pakistan bahwa diskriminasi terhadap perempuan menampakkan pemandangan yang sangat kental. “all we can see is the public space of the male world”, demikian ungkapan Weiss ketika menggambarkan realitas yang terjadi di salah satu kota di Lahore, Wallet City. Hal ini terjadi tidak lain karena sebagian besar perempuan dibatasi ruang geraknya untuk lebih berkiprah dan berada di ruang domestik. “Most women spend the bulk of their lives phisically within their homes”. <br />Realitas diskriminasi dan subjugasi yang dialami oleh perempuan secara niscaya telah menumbuhkan kesadaran para feminis Muslim dalam mengatasi realitas tersebut, terlebih lagi setelah melihat idealisme yang diajarkan oleh al-Qur’an yang mengedepankan keadilan dan kasih sayang. “Semakin banyak saya melihat keadilan dan kasih sayang Tuhan yang tercermin dalam ajaran al-Qur’an tentang perempuan, semakin membuat saya sedih dan marah melihat ketidakadilan dan perlakuan tidak manusiawi yang merendahkan perempuan Muslim yang lazim terjadi dalam kehidupan nyata. Mulai tumbuh kesadaran kuat bahwa tugas saya -- sebagai bagian dari minoritas mikroskopik Muslimah terdidik -- untuk berbuat semampu saya dalam mengatasi situasi perempuan Muslim”, demikian kata salah seorang feminis Muslim, Riffat Hassan. Konstruksi kalam feminisme, dengan demikian, adalah keniscayaan yang tidak dapat diabaikan. <br /><span style="font-weight:bold;"><br />E. Penutup</span><br />Kalam sosial telah melahirkan sebuah Wacana Kalam Sosial dalam blantika perkembangan pemikiran Islam kontemporer merupakan salah satu bentuk dialektika pemikiran dengan perkembangan realitas kontemporer. Hal yang patut kita catat adalah bahwa wacana kalam sosial telah menjadi sebuah kebutuhan dalam rangka merespons tantangan-tantangan kehidupan seiring dengan perkembangan masyarakat modern. Realitas keterbelakangan, ketertinggalan, ketidakadilan dan hegemoni yang dialami masyarakat Muslim dalam kehidupannya mesti direspons dalam kerangka teologis (baca: kalam). Demikian juga seiring dengan munculnya globalisasi di mana kebutuhan akan pemahaman pluralitas menjadi sesuatu hal yang niscaya di samping juga problem-problem ketidakadilan gender. Wacana kalam sosial merupakan salah satu bentuk respons pemikir Muslim terhadap perkembangan yang ada dan ini hanya salah satu ikhtiar untuk mengatasi problem yang ada yang tentunya harus dibarengi dengan respons dalam perspektif lain seperti politik, kebijakan, dan sebagainya. [esha]<br /><br /> <br /><span style="font-weight:bold;">DAFTAR PUSTAKA</span><br /><br />--------- , Ihya’ Ulum al-Din. Beirut: Dar al-Fikr, 1995. <br />--------- , Risalah-Risalah. Bandung: Pustaka Hidayah, 1994.<br />Al-Ghazali, “al-Risalah al-Laduniyyah” dalam Majmu’ah Rasail. Beirut: Dar al-Fikr, 1996.<br />al-Syahrastani, Abu al-Fath Muhammad. al-Milal wa al-Nihal. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.<br />al-Taftazzani, Abu al-Wafa al-Ghanaimi. Dirasat fi al-Falsafah al-Islamiyyah. Kairo: Maktabah al-Qohirah al-Hadisah, 1957.<br />Antonie Giddens, Jalan Ke Tiga, Pembaharuan Demokrasi Sosial, terj. Ketut Arya<br />Assyaukani, Lutfie. “Tipologi dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer” dalam Jurnal Pemikiran Islam Paramadina, Vol. I No. 1 (Juli-Desember 1998). <br />Davis, Charles. Religion and the Making of Society, (Cambridge: Cambidge University Press, 1994), 55-58. <br />Daya, Burhanuddin. “Hubungan Antar Agama di Indonesia”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an No. 4 Vol. IV Th. 1991.<br />Effendy, Djohan. “Pluralitas Realitas Sosial dan Hubungan Antar Agama”, dalam Mursyid Ali (ed.) , Pluralitas Sosial dan Hubungan Antaragama. Jakarta: BPPA, 1999.<br />Engineer, Asghar Ali. Hak-Hak Perempuan dalam Islam. Yogyakarta: LSPPA, 2000.<br />--------- . Islam and Liberation Theology, New Delhi: Sterling Publisher, 1990. <br />Esha, Muhammad In’ am. Evolusi Kapitalisme: Kajian Sosio-Historis Filosofis Perkembangan Kapitalisme, Makalah, (IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2000).<br />--------- . “Fundamentalisme Agama” dalam Jurnal Religi, edisi perdana, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 2002.<br />Esposito, John L. (ed.), Islam in Asia: Religion, Politics, and Society, New York & Oxford: Oxford Univesity Press, 1987.<br />Fakih, Mansour. “Teologi Kaum Tertindas’, dalam Spiritualitas Baru: Agama dan Aspirasi Rakyat. Yogyakarta: Dian/Interfidei, 1994.<br />Hafidz, Wardah. Islam dan Feminisme, Makalah disampaikan dalam pada latihan khusus KOHATI cabang Jombang (17-21 Oktober 1995).<br />Hanafi, Hasan. Islam in the Modern World: Ideology and Development. Kairo: Egyptian Associated Company, 2000.<br />Hassan, Riffat. “Teologi Perempuan dalam Tradisi Islam”, dalam Jurnal UQ No. 1 Vol. IV (1990).<br />Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Intoduction to History, terj. Franz Rosenthal New York: Princeton University Press, 1967. <br />Jahja, HM. Zurkani.Teologi Al-Ghazali: Pendekatan Metodologis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.<br />Kuntowijaya, Paradigma Islam, Intepretasi untuk aksi, Bandung: Mizan, 1998.<br />Machasin, “Islam dan Revolusi”, Jurnal Gerbang, No 02 (April-Juni 1999).<br />Madjid, Nurcholish. ”Mencari Akar-akar Islam Bagi Pluralisme Modern: Pengalaman Indonesia”, dalam Mark R. Woodward (ed.), Jalan Baru Islam: Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia, (terj.) Ihsan Ali-Fauzi, Bandung: Mizan, 1998. <br />Magnis-Suseno, Franz. Pemikiran Karl Marx. Jakarta: Gramedia, 1999. <br />Mernisi, Fatima dan Riffat Hassan, Setara di Hadapan Allah, Yogyakarta: LSPPA, 2000.<br />Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1991.<br />--------- . Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa, Perbandingan. Jakarta: UI Press, 1986.<br />Neufeldt, Victoria. ed., Webster’s New World Dictionary. New York: Webster’s New World Clevenland, 1984. <br />Nitiprawiro, Fr. Wahono.Teologi Pembebasan. Yogyakarta: LKiS, 2000.<br />Paul A. Barran, The Political Economic of Growth. Middleesex: Peguin Books, 1973. <br />R.R. Alford, “Religion and Politics”, dalam Roland Robertson (ed.), Sosiologi of Religion, Canada: Penguin Books, 1978.<br />Rahman, Fazlur. Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago & London: The University of Chicago Press, 1982.<br />Rahmat, Jalaluddin. “Dari Psikologi Androsentris ke Psikologi Feminis: Membongkar Mitos-Mitos tentang Perempuan”, Jurnal Ulumul Qur’an, 5, No. 5 dan 6 (1994). <br />Rosemarie, Tong. Feminist Thought: A Comprehensive Introduction. London: Westview Press, 1989.<br />Soetrisno, Loekman. “Pembaruan Agama di Dunia Ketiga”, dalam M. Masyhur Amin ed., Teologi Pembangunan, Yogyakarta: LKPSM, 1989.<br />Syari’ati, Ali. Peranan Cendekiawan Muslim, terj. Tim Naskah Shalahuddin Press. Yogyakarta:Shalahuddin Press, 1985. <br />TJ. De Boer, The History of Philosophy in Islam, terj. Edward R. Jones. New York: Dover Publishions Inc., t.t..<br />Tobroni dan Samsul Arifin, Islam, Pluralisme Budaya dan Politik, Yogyakarta: SIPress, 1994.<br />Umar, Nasaruddin. Argumen Kesetaraan Gender: Perspektif al-Qur’an. Jakarta: Paramadina,1999. <br />Weiss, Anita M. “The Slow yet Steady Path to Women’s Empowerment in Pakistan”, dalam Yvonne Yazbeck Haddad dan John L. Esposito, Islam, Gender, and Sosial Change. New York-Oxford: Oxford University Press, 1980.<br />Wilber, ed., The Political Economy of Development and Underdevelopment. New York: Random House, 1973.<br />Wolfson, Harry Austin. The Philosophy of The Kalam. England: Harvard University Press, 1976. []</span><br /></div>Mas Doelhttp://www.blogger.com/profile/00461627397766309038noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7111786766239753974.post-23709000040834706512009-10-28T04:32:00.000-07:002009-10-28T04:41:05.923-07:00Mencermati Model Pembacaan Teks Al-Qur’an & Kritik Wacana Keagamaan Nasr Hamid Abu Zaid<div align="justify"> <br /><span style="font-weight:bold;">A. Pendahuluan </span><br /><span class="awal">W</span>acana keagamaan yang berkembang dan tumbuh subur di masyarakat Islam tidak dapat berhubungan, berdialog, bahkan menyentuh ilmu pengetahuan yang berkembang pesat di dunia Barat sejak XIV hingga abad XX M. Terisolasinya wacana keagamaan dari ilmu pengetahuan tersebut karena paradigma dan mekanisme berpikir yang digunakan oleh para cendekiawan muslim.<span class="fullpost"> Di mata Nasr, baik Islamis radikal maupun Islamis moderat memiliki paradigma dan mekanisme berpikir yang sama.<br />Abu Zaid melihat bahwa wacana keagamaan sudah sangat keruh karena adanya endensi ideologis yang membayanginya. Semua karya pemikiran keagamaan, baik bidang teologi, tafsir, fiqh, maupun yang lainnya tidak terlepas dari tendensi ideologis sang pengarang. Artinya, mereka diwarnai oleh kepentingan pribadi maupun kelompok, baik yang bersifat kepentingan ekonomi, sosial, budaya, politik, maupun interes-interes lainnya. Oleh karena itu, Abu Zaid berupaya melepaskan umat Islam dari kungkungan pemikiran keagamaan yang telah terkontaminasi oleh interes-interes subjektif tersebut dengan cara membongkar ideologi yang melingkupinya. Ia berupaya keras mengajak umat Islam untuk membaca al-Qur’an maupun sumber pemikiran keagamaan lainnya secara terbuka, objektif, dan produktif.<br />Tulisan ini berusaha untuk menarik implikasi pola pikir kritis Abu Zaid terhadap wacana keagamaan dalam proses pembelajaran matakuliah teologi di perguruan tinggi. Pembelajaran di perguruan tinggi dipilih karena berdasarkan pertimbangan perkembangan kognitif dan afektif dari taksonomi Bloom. Dari sisi domain kognitif, mahasiswa dianggap telah mampu untuk diajak berpikir pada level analisis, sintesis, dan evaluasi. Sementara itu, dari sisi domain afektif, mereka dianggap mampu untuk memberikan penilaian dan mengambil sikap. Hal itu memungkinkan mereka untuk diajak berpikir dengan gaya berpikir kritis Abu Zaid. Adapun matakuliah teologi dipilih sebagai contoh dari matakuliah ilmu-ilmu keislaman karena teologi mempunyai karakter khas, yakni teologi dapat mengkristal dalam bentuk ideologi sehingga dapat memungkinkan seseorang belajar teologi hanya untuk mengokohkan ideologinya. Untuk menghindari pembelajaran matakuliah teologi yang berkecenderungan tendensius, ideologis, dan normatif, maka perlu kembangkan model pembelajaran yang membuat mahasiswa aktif, kreatif, dan inovatif. Tulisan ini pada hakikatnya hendak memberikan alternatif pembelajaran yang membuat mahasiswa dapat menyikapi pemikiran teologi khususnya dan ilmu-ilmu keislaman lain pada umumnya secara kritis, konstruktif, proporsional, dan produktif.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">B. Biografi Nasr Hamid Abu Zaid Nahdiyyin</span><br />Siapa sebenarnya Nasr Hamid Abu Zayd? Ia orang Mesir asli, lahir di Tantra, 7 Oktober 1943. Pendidikan tinggi, dari S1 sampai S3, jurusan sastra Arab, diselesaikannya di universitas Cairo, tempatnya mengabdi sebagai dosen sejak 1972. Namun ia pernah tinggal di Amerika selama dua tahun (1978-1980), saat memperoleh beasiswa untuk penelitian doktoralnya di Institute of Middle Eastern Studies, University of Pennsylvania, Philadelphia. Karena itu ia menguasai bahasa Inggris lisan maupun tulisan. Ia juga pernah menjadi dosen tamu di universitas Osaka, Jepang. Di sana ia mengajar bahasa Arab selama empat tahun (Maret 1985-Juli 1989). Karya tulisnya yang telah diterbitkan antara lain: [1] “Rasionalisme dalam Tafsir: Studi Konsep Metafor menurut Mu’tazilah” (al-Ittijah al-‘Aqliy fi-t Tafsir: Dirasah fi Mafhum al-Majaz ‘inda al-Mu’tazilah. Beirut 1982), [2] “Filsafat Hermeneutika: Studi Hermeneutika al-Qur’an menurut Muhyiddin ibn ‘Arabi” (Falsafat at-Ta’wil: Dirasah fi Ta’wil al-Qur’an ‘inda Muhyiddin ibn ‘Arabi. Beirut, 1983), [3] “Konsep Teks: Studi Ulumul Qur’an” (Mafhum an-Nashsh: Dirasah fi ‘Ulum al-Qur’an. Cairo, 1987), [4] “Problematika Pembacaan dan Mekanisme Hermeneutik” (Isykaliyyat al-Qira’ah wa Aliyyat at-Ta’wil. Cairo, 1992), [5] “Kritik Wacana Agama” (Naqd al-Khithab ad-Diniy. 1992) dan [6] “Imam Syafi’i dan Peletakkan Dasar Ideologi Tengah” (al-Imam asy-Syafi’i wa Ta’sis Aidulujiyyat al-Wasathiyyah. Cairo, 1992). Kecuali nomor satu dan dua, yang berasal dari tesis master dan doktoralnya, tulisan-tulisan Abu Zayd telah memicu kontroversi dan berbuntut panjang.<br />Ceritanya bermula di bulan Mei 1992. Abu Zayd mengajukan promosi untuk menjadi guru besar di fakultas sastra universitas Cairo. Beserta berkas yang diperlukan ia melampirkan semua karya tulisnya yang sudah diterbitkan. Enam bulan kemudian, 3 Desember 1992, keluar keputusannya: promosi ditolak. Abu Zayd tidak layak menjadi profesor, karya-karyanya dinilai kurang bermutu bahkan menyimpang dan merusak karena isinya melecehkan ajaran Islam, menghina Rasulullah Saw, meremehkan al-Qur’an dan menghina para ulama salaf. <br />Harian al-Liwa’ al-Islami dalam editorialnya 15 April 1993 mendesak pihak universitas Cairo agar Abu Zayd segera dipecat karena dikhawatirkan akan meracuni para mahasiswa dengan pikiran-pikirannya yang sesat dan menyesatkan. Pada 10 Juni 1993 sejumlah pengacara, dipimpin oleh M. Samida Abdushshamad, memperkarakan Abu Zayd ke pengadilan Giza. Pengadilan membatalkan tuntutan mereka pada 27 Januari 1994. Namun di tingkat banding tuntutan mereka dikabulkan. Pada 14 Juni 1995, dua minggu setelah universitas Cairo mengeluarkan surat pengangkatannya sebagai profesor, keputusan Mahkamah al-Isti’naf Cairo menyatakan Abu Zayd telah keluar dari Islam alias murtad dan, karena itu, perkawinannya dibatalkan. Ia diharuskan bercerai dari istrinya (Dr. Ebtehal Yunis), karena seorang yang murtad tidak boleh menikahi wanita muslimah. Abu Zayd mengajukan banding. Sementara itu, Front Ulama al-Azhar yang beranggotakan 2000 alim ulama, meminta Pemerintah turun tangan: Abu Zayd mesti disuruh bertaubat atau-kalau yang bersangkutan tidak mau-maka ia harus dikenakan hukuman mati. Tidak lama kemudian, 23 Juli 1995, bersama istrinya, Abu Zayd terbang melarikan diri ke Madrid, Spanyol, sebelum akhirnya menetap di Leiden, Belanda, sejak 2 Oktober 1995 sampai sekarang. Mahkamah Agung Mesir pada 5 Agustus 1996 mengeluarkan keputusan yang sama: Abu Zayd dinyatakan murtad dan perkawinannya dibatalkan. Dalam putusan tersebut, kesalahan-kesalahan Abu Zayd disimpulkan sebagai berikut: <br />1. Berpendapat dan mengatakan bahwa perkara-perkara ghaib yang disebut dalam al-Qur’an seperti ‘arasy, malaikat, syaitan, jinn, surga dan neraka adalah mitos belaka.<br />2. Berpendapat dan mengatakan bahwa al-Qur’an adalah produk budaya (muntaj tsaqafi), dan karenanya mengingkari status azali al-Qur’an sebagai Kalamullah yang telah ada dalam al-Lawh al-Mahfuz.<br />3. Berpendapat dan mengatakan bahwa al-Qur’an adalah teks linguistik (nashsh lughawi) [Ini sama dengan mengatakan bahwa Rasulullah Saw telah berdusta dalam menyampaikan wahyu dan al-Qur’an adalah karangan beliau].<br />4. Berpendapat dan mengatakan bahwa ilmu-ilmu al-Qur’an (‘ulum al-Qur’an), adalah “tradisi reaktioner” serta berpendapat dan mengatakan bahwa Syari’ah adalah<br />faktor penyebab kemunduran Umat Islam.<br />5. Berpendapat dan mengatakan bahwa iman kepada perkara-perkara ghaib merupakan indikator akal yang larut dalam mitos.<br />6. Berpendapat dan mengatakan bahwa Islam adalah agama Arab, dan karenanya mengingkari statusnya sebagai agama universal bagi seluruh umat manusia.<br />7. Berpendapat dan mengatakan bahwa teks al-Qur’an yang ada merupakan versi Quraisy dan itu sengaja demi mempertahankan supremasi suku Quraisy.<br />8. Mengingkari otentisitas Sunnah Rasulullah Saw.<br />9. Mengingkari dan mengajak orang keluar dari otoritas “teks-teks agama” [maksudnya: al-Qur’an dan Hadits].<br />10. Berpendapat dan mengatakan bahwa patuh dan tunduk kepada teks-teks agama adalah salah satu bentuk perbudakan.<br />Reaksi pro dan kontra bermunculan, dari kalangan intelektual maupun aktivis HAM. Pelbagai media di Barat kontan mengecam keputusan tersebut seraya memihak dan membela Abu Zayd. Opini dunia digiring supaya terkesan seolah-olah Abu Zayd telah dizalimi dan ditindas, bahwa hak asasinya dirampas, bahwa kebebasan berpendapat dan berekspresi telah dipasung.<br />Pemikiran Nasr yang kontroversial tersebut sebagai produk latar belakang pendidikan dan pemikiran keagamaannya. Meskipun Nasr sekolah di sekolah Teknik, bahkan ia pernah bekerja sebagai teknisi elektronik di Organisasi Komunikasi Nasional, tetapi sebelum itu, ia telah hafallengkap al-¬Qur’an sejak usia 8 tahun. Sarangkali ini yang menjadi penyebab mengapa ia memiliki perhaticn yang cukup besar terbadap interpretasi al-Qur’an. Sementara itu mengapa Nasr tertarik untuk menafsirkan al-Qur’an dengan meuggunakan teori kritik sastra?: Hal ini dapat dimengerti karena Nasr mendapat gelar SA di bidang bahasa dan sastra Arab pad a fakultas sastra universitas Kairo. Kemudian ia melanjutkan studi di bidang yang sama di Universitas Amerika di Mesir. Selanjutnya ia juga concern melakukan kajian terhadap wacana keagamaan, karena studi pascasarjananya, baik S-2 maupun S-3nya mengambil konsentrasi bahasa Arab dan IslamicStudies.<br />Pemikiran keagamaannya mulai terbangun sejak usia sebelas (11) tahun, ketika ia bergabung dengan Ikhwan al-Muslimin. Ikhwan al-Muslim adalahorganisasi Islam yang beranggotakan Islamis moderat. Bergabungnya Nasr dalam organisasi tersebut sedikit banyak berpengaruh terhadap cara pandangnya terhadap Islam dan pemikiran Islam. Selanjutnya pergumulannya dengan dunia sastra, mengantarkannya untuk bersentuhan dan bermesraan dengan teori dan kritik sastra serta filsafat termasuk di dalamnya hermeneutika.Sementara, perhatiannya terhadap pemikiran Islam membawanya untuk berdilog dengan pendekatan-pendekatan ilmiah Barat, rasionalisme, kritisisme, dan Fenomenologi. <br /><br /><span style="font-weight:bold;">C. Wacana Keagamaan Nasr Hamid Abu Zaid</span><br />Rekonstruksi dan pembaharuan yang dilakukan Abu Zaid tidak terlepas dari konteks wacana keagamaan kontemporer dalam menyikapi warisan intelektual maupun pembaharuan. Dalam konteks ini, intelektual muslim dihadapkan pada posisi yang dilematis, yakni mempertahankan identitas atau mengikuti tuntutan modernitas. Akhirnya, desakan modernisasi di bidang sosial, ekonomi, politik, kultural, dan intelektual telah memaksa mereka untuk merekonstruksi pemikiran Islam. <br />Sayangnya, baik intelektual muslim yang memilih untuk mengikuti modernitas (ulama sekuler), yang mempertahankan tradisi klasik (ulama konservatif), maupun yang berusaha menyikapi keduanya secara proporsional (ulama moderat) pada akhirnya terjebak pada upaya untuk mendukung ideologi tertentu sebagai upaya untuk memenuhi interes-interes pribadi maupun kelompok. Bahkan mereka telah menjadikan al-Qur’an sebagai konsumsi politik, sosial, dan kultural. Mereka tidak lagi menafsirkan al-Qur’an secara objektif-produktif (qira’ah muntijah), melainkan tendensius-ideologis (qira’ah mughridlah tawlwiniyyah). Kondisi ini diperparah lagi dengan upaya beberapa ulama untuk menutup pintu ijtihad sehingga penafsiran terhadap al-Qur’an dan ilmu-ilmu keislaman bersifat repetitif. Tidak ada lagi kajian yang terbuka, kritis, objektif, dan produktif terhadap wacana keagamaan. <br />Fenomena tersebut berlangsung dalam beberapa abad (abad tengah sampai abad modern) sehingga membuat percampuran antara esensi ajaran Islam dengan pemikiran umat Islam sangat kusut. Abu Zaid berhasil mengidentifikasi kekusutan tersebut dalam lima bentuk. <br />1. Ada upaya pengidentikan “pemikiran keagamaan” dengan “agama”. Hal ini menyuburkan justifikasi kebenaran karena apa yang sebenarnya hanya sekadar pemikiran dianggap sebagai esensi agama. Penafsiran terhadap al-Qur’an dianggap setara dengan al-Qur’an itu sendiri sehingga menjadi absolut dan tak boleh disentuh logika.<br />2. Penjelasan semua fenomena dikembalikan kepada prinsip penyebab tunggal (causa prima). Artinya, penjelasan terhadap semua persoalan, baik menyangkut persoalan sosial maupun kealaman cukup dijelaskan bahwa semuanya terjadi atas kehendak Tuhan sehingga logika kritis tidak diperlukan lagi.8 Sebagai contoh, pertanyaan tentang mengapa terjadi kemiskinan, kesenjangan sosial, banjir tsunami, dan sebagainya cukup dijawab dengan satu jawaban, yakni itu semua terjadi karena kehendak Allah.<br />3. Ada ketergantungan absolut pada otoritas salaf. Semua persoalan dicarikan penjelasan dan penyelesaiannya dengan menggunakan kitab-kitab karya ulama abad tengah yang belum tentu masih relevan untuk memecahkan persoalan-persoalan kekinian. Bahkan, umat Islam cenderung menganggap teks-teks tradisional salaf tersebut seolah-olah setara dengan teks primer, al-Qur’an, dan diberi kesucian setara dengan kesucian al-Qur’an.<br />4. Tumbuhnya sikap truth-claim sehingga menolak adanya perbedaan pendapat sama sekali. Sikap ini merupakan dampak dari fenomena pertama sampai ketiga yang menggejala. <br />5. Pengabaian terhadap dimensi historis. Mereka tidak bersedia melihat bahwa pembentukan umat Islam dari zaman Nabi Muhammad hingga tercapainya masa kejayaan umat Islam pada masa khulafaurrasyidin maupun Turki Usmani memerlukan proses sejarah yang panjang. Pemikiran keislaman juga bukan merupakan produk pemikiran final yang sudah terekstraksi pada zaman nabi, melainkan telah berproses selama lima belas abad lebih. Sikap pengabaian terhadap dimensi historis tersebut telah membuat mereka larut ke dalam nostalgia kejayaan umat Islam di masa lalu tanpa mau belajar dari pengalaman sejarah yang berharga tersebut untuk pengembangan umat Islam di era sekarang ini. <br />Melihat kenyataan tersebut, Abu Zaid berusaha membebaskan masyarakat dari kungkungan ideologi dengan cara membaca seluruh warisan intelektual Islam secara kritis dan produktif (qira’ah muntijah). Tujuannya adalah untuk mempelajari kembali al-Qur’an maupun hasil karya pemikiran umat Islam sebagai interpretasi atas al-Qur’an secara ilmiah, terbuka, dan produktif9 sehingga esensi ajaran yang terdapat dalam semua pemikiran umat Islam dapat dipisahkan dari tendensi ideologis yang membayanginya. <br /><span style="font-weight:bold;"><br />D. Model Pembacaan Teks Al-Qur’an Nasr Hamid Abu Zaid</span><br />Menurut Nasr Hamid Abu Zayd, kajian terhadap teks agama yang selama ini berkembang jauh dari aspek kesejarahan. Yang dimaksud di sini bukan jauh dari peristiwa sejarah yang menyertai turunnya nas, yang biasa disebut asbab al-nuzul, tetapi jauh dari historisitas makna yang terkandung dalam teks. Kajian ini biasanya merupakan kajian terhadap historisitas bahasa teks, termasuk di dalamnya masalah bahasa dan budaya masyarakat yang memproduk, membangun, atau menyusun teks tersetut. <br />Seharusnya kajian terhadap scbuah teks tidak hanya berhenti pada makna yang tersurat teks tersebut, tetapi apa yang dimaksud diba1ik makna teks (signifikansi) yang tersurat. Teks yang menjadi obyek kajian, juga tidak disentuh secara menyeluruh. Meski semua wacana keagamaan membenarkan dilakukannya kajian ulang terhadap teks-teks keagamaan dengan menggunakan pendekatan yang berbeda sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada, namun hanya terbatas pada persoalan perundang-undangan agama (fiqh), dan sama sekali tidak menyentuh bahkan menolak kajian terhadap persoalan aqidah dan cerita-cerita agama. <br />Teks-teks tentang aqidah seharusnya diperlaukan sama sebagaimana teks perundangan (fiqh) yang terus dikaji, sehingga ditemukan substansi makna bahkan yang ada di balik subtansi tersebut, demikian juga dengan cerita-cerita dalam teks tersebut. jika teks agama (al-Qur’an) dikaji secara menyeluruh tanpa ada diskriminasinya obyek kajian, dengan menggunakan paradigma dan pendekatan ilmu pengetahuan yang berkembang akhir-akhir ini, sebagaimana yang disarankan baik oleh M. Arkoun maupun Ibrahim Ibn Rabi’, maka universalitas al-Qur’an akan dapat dirasakan oleh tidak hanya masyarakat muslim tetapi oleh semua manusia.<br />Sebagai teks bahasa. Al-Qur'an dapat disebut sebagai teks sentral dalam sejarah peradaban Arab. Bukan bermaksud menyederhanaan jika dikatakan bahwa peradaban Arab-Islam adalah "peradaban teks". Artinya, bahwa dasar-dasar ilmu dan budaya Arab-Islam tumbuh dan berdiri tegak di atas landasan di mana "teks" sebagai pusatnya tidak dapat diabaikan. Ini tidak berarti bahwa yang membangun peradaban hanya teks semata. Sebab, teks apa pun tidak dapat membangun peradaban dan tidak pula mampu memancangkan ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Peradaban dan kebudayaan dibangun oleh dialektika manusia dengan realitas di satu pihak, dan dialognya dengan teks di pihak lain. Peradaban dibentuk oleh interaksi dan dialektika manusia dengan realitas, dengan segala struktur yang membentuknya; ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Dalam peradaban kita, Al-Qur'an memiliki peran budaya yang tak dapat diabaikan dalam membentuk wajah peradaban dan dalam menentukan sifat dan watak ilmu-ilmu yang berkembang di dalamnya. Kalau boleh menyimpulkan peradaban dalam satu dimensi saja maka dapat dikatakan bahwa peradaban Mesir Kuno adalah peradaban "pascakematian", peradaban Yunani adalah peradaban "akal", sementara peradaban Arab-Islam adalah peradaban "teks". <br />Oleh karena peradaban Arab memberikan prioritas sedemikian rupa terhadap teks Al-Qur'an dan menjadikan interpretasi sebagaia metode, maka dapat dipastikan bahwa peradaban ini memiliki suatu konsep, meskipun implicit, tentang hakikat teks dan metode-metode interpretasinya. Meski demikian, dalam kenyataannya aspek interpretasi mendapatkan sedikit perhatian dalam beberapa kajian yang difokuskan pad ilmu-ilmu agama semata dengan mengabaikan ilmu-ilmu lainnya, sementara konsep "teks" belum disentuh melalui kajian yang mampu mengeksplorasi konsep tersebut dalam tradisi kita-jika memang ada, atau berusaha merumuskan dan mengkristalkannya jika konsep itu belum ada. Pengkajian konsep teks tidak sekedar petualangan intelektual dalam tradisi saja, tetapi lebih dari itu merupakan pencarian "dimensi" yang hilang dalam tradisi tersebut, yaitu dimensi yang dapat membantu kita untuk merumuskan "kesadaran ilmiah" atas tradisi. <br />Sebenarnya kajian tentang konsep teks adalah kajian tentang hakikat dan sifat Al-Qur'an sebagai teks bahasa. Ini berarti bahwa kajian ini memperlakukan Al-Qur'an sebagai kitab Agung berbahasa Arab. Kajian ini membicarakan pengaruh abadi kesustraannya. Al-Qur'an merupakan kitab stilistika Arab yang paling sakral, apabila di dalam agama memang dipandang demikian atau tidak. Pengkajian sastra Al-Qur'an dalam tataran stilistikanya- tanpa mempertimbangkan aspek keagamaanny. Kajian sastra – dengan "teks" sebagai konsep sentralnya – cukup menjamin terwujudnya "kesadaran ilmiah" yang dapat kita pergunakan untuk mengatasi dominasi "kepentingan ideologis" dalam peradaban dan pemikiran kita. Namun demikian, kajian tentang konsep tersebut dan upaya mengkristalkan serta merumuskannya, dapat dilakukan apabila ilmu-ilmu Al-Qur'an dibaca ulang dengan pembacaan baru dan serius. Apa yang dilakukan oleh wacana agama kontemporer terhadap "ilmu-ilmu Al-Qur'an", demikian pula terhadap "ilmu-ilmu hadits"<br />Proses tersebut pada dasarnya merupakan respons cultural terhadap situasi yang mengharuskan nalar Arab menarik diri ke dalam, berlindung di dalam wilayah ilmu "teks" dan berkonsentrasi pada kebudayaan dan pemikiran sendiri untuk melindungi dan mempertahankan kebudayaan dari kemusnahan dan kehancuran. Apabila kesatuan politik telah menjadi ilusi akibat kekuasaan minoritas militer itu sendiri maka kesamaan cultural dan intelektual dapat menjadi realitas seubstansional yang dapat diandalkan untuk menghadapi perpecahan politik. Apabila tiang-tiang penyangga imperium Islam dengan kekuasaannya yang membentang telah runtuh, dan wilayah-wilayah pinggiran telah terampas maka "kesamaan budaya" akan tetap meneguhkan keunggulan kaum muslimin atas musuh-musuh mereka. <br />Nasr Hamid Abu Zayd dianggap demikian karena pendapatnya tentang tekstualitas al-Qur’an. Ia menyatakan bahwa teks-teks agama (al-Qur’an) tidak lain adalah teks bahasa, dalam arti bahwa teks tersebut berkembang pada bangunan budaya tertentu. Teks al-Qur’an tidak terlepas dari aturan dan realitas bahasa budaya dimana sebuah teks itu muncul. Oleh karena itu, pemaknaan al-Qur’an sangat terbuka untuk di interpretasikan kembali bersamaan dengan perubahan dunia “pembacaan teks” yang sangat bergantung pada realitas bahasa dan budaya.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">E. Kesimpulan</span><br />Berdasarkan kajian terhadap tulisan Nasr Hamid Abu Zayd dalam paparan di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:<br />Kerangka Pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd dipengaruhi oleh dua hal<br />1. Latar belakang pendidikannya Nasr hafal al-Qur’an sejak usia 3 tahun, kuliah di jurusan Bahasa dan Sastra Arab, selanjutnya program pascasarjananya mengambil konsentrasi Islarnic Studies<br />2. Pergulatan pemikiran keagamaan Masuknya Nasr pada organisasi lkhwan al-Muslimin, dialognya dengan wacana keagamaan di Mesir, Islamis (Radikal & Moderat) dan Sekularis (Radikal & Moderat), dan dialognya dengan ilmu Humaniora, sosial, serta ilmu alam<br />Nasri Hamid Abu Zayd berangkat dari kegelisahannya menghadapi wacana keagamaan yang berkembang dan tumbuh subur di masyarakat Islam. Wacana keaganaan yang tidak dapat berhubungan, berdialog, bahkan menyentuh ilmu pengetahuan yang berkembang pesat di dunia Barat. Terisolasinya wacana keagamaan dari ilrnu pengetahuan tersebut menurutnya karena paradigma dan mekanisme berpikir yang digunakan. Di mata Nasr, baik Islam is radikal maupun Islamis moderat memiliki paradigma dan mekanisme berpikir yang sama. Paradigma berfikirnya merujuk pada Hakimiyyah (Tahkim al-Nas) dan Pembacaan Nasy. teks yang subyektif.<br /><br />Pola pikir Abu Zaid yang kritis terhadap wacana keagamaan dengan membongkar tendensi ideologis yang mengungkungnya ternyata tidak hanya sekadar berimplikasi teoretis, tetapi ia juga mempunyai implikasi praktis. Secara spesifik, pola pikir tersebut dapat diadopsi dalam desain proses pembelajaran ilmu-ilmu keislaman. Untuk mencetak mahasiswa perguruan tinggi Islam (PTAI) yang dapat mengikuti pola pikir kritis dan produktif Abu Zaid, proses pembelajaran didesain dalam bentuk pembelajaran aktif sehingga memungkinkan peserta didik berpikir kritis, produktif, inklusif, dan proporsional.<br />Namun demikian, perlu disadari bahwa untuk membongkar interes-interes yang ada di balik karya pemikiran keagamaan belum mungkin dilakukan secara maksimal oleh mahasiswa, khususnya mahasiswa strata satu. Sebagai pengganti model kritik ideologi yang dilakukan oleh Abu Zaid, mereka diajak untuk mengeksplorasi seluruh varian pemikiran, mengelaborasi metode dan latar belakang pemikirannnya, dan memetakannnya dalam konstelasi pemikiran keagamaan maupun sains kontemporer sehingga mereka dapat memahami inti pemikiran, posisinya dan implikasi praktisnya. Dengan cara demikian, mereka diharapkan dapat menyikapi semua pemikiran teologi dan keislaman lainnya secara kritis, konstruktif, inklusif, produktif dan proporsional.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">DAFTAR PUSTAKA</span><br /><br />Ichwan, Nur. 2003. Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur’an: Teori Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zaid. Bandung: Teraju<br />Sunarwoto, 2003. “Nasr Hamid Abu Zaid dan Rekonstruksi Studi-Studi al-Qur’an” dalam Sahiron Syamsuddin, dkk, Hermeneutika al-Qur’an Mazhab Yogya. Yogyakarta: Islamika<br />Suparjo, 2007. Pemikiran Kritis Abu Zaid (Purwokerto: Insania, <br />Zaid, Nasr Hamid Abu, 1994. Al-Nash, al-Sulthah, al-Haqiqah: al-Fikr al-Dini bain Iradat al-Ma’rifat wa iradat al-Haiminat. Beirut: Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabi.<br />Zaid, Nasr Hamid Abu. 2001. Tekstualitas al-Qur’an: Kritik terhadap Ulum al-Qur’an, terj. Khoiron Nahdliyyin.Yogyakarta: LKiS<br />http://sastrasantri.worpress.com. Nasr Hamid Abu Zaid dan Wacana Keagamaan (di akses tgl. 21 Oktober 2009, pukul. 22.15)</span><br /></div>Mas Doelhttp://www.blogger.com/profile/00461627397766309038noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7111786766239753974.post-21031060350858540942009-08-30T19:31:00.000-07:002009-08-30T19:45:08.202-07:00NILAI FILOSOFIS PUASA DAN RAHASIANYA<div align="justify"><br />“Puasa adalah bukti keberanian dan adanya kemauan yang tinggi”<br /><span class="awal">B</span>agian ini adalah sudut pandang kedua dari berbagai sudut pandang yang lain yang ada pada bulan yang agung ini, di mana orang-orang mempunyai kebiasaan kurang baik, yaitu mereka biasa terjaga sampai menjelang fajar, mereka juga suka berlebihan dalam menghidangkan makanan untuk berbuka hingga mencapai derajat boros, mereka juga suka menghiasinya dengan pemandangan yang bermegah-megahan dan bangga diri, yang kadang-kadang hal ini juga dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai latar belakang agama yang baik.<span class="fullpost"> Mereka menganggap itu semua sebagai bukti bahwa Islam telah tertanam di dalam jiwa mereka. Hanya sebatas itulah mereka mengetahui akan hakikat puasa, yaitu puasa yang hanya diisi dengan rasa lapar di waktu siang penghidangan makanan untuk berbuka seharusnya, mereka menganggap bahwa yang telah mereka lakukan itu adalah sebagai penghormatan terhadap bulan Ramadlan, serta menyemarakan menara-menara masjid dengan gemerlap cahaya lampu dan dipenuhinya masjid-masjid dengan orang-orang yang sedang salat. Akan tetapi gambaran hakikat puasa seperti di atas tidaklah berarti bagi se¬bagian masyarakat Islam. Karena hal itu me¬nyebabkan mereka bersikap berlebihan dalam berbuka dengan tanpa rasa sesal dan malu.<br />Kalaulah puasa itu hanya merupakan salah satu kebiasaan dan rutinitas kita yang turun temurun saja, pastilah seluruh orang diwajibkan menghormati kebiasaan-kebi¬asaan umat itu, tapi nyatanya tidak, sebagai¬mana yang terjadi sekarang ini.<br />Puasa merupakan latihan rohani bagi masyarakat Islam, yang dengannya mereka bisa belajar menjauhi hawa nafsu, untuk menuju ke angkasa kebajikan dan melepaskan diri dari kefanaan dunia, hingga ruh itu dapat melaksanakan tugas dan kewajibannya de¬ngan baik sehingga membuat masyarakat dalam keadaan tenteram dan aman.<br />Dengan kriteria di atas, maka puasa adalah sebuah sarana untuk membina akhlak umat dengan pembinaan yang stabil. Orang yang berpuasa diwajibkan melatih jiwa dan rohaninya agar menjauhkan diri dari segala kenik¬matan, meskipun kenikmatan yang diper¬bolehkan, karena dengan begitu ia akan mampu meninggalkan kenikmatan yang diharamkan atau dilarang. Puasa, juga berarti sebuah janji pada diri sendiri untuk tidak makan dan minum tanpa ada suatu paksaan. Puasa juga melatih manusia untuk bersabar, sehingga dengan kesabaran itu akan mampu bertahan lapar dan dahaga pada saat ia nanti dilanda bencana kelaparan. Puasa merupakan suatu kewajiban yang bertujuan untuk berbagi rasa-kasih sayang, semua orang merasakan satu rasa, yaitu rasa lapar dan dahaga, kemudian sama-sama merasakan kenyang, tiada per¬bedaan antara perut yang satu dengan yan lainnya dan antara mulut yang satu dengan yang lainnya. Dengan puasa Ramadlan, orang yang tidak pernah lapar di bulan-bulan sebe¬lumnya karena kekayaan yang dimilikinya, sekarang ia harus merasakan rasa lapar itu, merasakan kepedihan orang fakir, yang sebelumnya belum pernah la rasakan, karena kekakayaan dan kedudukannyalah yang menghalanginya untuk merasakan hal itu semua.<br />Demi Allah, adalakah di dunia ini suatu kebersamaan yang menyeleraskan seluruh umat manusia dalam keadaan lapar dan dahaga, kemudian kenyang bersama-sama, sebagaimana kebersamaan yang ada pada bulan Ramadlan?<br />Wahai orang-orang mukmin yang sedang berpuasa<br />Ramadlan adalah suatu usaha penge¬kangan terhadap hawa nafsu, meninggalkan segala kenikmatan dunia untuk menuju kepada kemuliaan diri dan kebebasan jiwa, alangkah indahnya jikalau sepanjang tahun dijadikan Ramadlan. Jika hal-hal di atas terealisasi dengan baik, maka kalian harus mengetahui hakikat puasa.<br />Ramadlan adalah bulan ujian untuk mem¬belenggu kendali syahwat dan bulan semangat di mana seseorang bisa bebas melakukan atau meninggalkan sesuatu menurut pilihan¬nya asal tidak keluar dari rel syari'at.<br />Alangkah indahnya jikalau Ramadlan ini mampu masuk ke seluruh strata masyarakat dan anggota keluarganya, sehingga tiada seorangpun dari para pemuda yang kehilang¬an arti kepemudaannya, ataupun kehilangan kehendak dan semangat untuk mewujudkan apa yang dicita-citakan. Alangkah indahnya bulan Ramadlan ini, bulan yang mampu me¬nyatukan seluruh umat manusia, yang meng¬ajarkan keberanian dan semangatyangtinggi.<br />Ramadlan merupakan suatu contoh kefa¬kiran yang diwajibkan terhadap seluruh ummat Islam, tidak ada perbedaan antara ma¬nusia yang satu dengan yang lainnya, mereka berbagi rasa dalam merasakan sakit yang timbul dari puasa yang hakiki, bukan dari khayalan pikiran, hingga dari rasa sakit dan lapar ini timbullah rasa kasih sayang, ya akhirnya akan tercipta keadilan. Alangkah indah kehidupan ini di saat semua orang berbagi rasa dalam satu perasaan dan satu rasa sakit. Alangkah indahnya seumpama seluruh tahun adalah Ramadlan, hingga terwujudl rasa tenteram dan rasa bahagia, sebagaima yang sering dielu-elukan oleh banyak orang yaitu keselarasan, persamaan dan ketente¬raman.<br />Jikalau Ramadlan mengajarkan sifat berani dan membina kemauan manusia, serta mengajarkan persamaan rasa, maka Ramadlan dalam kehidupan yang nyata ini merupakaa suatu hembusan menyegarkan yang beras dari angin padang pasir, atau suatu warna kehidupan yang menyenangkan.<br />Bukankah kaum muslimin yang tidak berpuasa berarti ia telah menunjukkan bahwa dirinya telah terjun ke dalam kubangan syahwat dan hawa-nafsu, kejantanan dan keberanian mereka telah kalah dan diperbudak juga kemauan dan semangat mereka telah lemah dan kalah, mereka juga memproklamirkan peperangan terhadap tenggang rasa yang biasa mereka gembar-gemborkan atau mereka senandungkan, namun mereka sendiri yang telah melanggarnya, dan mengingkari rasa kebangsaan sesama kaum setelah itu bukankah mereka bisa disebut sebagai orang-orang yang mengingkari kebe¬saran kebiasaan-kebiasaan bangsa Arab? gukankah kita berhak menyebut orang-orang dewasa yang tidak puasa itu sebagai orang tua yang berjiwa anak-anak, dan anak-anak yang berpuasa kita sebut anak-anak kecil yang sudah dewasa.<br />Wahai anak-anakku, saudara-saudaraku dan para pemuda yang telah menahan lapar, panas dan dahaga, yang telah bertekad bersama bapak ibu kalian untuk menunjuk¬kan keberanian dan semangat kalian, yaitu semangat yang penuh dengan kedewasaan dan keberanian diri serta kehendak yang lurus. Sungguh engkau adalah pilar hari esok untuk meraih kemenangan dan kesejahteraan negaramu, yang kemenangan-kemenangan itu tak akan terwujud bila berada di tangan orang-orang yang telah kalah sebelum bertan¬ding di medan laga.<br />Wahai saudaraku yang beriman! Bila haki¬kat puasa adalah sebagaimana yang telah saya sebutkan tadi kepadamu, maka kami pun berhak untuk bertanya: Apakah saat ini kita telah benar-benar berpuasa? Apakah kita telah merasakan rasa lapar di bulan Ramadlan, hingga terdetik di dalam hati kita untuk menolong mereka yang kelaparan sepanjang tahun? Apakah kita sudah bisa disebut seba¬gai orang yang telah mampu mengekang nafsu dari makan, atau mampu menahan diri dari menyakiti dan memusuhi orang? Apakah di saat puasa kita merasakan ketinggian rohani, hingga menyebabkan kita enggan untuk turun menuju kegersangan ruh sebagaima sebelum Ramadlan.<br />Apabila telah datang bulan Ramada Rasulullah bersiap menyambutnya, buka dengan makanan atau minuman, bukan pula dengan perhiasan dan pakaian, akan tetapi dengan ketaatan dan ibadah, dengan kemurahan dan kedermawanan. Bila bersama Allah beliau adalah hamba yang taat, bila bersama manusia beliau adalah seorang Rasul ya lapar, adapun bila bersama saudara dan tetangga-tetangganya beliau adalah seorang yang selalu berbuat baik dan dermawan, sebagaimana para sahabat menyebutkan, bahwasanya beliau itu lebih dermawan dari angin yang berhembus.<br />Demikian juga yang dilakukan para sahabat dan Salafus-Saleh, mereka mengikuti jejak beliau. Ramadlan bagi mereka adalah suatu musim di mana ruh-ruh mereka menghirup wewangian surga, musim di mana hati-hati kaum mukminin terbang ke angkasa untuk menuai kebenaran (hak), musim dimana para orang-orang yang rajin salat terangka dan membelah kepala Toghut dan orang zalim<br />Mengapa kita tidak menjadikan Ramada ini sebagaimana Rasul dan generasi pertama melakukannya? Mengapa kita tidak menjadikannya sebagai musim yang di dalamnya kita mengumpulkan bekal kebaikan yang akan kita simpan dalam jiwa, sebagai simpanan yang dapat memenuhi kebutuhan selama setahun penuh? Sehingga usia kita terpenuhi dengan kebaikan dan keberkahan, dan kehidupan kita pun menjadi kehidupan mulia dan terhormat.<br />Mengapa kita tidak menjadikan Ramadlan sebagai bulan revolusi untuk memperbaiki kelemahan kita, revolusi atas kebodohan kita, revolusi atas syahwat dan nafsu kita serta kehidupan kita yang kacau balau dan tak terarah, serta revolusi atas segala kezaliman di atas bumi ini?<br />Wahai orang-orang yang berpuasa! kamu sekarang berada dalam kancah pertempuran melawan hawa nafsu, peperangan yang berkobar antara harta dan keduniaan mela¬wan rohani. Maka berhati-hatilah jangan sampai kalian kalah, jangan sampai kalian berlapar-lapar di siang hari hanya untuk me¬menuhi perut kalian di malam hari, jangan sampai perut kalian puasa dari makan dan minum akan tetapi lidah, tangan dan mata kalian tiada berpuasa dari berbuat dosa, berbohong dan mencaci maki, jangan sampai kalian semangat untuk berjaga di malam hari tapi tidak dibarengi dengan ibadah, Jangan sampai dan jangan sampai hal itu semua terjadi. Sungguh itu merupakan se¬suatu kekalahan yang tidak diridlai Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, dan hal itu akan membuat setan bergembira dan bersuka ria.<br />Sambutlah ketaatan itu, kumpulkan bekal kebiakan, hiruplah wewangian angin surga, tengadahkan kepalamu ke langit, lambungkanlah dengan juwa kalian untuk meninggalkan urusan dunia sejenak, dan ingatlah selalu sabda Rasul kalian SAW,<br />“Banyak orang yang puasa tapi tidak mendapatkan apa-apa<br />dari puasanya itu kecuali hanya lapar dan dahaga saja”<br /><br />“Sesunnguhnya puasa itu adalah benteng, maka jika ada orang yang<br />Memusuhinya maka hendaklah ia berkata: Saya sedang puasa,<br />Saya sedang puasa.<br /><br />Ya Allah, tulilah nama kami di sisi Engkau sebagai orang-orang yang berpuasa dan yang diterima puasanya. Amin</span><br /></div>Mas Doelhttp://www.blogger.com/profile/00461627397766309038noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-7111786766239753974.post-6672749201058450342009-08-30T19:17:00.000-07:002009-08-30T19:27:02.742-07:00MEMBUMIKAN FIQH HUMANIS NANGGROE ACEH DARUSSALAM<div align="justify"><br />A. Pengantar <br /><span class="awal">S</span>iapa yang tidak kenal Aceh? Bagi orang Indonesia, Aceh telah menjadi salah satu icon bersejarah yang akan selalu terngiang di setiap sanubari anak bangsa sepanjang masa. Betapa tidak, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang sebelum ini menyandnag status Daerah Istimewa, sejak tanggal 25 Maret 2002, propinsi yang berada di ujung barat Indonesia ini mendeklarasikan diri untuk bertekad melaksanakan Syari'at Isla. Dan keinginan itu sudah disambut oleh Pemerintah dan DPR dengan terbitnya Undang-Undang Khusus tentang NAD.<span class="fullpost"> Maka untul mengimplemenatsikan semangat tersebut, beberapa perangkat telah disiapkan, seperti Mahkamah Syar'iyah dan Wilayatul Hisbah dan beberapa qanun (perda Syari'ah). Dengan begitu, NAD akan menjadi salah satu pioner wilayah bernuansa Syari'at Islam yang benar-benar kaffah.<br />Mengingat sejarah sebelum kemerdekaan, NAD yang sebelumnya hanya disebut dengan Aceh dan merupakan wilayah yang dikenal denga sebutan serambi Makka, sebuah nama yang berkonotasi suci dan sakral. Dengan penamaan itu, Aceh telah menjadi pusat penyebaran Islam di Nusantara dan beberapa negara di Asia. Nama yang mencerminkan kepribadian dan kesalehan sosial masyarakat Aceh ini telah menjadi trademark yang senantiasa dapat dibanggakan. Hal ini dapat ditilik dalam gemuruh perang Aceh melawan penjajah yang telah melahirkan banyak pahlawan besar sekaliber Cuk Nyak dien dan Tengku Umar. Aceh tidak saja mencengangkan bagi penjajah, tapi telah memberikan harapan baru bagi penegakan syari'at Islam di negara keplauan Indonesia.<br />Sejak terjanga Tsunami, gaung penerapan Syari'at Islam di NAD sepertinya turut tenggelam ditelan kepedihan. Apalagi, kota Banda Aceh yang menjadi pusat pemerintahan mengalami kerusakan berat yang memeluluhlantakkan hampir 60 % bangunan di kota tersebut. Setelah pristiwa nahas itu berlalu, kini Aceh mulai kembali menjalankan misinya untuk menjalankan syariat Islam secara penuh. Untuk itu, perlu diusung sebuah pemikiran menciptakan fiqh humanis dengan maksud agar masyarakat Islam Aceh yang belum memahami betul persoalan dan seluk beluk Islam tidak serta merta menolaknya. Dalam tulisan ini, fikih Aceh digunakan dengan maksud untuk membedakan makna syari'at dan fikih yang masih sering digunakan secara bergantian. Syari'at merupakan ajaran murni yang diturunkan Allahj melalui al-Qur'an dan Hadits Rasul, sedangkan fikih berarti produk pemikiran ulama dalam memahami kedua sumber hukum Islam tersebut yang memiliki berbagai keterbatasan, termasuk wilayah pemberlakuan.<br /><br />B. Tantangan Penerapan Syari'at Islam di NAD<br />NAD telah menjadi wilayah yang berkuasa penuh dalam menjalankan pemerintahannya. Peraturan-peraturan yang berlaku dapat bersifat khusus untuk masyarakat tanah rencong itu. Masyarakat Islam di luar Aceh banyak yang kemudian berbondong-bondong ingin meniru Aceh dengan menerbitkan peraturan-peraturan semacam qanun yang disebut peraturan daerah, misalnya Tasikmalaya, Cirebon dan Pamekasan. Namun, yang membedakan Aceh dengan tempat lain adalah bahwa di Aceh dilengkapi sarana Mahkamah Syar'iyyah (yang menggabungkan Peradilan Negeri dan Peradilan Agama) dan Wilayatul Hisbah (aparat semacam polisi penjaga ketertiban masyarakat) yang dapat dengan mudah menanhkap dan menghukum para pelanggar hukum.<br />Pro-kontra pemberlakuan Syari'at Islam di NAD hingga kini masih nyaring terdengar. Para akademisi asli di NAD yang tergabung dalam Aceh Institut, misalnya gencar menyuarakan perbaikan pola penerapan syari'at Islam di Aceh. Beberapa tokoh, seperti Mashudi SR dan Harjoni Desky, menyebutkan bahwa sudah saatnya kebijakan ini ditinjau ulang. Mereka berpendapat bahwa banyaknya pelanggaran di Aceh selama ini bukan berarti Aceh sudah tidak lagi Islami, namun penerapan yang menekankan formalisasi yang tidak membumi. Unutk itu perlu diadakan reorientasi penerapan syari'at Islam di Aceh dengan wajah yang lebih mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan.<br />Sementara ini, syari'at Islam yang diberlakukan di NAD dinilai cukup efektif pasca pemberlakuan Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syari'at Islam Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam, walaupun masih belum dikatakan maksimal. Hal ini dapat dilihat dari sisi berjalannya sistem yang telah dibuat, dari segi Qanun, Wilayatul Hisbah, dan Mahmakah Syar'iyyah. Qanun yang sementara ini telah berlaku adalah qanun tentang Khamar dan sejenisnya (Qanun Nomor 14 Tahun 2003), Maisir (Qanun Nomor 13 Tahun 2003) dan tentang Khalwat (Qanun Nomor 14 Tahun 2003). Beberapa puluh kasus telah diselesainkan oleh Mahkamah Syar'iyyah sebagaimana dilansir oleh beberapa media massa, seperti Serambi Indonesia. Dalam beritanya tanggal 14 Juli 2007 menggambarkan tiga orang yang dikenai hukuman jilid 40 kali dengan rotan karena ditemui sedang menenggak minuman keras.<br />Sesuatu yang menarik untuk dicermati adalah bahwa pemberlakuan Syari'at Islam, atau lebih mudahnya Fikih Aceh, seringkali dikenakan kepada orang-orang kecil atau masyarakat biasa yang setiap harinya sudah ditakut-takuti oleh Wilayatul Hisbah. Mereka sepertinya menjadi korban kebijakan pemerintah yang tidak terlebih dahulu mensosialisasikan peratran tersebut. Ironisnya banyak pejabat yang melanggar namun tidak dikenai hukuman apapun. Mereka sepertinya bebas dari peraturan tersebut. Oleh sebab itu, pelaksanaan syari'at Islam di Aceh harus diliha dari peraturan tersebut. Oleh sebab itu, pelaksanaan syari'at Islam di aceh harus dilihat dengan kacamata jernih dan pikiran yang memihak kepada semua kalangan. Pelaksanaan cambuk memang dimaksudkan untuk memberikan efek jera, namun, banyak orang masih juga belum sadar dan terus menerus mencari cela untuk tetap melaksanakan maksiat itu. Untuk itu, perlu dicermati dan poin berikut ini.<br /><br />1. Qua vadis Potong Tangan dan Rajam<br />Pertanyaan ini menggelitik, karena selama ini, orang-orang yang menolak syari'at Islam dikarenakan oleh trauma masa lalu yang meniscayakan potong tangan bagi para pelaku pencurian dan rajam bagi para pelaku zina. Untuk hukum pezina hingga kini di aceh belum di buat namun hukum pencurian nemapknya tidak lama lagi akan disahkan. Pertanyaan adalah apakah dengan potong tangan semua masalah pencurian akan selesai ? bagaimana kalau pencurian itu diartikan lebih luas? Apakah para koruptor yang sesungguhnya dapat dikategorikan sebagai kelas kakap dikenai hukuman ? kepincangan hukum semacam ini tentu akan menjadi bomerang bagi peneraan Syari'at Islam di NAD.<br />NAD sebagai wilayah yang menjungjung Syari'at Islam sepertinya justru semakin tidak Islam ketika syari'at Islam diterapkan. Para tokoh agama di aceh harusnya memusyawarahkan dengan seksama agar terciptanya fikih yang menghormati nilai-nilai kemanusiaan secara sempurna. Fikih aceh yang humanis akan tercipta apabila masyarakat Aceh mampu memhami syari'at Islam dengan sebaik-baiknya, yang mendasarkan kepada ajaran qur'an Hadits.<br />Potong tangan yang diidentikkan dengan perilaku pencurian perlu dilakukan interpretasi lebih flrksibel. Efe jera yang dihasilkan oleh hukuman potong tangan boleh jadi akan terwujud. Tetapi masalahnya, tidak seluruh pencurian harus dikenai hukuman potong tangan. Terlebih lagi, tidak semua ulama menyetujui eksekusi model ini. Oleh sebab itu, masyarakat aceh, yang diwakili para tokoh agamanya, harus melakukan diskusi intensif untuk merumuskan ijma' (konsensus) sebelum memutuskan bentuk konkret sanksi bagi pelaku pencurian.<br />Stelah itu, tahap yang tidak boleh dilupakan adalah sosialisasi keputusan tersebut yang telah dibentuk dalam qanun kepada masyarakat luas. Hukuman ini juga harus dapat berlaku untuk semua kalangan tanpa terkecuali. Semangat ini telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad yang berjanji akan memotong tangan Fatimah (putri kesayangannya), apabila ia mencuri. Fenomena yang popular terjadi sekarang ini adalag model pemberlakuan hukum yang lebih menekan masyarakat kecil yang hidupnya sudah lelah dihimpit kekurangan dan ketidakadilan. Oleh sebab itu, seperti dicontohkan Umar r.a. apabila pencurian itu dilakukan karena tuntutan ekonomi, maka perlu verifikasi sebelum penjatuhan hukuman yang bisa akan melepas pelaku pencurian tanpa pemberian sanksi apapun. Dalam kondisi ini, pihak yang justru bertanggung jawab adalah para pejabat yang telah menikmati hasil jerih payah rakyat dalam bentuk fasilitas yang sering tergolong mewah.<br />Untuk kasus aceh, apabila pasca Tsunami, kondisi perekonomian masyarakat masih tergolong belum pulih. Penerapan sanksi potong tangan secara serampangan nampaknya akan menambah trauma psikologis berkepanjangan bagi masyarakat. Tentunya, sikap ini akan menjatuhkan Aceh dari penerapan syari'at Islam secara kaffah.<br /><br />2. Efektifitas Wilayah Hisbah<br />Peran wilayatul hisbah memang dapat diakui aparat penegak keadilan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Pada zaman Rasul wilayatul hisbah telah dibentuk. Bahkan Nabi sendiri pun sekaligus menjabat sebagai wilayaul hisbah. Tugasnya adalah meneliti dan mengontrol perilaku masyarakat yag dinilai tidak berlandaskan ajaran Islam. Seperti kasus penjual gandum yang meletakkan gandum basah di bawah gandum kering sehingga saat ada pembeli gandum basah akan bisa masuk timbangan karena pembeli hanya melihat gandum keringnya saja. Nabi sempat marah dan bersabda bahwa mereka yang menipu bukan golongan umatnya.<br />Terkait dengan NAD, wilayatul hisbah merupakan suatu kemajukan karena peraturan tidak alan berlaku efektif kalau tidak ada penegak hukum. Sementara ini yang dirasakan oelh rakyat Indonesia adalah bahwa penegakan hukum di Indonesia masih lebih bersifat tebang pilih, artinya orang kecil dan lemahlah yang selalu menjadi bulan-bulanan aparat penegak hukum sedangkan mereka yang menjadi pelaku kejahatan yang lebih besar justru aman-aman saja. Terus apa kata dunia????<br />Dalam penegakan hukum, sikap tegas aparat memang dibutuhkan. Akan tetapi, ketegasan yang lebih dekat dengan kegarangan akan menyebabkan trauma dan kebencian masyarakat terhadap penegak hukum. Masyarakat justru akan memusuhi aparat yang berlagag berkuasa dan ingun menang sendiri.<br />Di sisi lain, beberapa aksi protes dilancarkan oleh sejumlah pesantren di bawah naungan Rabithah Thaliban aceh yang menilai bahwa penegakan hukum di NAD kini kian melambat. Mereka bahkan mengancam akan menegakkan Syari'at Islam dengan cara mereka sendiri. Ini membuktikan bahwa penegakan hukum melalui wilayatul hisbah memang masih dibutuhkan karena merekalah yang memiliki peralatan dan perlengkapan untuk membuat jera para pelaku maksiat. Namun sayang, apabila mereka sendiri yang melakukan pelanggaran seringkali mereka tidak tersentuh hukum. Ini adalah sebuah ironi yang haus segera dibenahi.<br />Fakta lain yang perlu mendapat perhatian adalah bahwa pelaksanaan syari;at Islam di NAD asih bersifat simbolik. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa banyak anak perempuan yang menggunakan jilbab hanya saat mereka berada di NAD. Saat mereka kelaur NAD, mereka dengan mudah melepaskan jilbab dan mengumbar aurat. Begitu pula para pemabuk dan penjudi. Mereka kalaulah karena takut hukuman jilid, mereka cukup keluar NAD untuk memenuhi hajat bermaksiat. Ini berarti ada yang salah dalam mental orang Aceh. Pembenahan pelaksanaan fikih Aceh seharusnya melibatkan seluruh eleman masyarakat sehingga aceh yang Islami akan dapat dieujudkan. Kekhawatiran banyak kalangan adalah bahwa penerapan syari'at Islam di NAD hanya menjadi komoditas politik para pejabat, bukan merupakan kebutuhan Aceh sendiri.<br />Di era global, NAD bukan wilayah yang tidak tersentuh pergaulan dunia. Sarana informasi saat ini sungguh gencar masuk ke rumah-rumah di wilayah paling terpencil sekalipun. Sejumlah budaya barat yang jelas-jelas merusak moral sedemikian mudah diakses anak-anak muda kita. Bagaimana fikih Aceh menyelesaikan semua problem ini.<br />Dapat diyakini bahwa syari'at Islam di Aceh masih parsial. Untuk menerapkan syari'at Islam secara kaffah sudah barang tentu membutuhkan rentang waktu yang cukup lama. Untuk itu, perjalanan syari'at Islam di Aceh bukannya dihentikan karena dianggap belum mumpuni, namun justru harus didukung seluruh rakyat Aceh bahka seluruh yang menginginkan syari'at Islam. Alangkah indahnya hidup ini kalau semua tata di Indonesia mengingat masyarakatnya sangat heterogen dan telah memiliki budaya yang lama berakar di masyarakat.<br /><br />C. Penutup<br />Dari ulasan di atas, dapat disimpulkan bahwa penerapan syari'at Islam di Aceh perlu pemikiran yang jernih dan hati-hati. Para pejabat yang berkuasa harus merupakan orang-orang terpilih yang dengan hati nuraninya akan mampu mengusung syari'at Islam berwajah fikih khas Aceh yang humanis demi kesejahteraan masyarakat luas (kaffatan linnas), tanpa pilih kasih. Semoga, dengan demikian, Islam yang berslogan rahmatan lil 'alamin akan mudah terealisasi di NAD, Amin.</span><br /></div>Mas Doelhttp://www.blogger.com/profile/00461627397766309038noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7111786766239753974.post-41328639536545023682009-08-11T08:11:00.000-07:002009-08-11T08:22:17.284-07:00PARADIGMA FIQIH KONTEMPORER DALAM MASYARAKAT ISLAM (Telaah Atas Pemikiran Muhammad Syahrur)<div align="justify"><br /><span style="font-weight:bold;">A. Pendahuluan</span><br /><span class="awal">D</span>alam buku Nahwu ushul jadidati li fiqh al Islami, karya Muhammad Syahrur ini berusaha menjelaskan arah problem kontemporer dalam fiqh Islam yang berkaitan dengan fenomena kekinian. Pemikiran ini muncul dilatari bahwa ternyata produk hukum pada masa klasik tidak pada tataran situasional bahkan cenderung stagnan. Fenomena kekinian terus muncul dan berkembang seirama<span class="fullpost"> dengan perkembangan zaman, dimana ilmu dan teknologi semakin canggih secara perlahan menggeser produk pemikiran klasik yang dianggap telah mapan dan sakral. Ketika masyarakat Islam mencoba mempertahankan fenomena ini kemudian berapologi, fanatik dan atomistik. <br />Tema sentral dalam fenomena masyarakat sosial abad ke 20 ini masih beredar pada paradigma klasik, sehingga memposisikan masyarakat Islam dalam kemunduran, keterbelakangan dan kebodohan. Syahrur, mempertanyakan dimana posisi masyarakat Arab yang nota bene sebagai pengembang ilmu pengetahuan dan peradaban Islam yang menjadi rujukan umat Islam bahkan bagi mereka suatu kebanggaan tersendiri bila berasal dari komunitas Arab (arabisme). Seakan komunitas lain rendah dalam memahami Islam, jauh dari nashabnya Rasulullah bahkan Al-qur'an diturunkan dinegerinya, kemudian bagaimana keadaan perempuan diera sekarang ini. <br />Pembahasan ini berkisar pada penerapan konsep ا الكينـونة (being), السيرورة (proses) الـصيرورة (becoming) yang berasal dari bentuk kata kerja صار – سار – كا ن. Kainunah adalah awal mula ada, sedang sairurah adalah bergeraknya masa dan shairurah adalah berakhirnya kainunah setelah melewati tahapan sairurah. pusat kainunah (benda) dan sairurah (masa) sebagai bentuk yang tercermin dalam wujud dengan semua tingkatannya, sedangkan pusat shairurah (bentuk benda) itu tercermin dalam peredaran dan perubahan dalam wujud. Hal ini dapat dipahami bahwa hubungan antara benda/materi dengan masa dan bentuk baru dari materi. Dalam al-qur'an tidak ada pemisahan antara kainunah, sairurah dan shairurah yang kentara pada ayat 5 surat al-haj, dimana penyebutan kainunah (benda) pada kalimat خـلقـكم من تــراب) ) yang kemudian berpindah pada sairurah (proses) yakni menjadi ma' (air mani) kemudian berbentuk shairurah (bentuk lain) yakni manusia yang sempurna.<br />Muhammad Syahrur, menggunakan kerangka teori ini dalam memotret beberapa paradigma baru. Ia mempertanyakan mampukah kita menerapkan konsep ini pada wujud Allah, bagaimana penerapannya dalam masyarakat sosial. Dalam hubungannya dengan tanjil hakim, bagaimana konsep tersebut berinteraksi dengan al-qur'an, terkait pula bagaimana memahami sunnah nabawiyah, seterusnya tampilan masyarakat sosial dan asas persamaan, keadaan perempuan serta masyarakat madani sebagai tawaran dan solusi model persamaan masyarakat sosial dalam Islam era nabi Muhammad.<br /><br />B. Metode Pendekatan <br />Dalam memotret pemandangan dan fenomena ini, Syahrur menggunakan pendekatan hermeneutic dimana teks-teks klasik diberi interpetasi berdasarkan fenomena kekinian yang juga tidak terlepas pendekatan filologi dan sosio histories. Hal ini dimaksudkan bahwa faktor bahasa (filologi) adalah pisau analisis yang memberikan pemahaman makna konteks sebagai sesuatu yang rasional dan nyata, sementara faktor historisitas (kesejarahan) memberikan kontribusi sebagai perbandingan paradigma kontemporer yang dijadikan sebagai acuan. <br />Demikian halnya memotret fenomena fiqh Islam kontemporer paling tidak menghasilkan sesuatu yang baru dan dapat dirterima oleh semua komunitas msyarakat Islam. Misalnya Syahrur dalam kajian hukum, terkenal dengan konsep teori of limits , yaitu membuat sekat atau batas hukum antara batas maksimal dan batas minimal. <br /><br />C. Kegelisahan Akademik Syahrur <br />Kerangka berfikir Syahrur diawali dengan kegelisahannya melihat ketidak cocokan beberapa konsep klasik dengan realita empirik yang ada pada masyarakat modern dan besarnya pengaruh pemahaman kaum fundamental (meminjam kacamata leluhurnya untuk memecahkan masalah kontemporer saat ini), yang kemudian membentuk karakter dan watak kaum muslimin seanteru dunia dan berakibat terpuruk, terbelakang bila dibandingkan dengan komunitas masyarakat lain. <br />Ada beberapa kegelisahan akademik yang tertanam dalam benak Syahrur selama ini dalam dunia Islam, sehingga dalam menuai karya-karyanya selalu menjadikan landasan dalam berusaha mencari solusi. yakni :<br />1. Tidak adanya penelitian ilmiah obyektif, khususnya pada kajian terhadap nash yang diwahyukan kepada nabi Muhammad Saw.<br />2. Kajian keislaman yang ada seringkali bertolak dari perspektif lama yang dianggap sudah mapan dan terperangkap pada tataran subyektivitas bukan obyektivitas. Kemudian kajian ini tidak menghasilkan sesuatu yang baru. <br />3. Tidak memanfaatkan filsafat humaniora, lantaran umat Islam mencurigai berasal dari pemikiran Yunani (Barat) yang keliru dan sesat. <br />4. Tidak adanya epitimologi Islam yang valid. Hal ini berdampak pada fanatisme dan indoktrinasi mazhab yang merupakan akumulasi pemikiran abad-abad silam sehingga pemikiran Islam menjadi sempit dan tidak berkembang. <br />5. Produk-produk fiqih yang ada sekarang ini tidak sesuai lagi dengan tuntutan modernitas. <br /><br />D. Penerapan Konsep Kainunah, Sairurah dan Shairurah <br />1. Allah kainunah, sairurah dan shairurah, Allah-Rab-Ilahi.<br />Dalam menerapkan konsep ini pada tataran Allah, maka harus memposisikan manusia sebagai mahluk berakal. Sehingga memungkinkan memahami Allah, kecuali pada kainunah, sairurah dan shairurah dalam wujud dan dalam diri manusia sendiri. Pembahasan ini, Syahrur mempetakkannya dalam dua wilayah yang berbeda, antara lain :<br />a. Allah bagi dzatNya, dalam konteks ini, Allah sebagai perwujudan dari dzatNya sendiri, yakni Allah sebagai Allah.<br />b. Allah bagi manusia, dalam konteks ini, Allah sebagai wujud yang dapat diketahui melalui ciptaanNya yang tunduk pada kainunah, sairurah dan shairurah yakni Allah sebagai Rab dan Ilah. <br />Anggapan kita, bahwa Allah adalah kainunah saja, berarti sairurah dan shairurah keluar dari dzatNya dan bukan merupakan bagian dari diriNya. Hal ini berarti menafikan hulul dan wihdatul wujud. Dalam kehidupan ini manusia tidak bisa mengetahui siapa itu Allah kecuali dengan dzatNya yang berada diluar ruang dan waktu. Secara praktis dipahami bahwa kainunah (wujud) itu adalah asmaul Husna, sebab dalam Al-qur'an tidak pernah kita jumpai lafadhul jalalah yang berdiri sendiri akan tetapi selalu disertai dengan salah satu sifat Allah, dimana sifat tersebut muncul sebagai wujud uluhiyah dan rububiyah.<br />Allah menurut zatNya adalah Allah, sedangkan pada manusia Allah itu Al-ghafur, ar-Rahman, ar-rahim, ar-Raziq, ar-Rab dan al-ilah. Mengetahui Allah tidak dengan pandangan mata, karena mata itu adalah shairurah (mengalami perubahan) sebab Allah itu pada posisi kainunah yang konstan. Allah itu wujud pada zatNya sendiri sedangkan segala sesuatu selainNya ada awal dan akhir yang tunduk pada masa dan perubahan. Jika kainunah dalam bentuknya sendiri itu Allah, maka adam (tidak ada) dan segala sesuatu yang tercipta itu adalah ilmu Allah.<br />Mengetahui Allah pada dzatNya adalah sesuatu yang mustahil, ma'rifat pada Allah hanya melalui asma-Nya saja, sebab Ia adalah kainunah yang tidak tercipta. Indikasi ini disederhanakan bahwa manusia tidak mungkin belajar kecuali dengan pena. Allah mengistimewakan nama-namaNya agar dikenal dan ketahui manusia. Pada manusia Ia menciptakan untuk memperkenalkan diriNya.<br />Penggambaran dan perenungan manusia pada Allah itu tunduk pada shairurah yang bertolak dari konsep rububiyah dan uluhiyah. Dua konsep ini selalu tunduk (sairurah) proses perjalan sejarah yang terkait dengan ruang dan waktu sedangkan (shairurah) menyangkut proses perubahan yang dimaknakan wujud pada sesuatu yang realitas. Manusia mengira bahwa relaita alam yang ada dihadapannya adalah dzat yang menetapkan bahagia dan celaka, sehingga menempatkan posisi Allah pada tataran ini.<br /><br />2. Kainunah, sairurah dan shairurah dalam Masyarakat sosial.<br />Masyarakat sosial adalah masyarakat yang berakal, individu-individunya memilikii keterkaitan yang erat. Kainunah dalam masyarakat manusia adalah manusia itu sendiri. Sairurah (proses) adalah sejarah yang bekaitan dengan masa sedangkan shairurah menyangkut dengan proses perubahan dan perkembangan masyarakat yang berhubungan dengan tertib sosial. Ketiga hal tersebut pada entitas manusia terlihat pada nabi Adam sebagai bapak manusia sekaligus bapak sejarah, darinya dimulai sejarah manusia dan darinya pula adanya penerapan konsep kainunah menjadi sairurah selanjutnya berubah menjadi shairurah. <br />Syahrur meengungkapkan, dalam al-qur'an terdapat 3 tema yang berbeda yakni : 1) Tema ketauhidan yang tunduk pada tathawwur ma'rifi, perkembangan ini dilihat dari berbagai macam tingkatan/derajat seacara obyektif, mulai dari fenomena alam, binatang, cakrawala dan manusia berbudaya. Sehingga semboyan La ilaha illa Allah merupakan hal yang ideal dan urgen bagi semua manusia karena merupakan sesuatu yang asasi dalam hukum Islam. 2) Tema keteladanan/figure, yang tunduk pada perkembangan yang dimulai dari athi Allah, athi Rasul, Ulil Amri, birrul walidaini hingga wasiat keluarga yang disandarkan pada risalah Muhammad. 3) Tema perundang-undangan yang tunduk pada perkembangan dengan cara menyandarkan antara berbagai undang-undang samawi. <br />Dalam perkembangan masyarakat, kita tidak bisa menafikan tiga hal ini. Sebab menafikan kainunah berarti menafikan manusia, menafikan sairurah berarti meniadakan proses sejarah manusia yang menempati ruang dan masa dan ini adalah wujud obyektif yang berada diluar kehendak kita. Menafikan shairurah berarti menggap manusia itu adalah komunitas yang diam dan tak bergerak. Jika ini yang terjadi maka dapat dipahami bahwa masyarakat manusia itu merupakan komunitas yang diam tak bergerak, meski melalui masa tapi tidak berubah, dan jadilah masyarakat yang tertinggal. Sehingga masyarakat yang berkembang dikonotasikan sebagai masyarakat yang bergerak mengikuti sejarah dan perubahan. Perempuan dalam Islam sulit mendapat tempat disejajarkan dengan laki-laki. Realitas membuktikan selama kurun waktu yang panjang mereka tetap menjadi tiranik kaum laki-laki dengan alasan ini adalah perintah agama.<br />Menilik perjalanan proses tiga konsep ini, Syahrur memposisikan masyarakat Arab sebagai masyarakat kelas rendah, ia secara praktis ada identitas dan kwantitas (kainunah), adanya sepanjang sejarah (sairurah), namun diam tak bergerak (shairurah), maka jadilah mereka masyarakat yang lemah, hina, terbelakang, terkotak-kotak ditengah peradaban bangsa lain. Bila konsep ini ditarik kedalam hal perempuan, maka yang paling menyakitkan adalah pada tataran shairurah, perempuan itu ada dan keberadaannya memenuhi ruang dan waktu, namun dalam proses perubahan mereka kemudian diposisikan sangat rendah dan ingin dikucilkan pada hal-hal kemajuan. Peran perempuan modern sudah mulai nampak akhir-akhir ini yang dianggap sudah menyamai laki-laki sebagai akibat pemulangan konsep sebagai hasil interpertasi yang baru.<br />Syahrur menawarkan 3 perkembangan utama sebagai jalan baru bangsa Arab dan umat Islam untuk keluar dari penyakit psikologis ini, antara lain :<br />1. Perkembangan ilmiah, tidak bisa menafikan penemuan-penemuan ilmiah pada abad yang lalu seperti kedokteran, arsitek, fisika, kimia dan matematika, sebab kita bukan penemu ilmu pengetahuan melainkan pengguna, perekayasa dan perusak, naifnya pengetahuan kita sekarang ini berasal dari peradaban bangsa lain.<br />2. Kemajuan teknologi, umat Islam kosong dari penemuan teknologi, para ilmuan kita tidak menghasilkan karya yang berwujud teknologi. Secara faktual komputer, kapal terbang, mobil, motor, kapal laut, jalan, jembatan, bangunan-bangunan modern, alat komunikasi modern, teleskop dan lainnya bukan hasil karya orang Islam. Sebabnya adalah pergerakan pengembangan ilmu pengetahuan (shairurah) sama sekali tidak berfungsi, sehingga terjadilah kebutuhan teknologi.<br />3. Pergerakan (shairurah) dalam ilmu-ilmu sosial, dalam hal ini terkait dengan manusia itu sendiri sebagai pelaku dan penindak. Manusia seharusnya sebagai penggerak (sairurah) namun realitanya justru menjadi penghambat, karenanya umat Islam semakin jauh dari harapan. <br />Umat Islam bila dihadapkan dengan perkembangan baru dalam fenomena sosial, terbelenggu dengan hal-hal dogmatis yang berakibat ragu, radikal dan penuh dengan pertimbangan serta perbedaan dan perpecahan. Menurut Syahrur, kemunduran ini disebabkan bangsa Arab memiliki konsep yang berbeda, ia mengelaborasi empat kelompok dalam menjawab perbedaan ini, yakni :<br />1. Kelompok yang menarik peradaban Islam kedalam ilmu-ilmu sosial, mereka berkeyakinan bahwa peradaban abad I hijriyah merupakan dasar yang tetap, sehingga meletakkan politik, sosial, hukum, halal dan haram dengan merujuk pada peradaban situasional klasik. Kelompok ini kemudian menjadikan peradaban Islam abad 20 menjadi peradaban yang stagnan. <br />2. Kelompok Islam Liberal, dalam perkembangan peradaban Islam mereka mengadopsi ilmu-ilmu sosial dari peradaban bangsa lain, namun dalam perkembangan dan sosialisasinya kurang memperhatikan peradaban bangsanya sendiri. <br />3. Kelompok pengikut Marxisme, yaitu mereka yang menjadikan Marxis sebagai kiblat keilmuannya, dimana perdebatan manusia, akal manusia dan masyarakat sosial yang kemudian berusaha menerapkannya pada masyarakat. Biasnya kepada umat Islam.<br />4. Kelompok yang mengelaborasi peradaban timur dan barat, atau biasa dikatakan menganut faham liberalisme dan marxisme, akan tetapi mereka tidak perhatian terhadap Islam, akhirnya rela meninggalkan hal-hal asasi dalam agama Islam. <br />Kita tidak terjebak pada asumsi bahwa ilmu Islam berhenti bersamaan dengan berhentinya peradaban bangsa Arab pada masa perkembangan filsafatnya Ibnu Rusyd yang banyak memberikan konstrbusi pemikiran rasional dan kontruktif atau terjebak pada zamannya Imam Al-Ghazali dalam karya fundamentalnya Tahafut al-Falasifah dengan hujjatul Islamnya, dimana pergerakan terfokus pada satu sisi dengan tidak menghiraukan sisi lain. Kata Syahrur, dalam semua kebudayaan terdapat sisi-sisi kemanusiaan tidak perduli bangsa dan peradaban bangsa lain. Ilmu matematika misalnya, terfokus pada rumus perhitungan, akan tetapi dalam perkembangan sejarah rumus itu tidak dapat digunakan lagi.<br />Dalam al-qur'an terdapat proses kainunah, sairurah dan shairurah dalam masyarakat sosial dengan menampilkan kisah-kisah yang didalamnya terdapat pola tata aturan, akhlak dan tauhid yang merupakan aspek terpenting dalam kehidupan masyarakat dalam berbagai bentuk. <br />3. Kainunah, sairurah dan shairurah dalam berinteraksi dengan Al-qur'an.<br />Al-qur'an adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, terdapat penjelasan kenabian dan risalah. Setelah berakhirnya era kenabian Muhammad, manusia mulai berdiri sendiri dan berpegang pada akal dan penelitian, sehingga melembaga menjadi universitas, kajian-kajian ilmiah, majelis perundang-undangan dan parlemen.<br />Kalimat "tiada Tuhan selain Allah" adalah kesaksian yang tertinggi dan merupakan bentuk penyerahan diri dalam Islam, sedang kalimat "Muhammad adalah rasul Allah" juga merupakan kesaksian yang penyerahannya dalam bentuk keimanan. Kita beriman bahwa al-qur'an adalah wahyu Allah baik teks maupun konteksnya dari awal hingga akhir. Karenanya kita harus yakin bahwa al-qur'an merupakan wahyu Allah yang terakhir, jika ini merupakan keistimewaan al-qur'an, berarti al-qur'an adalah muqoddas (disucikan). <br />Dalam membaca al-qur'an, kita akan dapatkan asma Allah, yaitu qudus yang berarti Dzat Yang Maha Kuasa pemberi kehidupan. Demikian pula di dalam surat al-baqorah ayat : 87. Menghidupkan orang yang sudah mati dengan izin Allah adalah salah satu mu'jizat yang diberikan pada nabi Isa. Dari sini kita dapat memahami bahwa al-Muqoddas berarti hidup, dan kita juga dapat memahami bahwa semua nash itu mencakup sifat kehidupan. Al-qur'an merupakan nash muqoddas (teks hidup) karena ia membawa sifat kehidupan, dan datang untuk memberikan kehidupan orang-orang yang berakal bukan pada orang yang mati.<br />Wujud (being) al-qur'an itu hanya pada dzatnya saja, ia turun dari sisi Tuhan yang mana Tuhan juga merupakan wujud (being) dalam dzat-Nya, maka al-qur'an tidak bisa dipahami kecuali dari segi alam (kaun) dengan seluruh etintas dan realitasnya, dan dari asma Allah yang ada dalam entitas dan realitas tersebut. Artinya bahwa alam sebagai alam kully itu hanya Allah saja yang meliputinya, dan kita mampu untuk meliputinya perlahan-lahan dari sela sairurah (becoming) ma'rifiyah.<br />Dari sini dapat diketahui bahwa tidak seorangpun yang memiliki pengetahuan yang kully terhadap al-qur'an baik secara menyeluruh maupun sebagian, meskipun itu seorang nabi dan rasul, karena al-qur'an telah menjadi sekutu Allah baik fi'liyahnya maupun wujudnya. Jika Muhammad mengetahui semua al-qur'an secara kully dan juz'i, tafsiri dan ijtihadi, maka hal ini karena nabi telah menjadi sekutu bagi Allah dalam kema'rifatan-Nya. Bentuk kebahasaan al-qur'an sekarang ini sama dengan bentuk kebahasaannya yang terucap pada abad ke-7, saat Allah menurunkannya kepada nabi lewat hatinya, dan kemudian disampaikan pada manusia dalam bentuk huruf. Bentuk teks kebahasaan al-qur'an adalah bentuk yang tetap, tidak mengalami proses maupun perubahan.<br />Dalam berinteraksi dengan al-qur'an, kita akan mampu memecahkan semua problem besar dalam Islam, seperti masalah ketidak jelasan fiqih dalam perundang-undangan dan filsafat dalam ilmu kalam. Kita butuh model filsafat Islam modern dan fiqih kontemporer dalam aspek perundang-undangan, bukan dalam aspek peribadatan. Dengan demikian terpecahkanlah masalah kebebasan, kenegaraan, kemasyarakatan, kemajuan, demokrasi, hak asasi dan masyarakat madani. sehingga perlu membuka pintu ijtihad selebar-lebarnya dengan mengajukan konsep-konsep baru dalam memahami ayat-ayat ahkam. Syahrur dalam kajian ini, membuat konsep Nadhariyah al-hudud atau theory of limits. Membuat batas-batas hukum dalam Al-qur'an. <br />Dalam berbicara tentang sairurah (process) dan shoirurah (becoming) manusia serta tentang kainunah (being) al-qur'an, maka kita dapat memahami bahwa pemilik satu-satunya kebenaran dan kebenaran kalam Allah adalah garis sempurna proses dan keberadaan manusia seluruhnya, sejak nabi Adam hingga sekarang.<br />Perbedaan antara kalam Allah dan kalimat Allah adalah bahwa al-qur'an merupakan kalam Allah yang tidak secara langsung diturunkan melalui malaikat Jibril ke dalam hati Muhammad baik suara, lafadz maupun bahasanya. Sedangkan kalimat Allah itu berupa undang-undang alam dan manusia. <br />Dalam kaitannya dengan pengembangan ini, Syahrur memberikan kontribusi baru tentang al-qur'an pada era kekinian dengan mengatakan "anggaplah al-qur'an itu baru saja diturunkan dan Nabi Muhammad Saw juga baru meninggal kemarin". Hal ini dimaksudkan bahwa arah baru interpertasi keduanya tidak terfokus pada teks, akan tetapi harus pada tataran kontekstual sesuai zaman kekinian sehingga dapat menghasilkan sesuatu yang baru, terutama dalam hukum Islam. <br />4. Bagaimana memahami sunnah Nabawiyah<br />Muhammad bin Abdullah adalah manusia biasa yang diberikan kelebihan dari lainnya. Kelebihan tersebut adalah karena ia diberi wahyu oleh Allah. Sebagaimana firman-Nya dalam al-kahfi : 11 (katakanlah (Muhammad), sesungguhnya saya adalah seorang manusia seperti kalian yang diberi wahyu). Wahyu yang dimaksud adalah al-qur'an baik teks maupun isinya. Karena wahyu inilah nabi Muhammad kemudian diangkat menjadi seorang Rasul (utusan).<br />Dalam menengok sejarah para nabi dan rasul terdahulu, maka akan menjumpai kenabian dan bukti atas kenabiannya yang berupa mukjizat, datang tidak bersamaan dengan risalah yang mereka bawa. Sedangkan nabi Muhammad antara wahyu (al-qur'an sebagai mukjizat terbesarnya sekaligus sebagai bukti kenabiannya) dengan risalah yang beliau bawa datangnya secara bersamaan. Oleh karenanya, kita tidak pernah menjumpai di dalam al-qur'an perintah untuk mentaati Muhammad sebagai manusia maupun sebagai nabi, akan tetapi kebanyakan kita diperintahkan untuk mentaati Muhammad sebagai seorang rasul, karena ketaatan itu hanya diperuntukkan orang yang terjaga (ma'shum) saja. Dan Muhammad sebagai rasul adalah orang yang ma'shum dalam menjaga risalahnya yang terdapat dalam al-qur'an.<br />Dalam kenabian itu kerkandung tashdiq dan takdzib yang tercermin dalam prilaku keseharian sedangkan dalam risalah terkandung taat dan maksiat yang tercermin dalam psikologi kejiwaannya. Karenanya ketika Muhammad sebagai nabi menyampaikan risalah kepada manusia, misalnya dalam bentuk redaksi ان زلزلة الساعة شيـئ عظيم atau dalam bentuk الله لا اله الا هوالحي القيـومmaka jawabnya tekadang صـدقت atau كـذبت Adapun ketika Muhammad sebagai rasul menyampaikan risalah pada manusia misalnya : فمن كان منكم مريـضااو علي سفـر فعـدة من ايام أخـر maka disini tidak berlaku takdzib atau tashdiq, tapi yang berlaku adalah taat dan maksiat. <br />Dalam era Khalifah Mutawakkil muncul istilah ijma ahlu sunnah, ijma' Shahabat serta keadilan shahabat sejak saat itulah ulama sunnah nabawiyah menjadi penguasa, maka jadilah fiqih dan kekuasaan menjadi satu yang tak terpisahkan, sehingga seacara perlahan-lahan peradaban Arab Islam berubah. Ada beberapa kaidah sunnah qauliyah yang berkaitan dengan fiqih Islam kontemporer, menurut Syahrur adalah :<br />1. Sunnah Nabawiyah, apa yang diucapkan, dikatakan dan ditetapkan oleh nabi sebagai keputusan hukum menunggu perintah dari wahyu. Ini menggambarkan bahwa sosok nabi sebagai orang yang tidak pernah menuruti hawa nafsunya. Berkaitan pula dengan maksud ucapan nabi adalah saduran dari al-qur'an bukan sunnah karena ada indikasi lain. sehingga pengembalian ucapan nabi pada Al-qur'an bukan pada sunnah.<br />2. Sunnah Nabawiyah, baik yang mutawatir maupun yang ahad perlu ada pengembangan, karena sunnah adalah hukum dan hukum itu sendiri cenderung searah dengan perubahan zaman dan tempat. Standar untuk menggunakan hukum sunnah dalam fiqih Islam tergantung pada kesesuaian atau tidak dengan Al-qur'an dan realitas kehidupan masyarakat. Dengan kata lain jika hukum itu sesuai maka diambil kalau tidak bisa ditinggalkan. <br />3. Sunnah Nabawiyah adalah bentuk ijtihad pertama dan alternatif utama yang dipilih nabi sebagai bentuk penyatuan pikiran mutlak dari wahyu, akan tetapi ini bukan terakhir dan satu-satunya sebagai penyelamat. Hal ini membuka peluang pada pencerah fiqih kontemporer untuk mengembangkan interpertasi baru.<br />4. Sunnah Nabawiyah merupakan cermin kebenaran utama, di atas kejernihannya interaksi antara al-qur'an dan alam obyektif.<br />5. Ayat-ayat ahkam kebanyakan diturunkan di Yasrib, yang mana rasul tinggal di Yasrib hanya 10 tahun. Meskipun setelah beliau tidak ada utusan lagi, maka waktu 10 tahun itu sudah cukup meletakkan dasar hukum. Dengan ini tidak dibenarkan melakukan qias terhadap ayat-ayat ahkam, yang benar adalah dengan melakukan ijtihad dengan akal dan kebenaran dalam realita obyektif. <br />6. Keadilan shahabat dan ijma'nya adalah sesuatu yang dikhususkan pada sahabat dan keluarganya saja. Adapun ijma'nya selain mereka hanyalah kesepakatan sekelompok orang-orang masa kini dalam sebuah majlis perwakilan atau parlemen. <br />Berkaitan dengan jumlah rakaat dalam shalat, zakat dengan batas nishabnya, atau puasa dan haji dengan rincian hukumnya tidak didapati dalam al-qur'an, adanya hanya dalam sunnah nabawiyah saja. Sebab semua aturan tersebut di atas terdapat dalam al-qur'an tidak dijelaskan secara rinci, kemudian nabi mengaktualisasikan dalam bentuk amal perbuatan bukan dalam bentuk teoritis. Sehingga sunnah fi'liyah dalam wilayah keimanan adalah benang yang mengikatkan kita (baik bentuk maupun kandungannya) pada risalah Muhammad, yaitu yang berupa rukun iman.<br />5. Masyarakat sosial dan asas persamaan <br />Sebelum kita mamasuki pembahasan tentang mawaris dan aplikasinya sebagaimana yang terdapat dalam al-qur'an, maka terlebih dahulu kita akan berusaha membatasi konsep istilah penting dalam wilayah mawaris yaitu persamaan. Istilah persamaan ini juga sering digunakan dalam berbagai aspek, misalnya persamaan antara wanita dan pria, persamaan antara pekerja dan majikannya dan lain sebagainya dalam wilayah sosial, ekonomi dan politik.<br />Kita tidak bisa menafikan dalam hal ini, peran perempuan dalam wilayah perasamaan hak dan kewajiban bermasyarakat walaupun ada kodrat yang tidak mesti disamakan seperti mengandung ,melahirkan dan menyusui anak, akan tetapi pada tataran yang lain hampir tidak ada beda antara peran laki-laki adan perempuan. Selama mencari nafkah dianggap tugas seorangf laki-laki, secara factual banyak perempuan yang bekerja dan mencari nafkah untuk menghidupkan keluarganya, begitu pula sebalinya. <br />Berbicara tentang persamaan ada dua hal, khususnya dalam wilayah sosial, ekonomi dan politik, maka kita harus membatasi aspek yang sama dari dua hal tersebut. Kita tidak bisa menyamakan pria dan wanita dalam aspek fisiologinya, akan tetapi yang disamakan dalam hal kesempatan untuk bekerja dan menerima gaji atau dalam hal hak untuk mengikuti pemilihan umum. Dari sini Syahrur membedakan dua persamaan, yakni :<br />1. Persamaan individu (tematik), seperti 2 + 2 = 4, ini berarti menempatkan persamaan bilangan 2,3,4. Yang demikian hanya berlaku untuk bilangan satuan saja. Pemahaman ini hanya dari sisi logika. Dan inilah yang disebut dengan musawah riyadliyah aqliyah mujarrodah (persamaan pasti yang hanya menurut akal), dan ini tidak bisa diterapkan dalam kehidupan sosial, karena masyarakat itu kelompok maka yang menjadi asas juga harus kelompok. <br />2. Persamaan kelompok, yang dimaksud persamaan disini adalah persamaan antara dua golongan atau antara individu-individu golongan menurut kualitas dan kuantitasnya masing-masing. Menurut jenisnya masyarakat sosial itu terbagi menjadi dua, yaitu : masyarakat laki-laki dan masyarakat perempuan. <br />Dalam persamaan pria dan wanita, maka yang dimaksud persamaan adalah persamaan dari beberapa tingkat, pertama pria dan wanita secara umum, kedua, pria dan wanita dewasa, ketiga pria dan wanita yang telah menikah, keempat, pria dan wanita yang mempunyai anak dan kelima, pria dan wanita yang telah cerai dari perkawinannya. Syahrur menggambarkan dalam bentuk diagram sebagai berikut :<br /><br /> Masyarakat Sosial<br /><br /> Kelompok wanita Tingkat 1 Kelompok Pria<br /> Kel. Wanita Dewasa Tingkat 2 Kel. Pria dewasa <br /> Kel.wanita bersuami Tingkat 3 Kel. Pria beristri<br /> Kel. wanita beranak Tingkat 4 Kel.Pria beranak <br /> Kel. wanita janda Tingkat 5 Kel. Pria duda<br /><br />Setelah membahas persamaan, melangkah pada pembahasan tentang kaidah-kaidah mawaris dalam al-qur'an. Yang harus perhatikan adalah ; pertama, bahwa tingkat pertama itu mencakup semua tingkatan hukum yang ada dibawahnya, kedua, bahwa persamaan itu terjadi antara dua kelompok yang berbeda. Dari sini dapat dikatakan bahwa dalam mawaris bagian seorang pria dalam kelompok pertama itu tidak harus sama dengan bagian wanita yang berada pada kelompok kedua, karena hal tersebut mengikuti jumlah individu dalam setiap kelompoknya.<br />Dalam mawaris 3 laki-laki disamakan dengan 6 perempuaan itu berarti menyamakan antara dua kelompok yakni menjadikan bagian laki-laki sama dengan bagian perempuan. Sebagaimana firman Allah yang artinya; "seorang laki-laki itu bagiannya sama dengan dua orang perempuan". Hal ini juga berlaku untuk semua kondisi yang mana jumlah individu dalam kelompok wanita itu lemah dari jumlah individu dalam kelompok laki-laki.<br />Kalau diperhatikan, maka bilangan individu dalam tiap kelompok itu harus berupa bilangan bulat, adapun penisbatan antara bilangan kelompok yang satu dengan bilangan kelompok yang lainnya itu adakala berupa bilangan bulat dan adakalanya berupa bilangan pecahan. Misalnya; dua orang laki-laki dari kelompok pria dan lima orang perempuan dari kelompok wanita, kelompok yang pertama berupa bilangan bulat, dan demikian pula dengan kelompok yang kedua juga berupa bilangan bulat. Adapun penisbatan wanita kepada pria maka jumlah pecahan adalah 2/5 = 2,5. Hal ini dapat kita pahami dari perbedaan antara (قوق) dengan ( أكـثر), kata aktsara. digunakan untuk bilangan bulat saja, sedang kata "fauqo" digunakan untuk bilangan bulat juga untuk bilangan pecahan.<br />Jika mengambil kelompok pria, maka jumlah individunya itu sama dengan jumlah individu kelompok wanita. Dengan demikian bagian kelompok pertama itu sama dengan bagian kelompok yang kedua, jadi bagian wanita dalam keadaan yang demikian itu sama dengan bagian pria. Demikian pula bagian kelompok duda itu sama dengan bagian kelompok janda. Artinya bagian wanita janda itu sama dengan separuh dari bagian pria duda.<br />Dari penjelasan di atas dapat dipahami, bahwa ayat mawaris datang diperuntukkan untuk semua manusia. Hal ini tentunya berbeda dengan ayat tentang perintah puasa yang datang hanya diperuntukkan orang-orang yang beriman saja. Ayat mawaris membagi manusia menjadi beberapa bagian yang memiliki beberapa tingkatan. Menurut jenisnya manusia terbagi menjadi laki-laki dan perempuan, sedangkan bila menurut usianya terbagi menjadi kanak-kanak dan dewasa (baligh), dan menurut status sosialnya terbagi menjadi suami/istri dan perjaka atau duda/janda. Sedangkan masyarakat berdasarkan kepercayaannya terbagi menjadi agamais dan non-agamais, dan orang yang beragama terbagi menjadi muslim, nasrani dan yahudi. Nasrani terbagi menjadi khatolik, ortodoks dan protestan.Muslim dibagi menjadi sunni dan syaiah. Jika ditinjau dari segi profesinya maka manusia juga terbagi kedalam beberapa kelompok, yaitu kelompok insinyur/arsitek, kelompok dokter, keelompok pegawai dan kelompok petani. Dan masing-masing dari kelompok ini juga terbagi-bagi lagi dalam beberapa kelompok, misalnya kelompok insinyur pertanian, insinyur bangunan, dll.<br />Syahrur juga membagi masyarakat beradasarkan status sosialnya. Kelompok yang berdasarkan status sosial dengan beragam tingkatan itu adalah suatu sunnatullah dalam kehidupan masyarakat. Dalam perbedaan, masyarakat harus dilihat dari apa yang disebut dengan publik interest (kepentingan umum) dan privete interest (kepentingan pribadi). Dalam private interest misalnya, petani berbeda dengan dokter, insinyur dan pegawai, pedagang, penjual dan sebagainya. <br /> Dalam dunia politik (siayasah), Syahrur menjelaskan bahwa berpolitik itu masuk pada wilayah pertentangan, terkadang saling mendukung dan terkadang juga saling menjegal. Penegasannya perpolitikan bertumpu bagaimana memperbaiki perekonomian dalam membangun negara. Dalam politik dikenal beragam partai politik yang berusaha memperjuangkan aspirasi kelompok masyakarat, ini ditempuh dalam dua jalur ;<br />1. Menafikan kelompok partai lain, selanjutnya mematikan semua kegiatan partai tandingannya dengan mengarahkan masyarakat pada satu partai saja serta berusaha menghilangkan pluralitas. Dari sini nampak muncul penguasa yang diktator dan otoriter, sebagaimana pernah dilakukan partai komunis yang berusaha menyingkirkan aliran borjuis dan kapitalis yang berusaha mensosialisasikan konsep diktator prolitarian dan negara sekuler.<br />2. Tidak menafikan kelompok partai lain, selanjutnya berusaha mengadakan persaingan secara sehat (kompetisi) dan inilah yang disebut dengan demokrasi yang berlandaskan pada kemajemukan berpolitik, mengadakan pemilihan umum, bebas berpendapat, kebebasan pers, sehingga membentuk peradaban bangsa yang aman diatas berbagai pluralitas. <br />Dari dua kelompok itu ia lebih ditekankan pada kelompok kedua, karena melihat apa yang dipraktek oleh nabi khususnya dengan konsep para shahabat memiliki perbedaan yang besar. Dimana sampai sekarang timbul perpecahan berbagai kelompok berdasarkan idiologisnya (muslim, mukmin, yahudi, dan nasrani) orang mukmin muslim terpecah menjadi sunni dan syi'ah. Sunni terkotakkan menjadi syafi'iyah, Malikiyah, Hanabilah dan Hanafiyah. Jika dalam perpolitikan masyarakat seperti ini, maka pemimpin yang dilahirkan diktatorisme yang fanatisme terhadap golongan tertentu. Dalam politik Islam, perempuan selama ini dikesempingkan bahkan tidak diberi hak untuk memimpin Negara dan lain sebagainya. Hal ini juga terbawa dengan interpertasi teks yang tidak menyentuh konteks kekinian sehingga perlu adanya para meter baru yang membawa perempuan memperoleh hak sejajar dengan laki-laki secara wajar sesuai tuntutan perubahan zaman. <br />Masayarakat Madani, melihat kondisi realitas umat Islam dan masyarakat sosial yang berkembang, Sayhrur mengatakan bahwa membentuk masyarakat sosial dan negara madani adalah sebuah tawaran solusi . Sebab jika masyarakat secara relaitas tersusun dari kelompok-kelompok secara ideologis maupun sukunya, demikian pula dengan profesi, pekerjaan, kedudukan dan status sosialnya, maka sudah seharusnya kelompok tersebut disatukan dengan suatu golongan kebangsaan. Dengan demikian akan ada tertib sosial yang membutuhkan tata aturan yang diambil untuk mengikat kelompok tersebut dalam melakukan aktivitas. selain itu harus ada kode etik dan figure publik, tanpa itu masyarakat akan menjadi liar dan negara akan menjadi buas.<br />Pada prinsipnya negara Madinah yang dibangun oleh nabi Muhammad perlu diteladani, karena dengan itu nabi mempersatukan masyarakat pluralis antara Islam Mekkah (Muhajirin) dan Islam Medinah (Anshor) termasuk didalam golongan Yahudi dan Nasrani kedalam suatu tatanan masyarakat sosial dibawah naungan panji-panji hukum yang berlandaskan asas persamaan, hal ini posisi nabi sebagai pengayom bagi semua manusia. Peran figur publik (keteladanan) Nabi Muhammad perlu dijadikan sebagai arah baru dalam kepemimpinan kekinian untuk menata masyarakat, terutama masyarakat muslim yang sudah terhegemoni dengan paradigma teologis yang kental dibenaknya.<br />Mentaati penguasa (ulil amri) dalam mengembang amanat bangsa adalah sebuah keharusan, sebab tanpa penguasa masyarakat akan menjadi terpecah-pecah atau bercerai berai, namun demikian tergantung kepada penguasa sebagai figur publik yang dipercayakan kepada masyarakat. Konsep kepemimpinan Muhammad sebagai figure publik dunia adalah sosok pemimpin demokrasi, dimana negara Madinah telah memunculkan konsep negara modern sepertinya telah ada pembagian kekuasaan legislatif, yudikatif dan eksekutif walaupun nabi sendiri dianggap sebagai pusat pengambilan keputusan.<br />Dalam praktek penyelenggaraan negara, perlu adanya dikotomi antara ibadah dan muamalah. Sebab ada sekat-sekat yang merupakan elemen substantif yang berada pada wilayah tersendiri. Ibadah masuk wilayah substantif pada agama sehingga faktor dogma mendominasi kehidupan sosialnya dan sering menimbulkan konflik sementara muamalah adalah wilayah sosial murni yang terlepas dari dogma yang terindikasi kontrak-konrtak sosial pada masyarakat.<br />Menurut Syahrur, mengatakan bahwa dalam suatu agama mengandung tiga aspek, pertama, aspek keteladanan, atau figur yang tidak mungkin dipisahkan dari pemerintahan dan masyarakat dalam suatu negara. Kedua, aspek peribadatan yang telah dipisahkan dari pemerintahan sejak era kenabian Muhammad. Ketiga aspek perundang-undangan dan hukum yang menuliskan ketentuan Allah dalam kehidupan individu, negara dan masyarakat.<br />Dalam kaitan dengan arah baru pemikiran fiqih Islam, al-qur'an dan sunnah menjadi acuan utama, dengan menginterpertasinya sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan perkembangan ilmu dan teknologi yang semakin berkembang, dan tidak terjebak pada fiqih klasik. Ini harus membutuhkan suatu keberanian dalam merombak tatanan hukum dalam masyarakat yang telah dianggap mapan tapi stagnan.<br /><br />E. Contribution To Knowlidge.<br />Muhammad Syahrur dianggap sebagai tokoh kontroversial dalam pemikirannya terhadap pengembangan ilmu-ilmu keIslaman, bagi penulis justru beliau berani berkorban untuk kepentingan dan pengembangan ilmu pengetahuan dalam dunia Islam. Diantaranya, sebagai berikut :<br />1. Menyumbangkan beberapa teori dalam hukum Islam yang mampu merombak pemikiran umat Islam yang semula statis kemudian kemudian berkembang. Misalnya teori of limits atau Nadhariyah al-Hudud atau teori batas, yang penerapannya hampir menjamah seluruh sistem kehidupan manusia dengan meletakkan batas-batas aktivitasnya terutama dalam kaitannya dengan hukum.<br />2. Dalam fiqh Islam, beliau membuat format baru dengan menginterpertasi al-qur'an dan sunnah Nabi dengan konteks kekinian untuk menggantikan format fiqih situasional klasik yang dianggap telah mapan dan cocok dengan segala zaman. <br />3. Dalam banyak hal, pemikiran Syahrur dijadikan sebagai landasan untuk mengidentifikasi berbagai persoalan keislaman dari sudut rasionalisasi atau islamisasi ilmu pengetahuan yang bebas dari keterikatan dogma dalam upaya memperbaiki citra peradaban masyarakat Islam dimata peradaban bangsa lain.<br />4. Memberikan semangat kepada kaum muslimin melalui pernyataan keagamaan yang dianggap kontroversial, kemudian sadar dan bangkit membela agamanya yang dianggap keterbelakangan, mundur, apologetik dan atomistik, kemudian maju dalam melakukan kajian rasional dalam mengembangkan ilmu-ilmu keislaman.<br /><br />F. Kesimpulan.<br />Dari uraian tentang konsep Kainunah, sairurah dan shairurah serta aplikasinya, dapat disimpulkan :<br />1. Allah berwujud dengan wujudNya sendiri (Kainunah) tanpa sairurah dan shairurah. Ia diketahui melalui asmaul Husna, karena penyebutan Al-qur'an tentang lafzdul jalalah selalu disertai salah satu sifatNya. Pada manusia diketahui bahwa Allah itu ar-Gahfur, al-Rahim, ar-Raziq, ar-Rab dan ilah yang mengarah pada rububiyah dan uluhiyah karena tunduk pada sairurah dan shairurah.<br />2. Dalam masyarakat sosial, kainunah adalah keberadaan masyarakat manusia itu sendiri, sairurah adalah proses sejarah terbentuknya masyarakat, sementara segi shairurah adalah bagaimana sejarah perubahan dan pergerakan perkembangan masyarakat itu dalam menata kehidupannya.<br />3. Wujud Al-qur'an itu hanya pada zatnya saja, maka al-qur'an tiadak bisa dipahami kecuali dari segi alam dengan seluruh entitas dan realitasnya yang tidak bisa diketahui secara kulli oleh manusia, nabi mengetahui sercara kulli karena ia telah menyatu dengan wujud Allah. Kalau kita mampu berinteraksi dengan al-qur'an kita akan mampu memecahkan berbagai fenomena kekinian termasuk ketidak jelasan perundang-undangan dalam fiqih Islam dan filsafat dalam ilmu kalam. Dengan demikian terpecahkan fenomena kebebasan, kenegaraan, kemasyarakatan, kemajuan, demokrasi dan sebagainya dengan meletakkan asas-asas baru melalui ijtihad.<br />4. Memahami sunnah Nabawiyah sebagai saduran wahyu Allah kepada Nabi yang kemudian direfleksikan dalam bentuk fi'liyah, qauliyah dan takririyah. Jadi mentaati sunnah nabi adalah al-qur'an dan ini adalah bentuk ijtihad pertama sebagai alternatif untuk penyatuan pikiran mutlak yang diwahyukan. Sunnah adalah hukum dan hukum selalu searah dengan perubahan zaman, maka standar penggunaannya tergantung kesesuaian atau tidaknya dengan al-qur'an dan realitas dalam masyarakat.<br />5. Persamaan masyarakat harus dilihat secara kelompok dalam wilayah sosial, ekonomi dan politik dengan membatasi pada dua aspek yang sama pada kelompok tersebut. Pria disamakan dengan wanita dalam mawaris dalam tingkatan tertentu. Begitu pula memahami perbedaan dan persamaan dalam alam demokrasi, status social, hak memperoleh pendidikan pekerjaan, dan seterusnya harus disamakan dengan laki-laki.<br />6. Format persamaan memperoleh perlindungan hukum dalam negara dapat dilihat pada masyarakat madani yang dibangun Oleh Rasulullah Saw dan ini dianggap sebagai tawaran solusi bagi negara modern saat ini. <br /><br />DAFTAR BACAAN<br /><br />Syahrur,Muhammad. 2003.Nahwu Ushul Jadidati Li Fiqh Al-Islami, fiqh perempuan ( wasiat, waris, pemimpin dan pakaian), pemikiran Islam modern (4)<br />Syahrur, Muhammad. 2003. Dirasat Islamiyyah fi ad-Daulah wa al-Mujtama' terj Saifuddin Zuhri (Tirani Islam Genelogi Masyarakat dan Negara, LkiS, Yogyakarta.<br />Syamsuddin, Sahiron, dkk, , 2003. Hermenutika Alqur'an Mazhab Yogya, Islamika, Yogyakarta.<br />Tashwirul Afkar Jurnal pemikiran keagamaan dan kebudayaan, 2002. Deformalisasi Syariat edisi 12 Lakpesdam NU. <br />Jurnal Analytica Islamica. 2002. Kecenderungan Baru dalam perkembangan pemikiran Islam, Vol.3 Nomor. 2, Pascasarjana IAIN Sumatera Utara.</span><br /></div>Mas Doelhttp://www.blogger.com/profile/00461627397766309038noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7111786766239753974.post-7766808702636422642009-06-15T20:11:00.000-07:002009-06-15T20:16:48.152-07:00MODEL KEPEMIMPINAN DALAM ISLAM<div face="verdana" align="justify"><span style="font-weight: bold;">1. Model Kepemimpinan Rasulullah SAW</span><br /><span class="awal">M</span>odel kepimimpinan Rasulullah SAW merupakan contoh sempurna bagi setiap generasi umat yang punya keinginan untuk menjadi seorang pemimpin. Tentunya perilaku Rasulullah SAW dengan sifatnya yang empat, yaitu shiddiq (jujur), amanah (dipercaya/akunta ble), tabligh (menyampaikan/trasnparan), dan Fathonah (cerdas).<span class="fullpost">Pencitraan terhadap sifat Rasul SAW merupakan model ala kepemimpin Rasulullah SAW. Tentunya semua kita dan masyarakat akan menginginkan pemimpin yang amanah dan shiddiq, bisakah masyarakat wujudkan pemimpin yang amanah itu ?<br />Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mementingkan kepentingan rakyat dan umat di atas kepentingan pribadi dan golongan, idealnya begitu!!!. Kita mungkin pernah mendengar sejarah kepimpinan khalifah Umar bin Khattab, Umar bin Abdul Aziz, Sultan Shalahuddin al-Ayyubi, yang merakyat, yang peduli kepada umat bagi mereka “masyarakat tidak butuh janji tapi tindakan yang reel” sampai-sampai Khalifah Umar bin Khattab mikul sendiri gadum yang diberikan kepada rakyatnya, karena melihat rakyat lagi kelaparan.<br />Model Kepemimpinan Rasulullah SAW dan realitas kepemimpinan saat ini kepemimpinan merupakan sebuah modal yang harus dimiliki oleh para pemimpin yang hendak menjadi pemimpin. Biasanya, masing-masing pemimpin memiliki model mereka sendiri dalam memimpin sebuah organisasi baik formal maupun non-formal atau organisasi yang sangat besar. Namun secara garis besar model kepemimpinan dibagi menjadi 5 gaya kepemimpinan, yaitu : 1. Otokratis, 2. Militeristis, 3. Paternalistis, 4. Kharismatik, dan 5. Demokratis. Dari kelima model kepemimpinan di atas masing-masing ada penganutnya. Namun yang paling berhasil dan paling fenomenal seorang pemimpin yang pernah ada di dunia ini adalah Rasulullah SAW. Beliau berhasil karena mampu mengkombinasikan kelima model kepemimpinan di atas sehingga model kepemimpinan yang dianut oleh beliau menjadi sempurna.<br />Hampir tidak ada sejarah yang menceritakan kecacatan yang Rasulullah lakukan selama beliau menjadi pemimpin. Hal ini dilakukan karena dari model-model terdapat kelemahan dan juga kelebihan dari masing-masing model kepemimpinan tersebut. Selain itu, yang tidak boleh dilupakan adalah pribadi dari seorang pemimpin itu. Semua model itu tidak akan berarti apa-apa apabila diaplikasikan oleh seorang yang memiliki kepribadian yang buruk. Ia senang korupsi, menindas rakyat kecil atau mengambil hak orang lain. Hal ini secara tidak langsung akan membuat masa kepemimpinannya tidak akan bertahan lama. Oleh karena itu, Rasulullah SAW adalah contoh pemimpin sempurna yang pernah ada selama ini. Karena beliau mengkombinasikan antara akhlakul karimah dengan model kepemimpinan yang ada. Kekuatan akhlak yang Rasulullah miliki mampu menciptakan kekuatan baru yang sangat luar biasa. Dengan kekuatan itu, Rasulullah menjadi mampu menegakan dan menyebarkan ajarannya keseluruh penjuru dunia. Walaupun begitu, karena kemuliaannya tadi, tidak ada rasa sombong, ujub atau membanggakan diri sedikitpun yang timbul pada diri Rasulullah SAW. Inilah yang membedakan Rasulullah dengan pemimpin-pemimpin yang ada saat ini. Mereka sangat haus dengan kedudukan, harta, bahkan hal-hal yang menurut mereka dapat membuatnya kaya di dunia ini, sehingga mereka dapat menjalankan segala keinginan mereka sesuai nafsu yang mereka inginkan. Oleh karena itu, ketika ada pertanyaan model kepemimpinan apa yang harus kita jalankan, maka jawaban yang harus timbul adalah poin yang keenam yaitu model kepemimpinan Rasulullah SAW. Hal ini dikarenakan Rasulullah SAW-lah seorang pemimpin yang sudah diakui oleh dunia dalam berbagai hal, baik dari segi akhlak dan kemampuan-kemampuan yang lainnya. Oleh karena itu, pemimpin yang relevan dengan keadaan saat ini adalah seorang pemimpin yang paling mengenal siapa itu Nabi Muhammad SAW dan mengamalkan segala bentuk ajaran/risalah yang beliau bawa. Selain itu pemimpin saat ini haruslah benar-benar memusatkan perhatiannya terhadap amanah yang ia emban. Dan yang tidak perlu dilupakan adalah keadilan yang harus ditegakan dalam kinerjanya kelak.<br />Seorang pemimpin semetinya tidak membeda-bedakan suku, agama, ras dan agama. Apalagi di Indonesia yang multi agama dan menyebarnya faham-faham pluralisme, tentunya tak pantas kalau seorang pemimpin harus membeda-bedakan agama, ras dan suku dalam ranah-ranah publik. Dan sepatutnya pula pemimpin umat yang pro rakyat, yang meneladani sifat Rasulullah SAW, kalau dalam bahasa yang mudah dipahami adalah pemimpin yang “muhammadanisme”, bukan karena dari kalangan organisasi keagamaan (NU, Muhammadiyah, PERSIS, dan sebagainya).<br /><br /><span style="font-weight: bold;">2. Kepemimpinan Model Sholat Berjamaah</span><br />Ketika seseorang telah terpilih menjadi pemimipin dengan kriteria model kemimpinan Rasulullah SAW sebagaimana yang saya tulis diatas, maka tahap selanjutnya adalah dalam kepemimpinannya harus pandai membuat strategi-strategi dan job description yang jelas dan pro-umat. Para ulama banyak mengomentasi tentang filsafat sholat berjamaah sebagai obyek dalam mengaktulisasikan kinerja seorang pemimpin dengan berbagai macam interpretasi dan penafsiran yang tentunya mengarah kepada seorang imam sholat berjamaah dengan poin-poin sebagai berikut:<br />a. Seorang Imam Sholat harus fathonah<br />Imam sholat berjamaah harus cerdas. Artinya harus faseh bacaan al-Qur’an dan faham maksudnya ayat yang dibacakan tadi. Hal ini merupakan syarat mutlak seorang imam, karena jika ada imam sholat yang bacaannya tidak sesuai dengan tajwid, maka para ulama menghukumi sholatnya itu tidak sah. Jika aturan imam sholat pertama ini kita tarik pada ranah kepimpinan dalam lembaga, organisasi, kepala negara, maka sejatinya seorang pemimpin itu harus cerdas, pintar dan tentunya punya wibawa dan kharismatik di mata masyarakat. Cerdas dalam melihat situasi dan kondisi, cerdas dalam mengambil keputusan, cerdas dalam memecahkan problem masyarakat, cerdas dalam menafsirkan bergabagai gejala sosial yang timbul ditengah-tengah masyarakat, dan yang terpenting adalah seorang pemimpin harus cerdas dalam berbagai bidang. Karena misalnya pemimpin Negara, tentunya dia tidak bisa hanya mampu dalam bidang-bidang tertentu sementara bidang yang lain diabaikan, hal semacam ini akan membuat roda pemerintahannya akan terlihat pincang tidak stabil. Seperti imam sholat jika tidak menguasai kaidah makhraj huruf dalam bacaannya, maka tentunya akan menjadi tidak sempurnanya sholat, dan itu semua akan berdampak kepada jamaah sholat.<br />b. Seorang Imam Sholat harus sehat<br />Imam sholat wajib dan harus sehat jasmani dan tentunya pula harus sehat rohani. Syarat ini merupakan mutlak bagi imam sholat, karena jika imam sholat sakit (tidak sehat secara jasmani, apalagi rohani) maka akan mempengaruhi terhadap kondisi dan tidak sempurnanya sholat. Penafsiran semacam ini lebih pada interpretasi tidak sehat secara jasmani. Sementara sakit secara rohani merupakan sifat yang abstrak (tidak nampak) dan sakit semacam ini bisa mempengaruhi terhadap ketidak khususan imam dalam memimpin sholat berjamaah. Misalnya, jika imam sholat ada masalah atau sifat dendam, dengki, hasut, dan ruya’, maka sifat ini tentunya punya pengaruh besar terhadap ketidakeksistensi dalam membaca ayat-ayat al-Qur’an dan bahkan bisa tidak konsen dalam menghitung jumlah rakaat sholat.<br />Jika kemudian problem imam sholat yang semacam ini, ditarik dalam ranah kepemimpinan, maka seorang memimpin itu harus sehat secara jasmani dan rohani. Misalnya, beberapa hari setelah dideklarisasinya enam kandidat capres dan cawapres Indonesia, terlebih dahulu dia harus mengadakan pemeriksaan kesehatan pada tim dokter yang sudah dipersiapkan oleh Komisi Pemilihan Umum sebagai penyenggara. Ini mengindikasikan bahwa seorang pemimpin secara fisik harus sehat. Sehat secara jasmani tidak cukup untuk mempersiapkan seorang pemimpin, tetapi dia juga harus sehat rohani. Masalah rohani, ini adalah wilayah-wilayah abstarak, ranah-ranah yang sulit ditebak, dan sulit diintretasikan dalam ranah public. Sakit secara rohani ini banyak orang menafsirkan adalah sakit jiwa yang secara terperinci adalah dia mempunyai sifat sombong, riya’, dendam, iri hati, dan sebagainya. Sifat-sifat semacam ini harus di buang jauh-jauh dari hati seorang pemimpin karena akan mempengaruhi terhadap kinerja pemerintahan dan cendrung memilih dan memilah, karena seorang pemimpin yang sejati tidak bisa memilih dan memilah suku, agama, dan golongan dalam memberikan keputusan yang menyangkut orang banyak.<br />c. Seorang Imam Sholat siap dikritik<br />Manusia adalah cendrung keliru dan salah, karena itu merupakan sifat manusia, karena itu Islam mengajarkan harus saling menasehati dalam kebenaran dan ketaqwaan. Dalam sholat umpanya sering kita jumpai seorang imam lupa atau keliru dalam melafazdkan bacaan, maka para jamaah harus menegur secara ma’ruf sesuai dengan aturan dalam kaifiat sholat yaitu jika imam sholat keliru maka ucapan yang pantas diucapkan sebagai ungkapan kritikan adalah ”subahanallah”. Jika imam sholat mendengar ucapan itu, maka dia harus mengerti dan faham bahwa dia keliru, salah dalam melafadzkan bacaan al-Qur’an. Dan seorang imam juga tentunya menyadari dan segera memperbaiki bacaanya yang keliru itu, dan tidak boleh egois dan angkuh dengan meneruskan bacaan yang salah itu sampai selesainya sholat, hal ini akan mengurangi nilai-nilai kehilahiyah dalam sholat itu sendiri.<br />Kalau masalah diatas ini kita tarik pada ranah-ranah kepimpinan, maka seorang pemimpin itu tidak boleh egois apabila dikritik dalam pemimpinannya, memang itulah salah satu tugas seorang pemimpin siap dikritik selama kritikan yang konstruktif (membangun) yang membawa perubahan pada perbaikan dalam kepimpinannya. Jika pemimpin itu tidak siap dikritik, maka jangan jadi seorang pemimpin, karena tatkala pemimpin hanya mengandalkan dan memperhatankan keegoisannya, maka akan mempengaruhi terhadap kinerja kemipimpinannya.<br />Masyarakat yang dipimpin harus mengatahui aturan dan mekanisme cara mengkritik yang sopan dan mekanisme mengkritik yang benar, jangan asal mengkritik tapi tidak konstruktif karena itu akan menimbulkan masalah baru.<br />d. Seorang Imam Sholat harus tahu aturan<br />Imam sholat harus mengatahui kaifiah menjadi imam sholat. Misalnya jika memang dia tidak mampu untuk menjadi imam lebih baik memberikan kesempatan pada yang lain untuk menjadi imam, baik dari segi bacaan yang kurang tajwid, dan sebagainya. Jika dipaksakan untuk menjadi imam, dikhawatirkan akan membatalkan sholat. Begitu juga seorang pemimpin jika memang dia tidak mumpuni untuk menjadi seorang pemimpin sebaiknya dia harus memberikan kesempatan pada yang lain yang lebih mumpuni dalam memimpin, karena “jika suatu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya”.</span><br /></div>Mas Doelhttp://www.blogger.com/profile/00461627397766309038noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7111786766239753974.post-60014183834772521702009-06-02T09:20:00.000-07:002009-06-02T09:23:53.181-07:00HARTA BUKAN SEGALA-GALANYA (Belajar dari Kisah Drama Manohara)<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh_5yAU4aSRyX2U5Bhwv9u8sTIIMizDJdZiFLIo_m5D0yFjNDqyn71N9RBYU1DAn-dVFX8WpxrBzIu78o0W4S-Hltd-ZOIbXor6sSsQ56PpiIsc1qt2T-HjoOpLywQZ4IRrBFNsrVef/s1600-h/MANOHARA.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 200px; height: 200px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh_5yAU4aSRyX2U5Bhwv9u8sTIIMizDJdZiFLIo_m5D0yFjNDqyn71N9RBYU1DAn-dVFX8WpxrBzIu78o0W4S-Hltd-ZOIbXor6sSsQ56PpiIsc1qt2T-HjoOpLywQZ4IRrBFNsrVef/s320/MANOHARA.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5342766240386024738" border="0" /></a><span class="awal">M</span>edia massa baik cetak maupun elektronik telah saut sambut menginfokan berita tragedi seorang model cantik Manohara Odelia Pinot (Mano) yang diperisterikan Tengku Muahmmad Fakhry, pangeran dari Kesultanan Kelantan Malaysia, yang mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dilakukan oleh suami dan keluarga Kesultanan. Dengan berbagai motiv kekerasan yang dilakukan, seperti penyekapan Manohara dalam kamar istana, pengawalan yang ketat dari bodyguard istana, dan terbatasnya ruang gerak seorang isteri sultan,<span class="fullpost"> nafkah lahir tak tercukupi, dan masih banyak motiv KDRT lain yang menimpa Manohara, bahkan tatkala Manohara diajak jalan-jalan, Manohara harus pakai perhiasan sebanyak-banyak, Manohara harus berpura-pura romantis dengan Fakhry, karena banyak wartawan yang memotret. Semua itu hanyalah patamurgana. ”Senyumku adalah jeritan tangis bathinku (Manohara)”.<br />Peristiwa ini telah banyak mengudang perhatian masyarakat, bukan hanya masyarakat Indonesia dan Malaysia, tetapi tentunya info itu merambat menjadi berita mancanegara. Ironis tentunya bagi masyarakat menafsirkan tentang seorang model cantik yang bersuamikan tuan muda raja kesultanan, yang berlimpah harta dan bertatahkan permadani, yang tak pernah merasakan kesulitan hidup, kekurangan makanan, gizi buruk dan sebagainya. Ungkapan itu tentunya akan muncul dibenak siapa saja yang menyaksikan pernikahan Manohara dengan Tengku Fakhry pada tanggal 28 Agustus 2008 lalu, tapi kenyataannya tak selamanya harta dan kedudukan tinggi membawa kebahagiaan dan ketenangan bathin, hingga akhirnya penilaian masyarakat Indonesia yang dulu terharu dan bahagia seorang keluarga Kesultanan Kelantan Malaysia telah mempersunting putri asal Indonesia yang cantik dan anggun, akhirnya berbalik 99 % dari penilain positif menjadi negative doble.<br />Drama Manohara diatas adalah salah satu contoh dari ribuan contoh kasus penyiksaan wanita Indonesia di Malaysia. Kalau kita kilas ke belakang akan sejarah penyiksaan wanita Indonesia, maka tentunya fikiran kita akan tertuju kepada Tenaga Kerja Wanita Indonesia (TKW) yang disiksa majikannya dengan sadis, bahkan ada yang meninggal dunia. Manohara saja disiksa apalagi non-Manohara. Merenunglah Masyarakat Indonesia.<br />Dalam tulisan ini, saya juga akan menyampaikan dan bertanya pada kita semua (masyarakat Indonesia) sebenarnya ada apa antara Indonesia dengan Malaysia? Bukankah dua Negara Bikateral ini menjalin hubungan baik-baik saja, bahkan kalau kita melihat di Televisi, bahwa stasiun televise Indonesia berkerjasama dengan stasiun televisi Malaysia untuk memberitakan peristiwa yang terjadi di Malaysia dan Peristiwa yang terjadi di Indonesia, tapi kenapa Malaysia banyak menyiksa orang Indonesia?. Itulah tentunya pertanyaan yang membutuhkan jawaban pasti dan ditunggu oleh masyarakat Indoensia.<br />Menarik intisari dari Drama Manohara diatas bahwa ternyata harta dan kekayaan itu tidak selamanya menjadi ukuran untuk orang bisa bahagia, ternyata kebahagiaan itu hanya milik hati bukan mata (pandangan) dan khayalan. Banyak orang kaya, tapi hatinya gelisah, banyak orang kaya, tapi hidupnya merana. Senyumnya orang kaya, tapi hatinya menangis, sedihnya orang kaya, hatinya yang sakit. Kalau kekayaan itu milik hati, maka semua orang bisa kaya, karena kaya yang hakiki adalah kaya hati, kaya budi, dan kaya perangai. Bukan itu semua adalah ajaran agama kepada semua umatnya.<br />Kisah pilu yang menimpa wanita 17 tahun itu cukuplah menjadi pelajaran (ibroh) buat umat manusia di dunia, khususnya masyarakat Indonesia, jangan mudah tergoda dengan kemilau harta dunia dengan merelakan anaknya dinikahi oleh konglamerat tapi melarat. Jadikan kasus Manohara sebagai qudwah hasanah untuk tidak melakukannya lagi. Sudah bayak air mata berjatuhan di Negara kita. Kekerasan Dalam Rumah Tangga sudah ribuan kasus terjadi di masyarakat kita. Bukan cuma laki-laki sebagai pelaku, tetapi juga dari kalangan perempuan, hingga Indonesia telah membuat UU KDRT, dengan tujuan untuk melidungi kaum wanita dari penganiayaan, kekerasan, dan mengankat derajat kaum wanita (tapi ‘nggak naik-naik).<br />Alhasil. Belajar dari kisah yang menimpa Manohara itu, menyadarkan kita akan hidup sederhana jauh lebih utama, dari pada hidup bergelimang harta. Kalau orang bijak mengatakan: “Lebih baik makan singkong betulan, dari pada makan roti dalam mimpi”. Harapku: Jangan ada Manoharadisme lagi terjadi. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bi al-Showwab.</span>Mas Doelhttp://www.blogger.com/profile/00461627397766309038noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7111786766239753974.post-21564370949643785102009-06-01T00:34:00.000-07:002009-06-01T00:36:37.634-07:00KAWIN PAKSA<div style="font-family: verdana;" align="justify"><span class="awal">S</span>ebelum kita pembahas lebih jauh tentang Kawin Paksa, maka ada baiknya kalau kita bahas dulu definitive kata perkata dari Kawin dan Paksa itu. Secara bahasa Kawin adalah berkumpul, aqad. Sedangkan secara istilah adalah ikatan dari dua jenis yang berbeda dalam perkawinan. Paksa secara bahasa adalah tidak rela.<span class="fullpost"> Menurut istilah adalah perbuatan yang dilakukan tanpa ada kerelaan diantara pihak. Menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 bahwa kawin adalah berkumpulnya dua insan yang diikat dengan tali perkawinan. Sedangkan terminology dari Kawin Paksan adalah ikatan perkawinan yang tidak adanya kerelaan diantara salah satu pihak.<br />Perkawinan adalah sesuatu yang sacral yang dilakukan berdasarkan agama dan fitrah manusia yang saling mencintai yang diikat dengan tali yang disebut dengan perkawinan. Banyak kasus yang kita lihat di masyarakat tentang fenomena-fenomena pernikahan yang sudah banyak diangkat dalam kajian penelitian oleh para pakar hokum Islam terutama bidang hokum keluarga (al-Ahwal Al-Syakhsyiyah). Kawin paksa adalah salah satu fenomena social yang timbul akibat tidak adanya kerelaan diantara pasangan untuk menjalankan perkawinan, tentunya ini merupakan gejala sosial dan masalah yang timbul ditengah-tengah masyarakat kita. Kawin paksa ini muncul tentunya banyak motiv yang melatarbelakanginya, misalnya ada perjanjian diantara orang tua yang sepakat akan menjodohkan anaknya, ada juga karena factor keluarga, atau bahkan ada karena calon mertua laki-laki kaya.<br />Perjodohan atau kawin paksa ini praktek sudah banyak kita lihat di masyarakat terutama masyarakat pesisir, seperti di pulau Madura, yang sudah dijadikan tradisi menjodohkan anaknya sejak masa kecil, bahkan masih dalam kandungan atau belum jadi kandunganpun mereka sudah mengatakan MoU (consensus) untuk menjodohkan anaknya. Fenomena semacam ini bisa jadi masalah, dan bisa juga bukan masalah. Perjodohan itu akan menjadi masalah apabila diantara kedua belah pihak yang dijodohkan tidak ada kerelaan (persetujuan) kemudian dipaksa untuk melakukan perkawinan, maka lambat laun perjalanan ikatan perkawinan mereka akan berantakan dan tidak harmonis, karena perkawinan mereka didasarkan atas adanya intervensi. Seperti banyak kasus di masyarakat angkat perceraian relative tinggi, tentunya hal itu terjadi karena beberapa motiv alas an, ada karena factor ekonomi, perselingkuhan, intervensi, impotensi, mandul, atau factor lain. Kawin Paksa dalam hal ini kadang masuk pada wilayah intervensi, perselingkuhan. Karena apabila seseorang dipaksa untuk menikah dengan orang yang tidak dicintai, sementara dia masih dalah status pacaran misalnya dengan laki-laki lain atau wanita lain, maka hal ini cendrung akan mengakibatkan tidak akan harmonisnya kehidupan rumah tangga.<br />Rekomendasi<br />Zaman sekarang kata kaum muda bukan seperti zaman Datuk Maringgi atau Siti Nurbaya yang mau dijodoh-jodohkan. Sekarang ini sudah zaman milinium ketiga, anak remaja sudah pintar-pintar dan cerdas, apalagi masalah memlilih pasangan hidup maunya yang sempurna, jadi orang tua sudah tidak punya wewenang penuh mengatur anak soal masalah pasangan hidup, orang tua hany bisa merestui hubungan mereka, tetapi orang tua juga punya kewajiban untuk memberikan masukan kepada anaknya dalam memilih jodoh yang baik dan berakhlak mulia yang tentunya dasar utama adalah agama.<br />Agama mengajarkan kepada umat manusia untuk memilih jodoh dengan empat kriteria (1) karena cantiknya, (2) keturunannya, (3) Hartanya, dan (4) karena Agamanya (akhlak). Yang lebih utama dari keempat criteria itu adalah karena agamanya. Tapi realitanya bahkan ada remaja kita saat ini banyak yang milih karena cantik wajahnya, sementara kaum hawa memilih pasangan bukan karena gagah dan ganteng, tetapi siapa yang banyak uangnya. Itulah realita yang terjadi di masyarakat kita. Kenapa perempuan identik dengan materi karena kelak nanti perempuan itu menjadi bendahara di rumah tangga. Lagi-lagi kalau kita ambil contoh bodohnya adalah lokalisasi mayoritas penghuninya kaum perempuan. Kenapa perempuan jadi rebutan? Karena zaman Jahiliah dulu perempuan hanya dijadikan tempat pelampiasan seks/libido kaum laki-laki. Tapi setelah Rasulllah muncul dengan membawa risalah Islam maka derajat kaum perempuan diangkat dan bermartabat. Sekarang perempuan bagaimana??? Tanyakan mereka..?<br />Kita kembali pada pembahasan Kawin Paksa, kalau kasus-kasus sebagaimana yang saya jelas diatas maka yang mejadi korban adalah perempuan, jika terjadi perceraian, maka statusnya akan berubah menjadi janda, sementara janda di masyarakat modern menjadi cacian dan umpatan. Untuk itu kepada orang tua tugasnya hanya merestui setelah melalui perdebatan panjang, biarkan anak memilih pasangannya sendiri, jangan di paksa, kalau nanti ada pemaksaan khawatir akan menimbulkan masalah baru, seperti kejadian beberapa bulan yang lalu ada anak gadis yang gantung diri (mati) karena dipaksa orang tua untuk menikah dengan orang yang tidak dicintainya. Semoga artikel singkat ini menjadi renungan buat orang tua dan para remaja yang kebingungan cari pasangan. Semoga bermanfaat buat kita semua. Wallahu a’lam bi al-Showwab.</span><br /></div>Mas Doelhttp://www.blogger.com/profile/00461627397766309038noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7111786766239753974.post-19140584339868797482009-05-29T20:48:00.000-07:002009-05-29T21:20:14.153-07:00JILBAB SIMBOL KAMPANYE PILPRES<div align="justify"><span class="awal" style="font-family:Verdana;">H</span><span style="font-family:verdana;">ari-hari menjelang masa kampanye Pilpres yang dimulai tanggal 2 Juni 2009, masyarakat sudah disibukkan dengan merapatkan barisan untuk mendukung pasangan Pilpres, baik dari kalangan TNI (purnawirwan), pemerintah (aktif) sebagaimana diberitakan Koran Jawa Pos (28/05/2009), bahwa Sutanto (mantan Kapolri) telah mendeklarasikan Gerakan Pro SBY (GPS)</span><span class="fullpost" style="font-family:verdana;"> Jawa Timur yang melibatkan banyak tokoh dan bahkan Gubernur dan Walikota/Pupati yang masih aktif, diantaranya adalah Imam Utomo (mantan Gubernur Jatim), Basuki Sudirman (mantan Gubernur Jatim), Soekarwo (Gubernur Jatim), Saifullah Yusuf (wakil Gubernur Jatim), Hasan Aminuddin (Bupati Probolinggo), Aminur Rohman (Walikota PAsuruan), Win Hendrarso (Bupati Sidoarjo), dab Ja’far Shodiq (Ketua DPRD Jatim).<br />Ditempat terpisah Wacapres Wiranto (JK-Win) telah merepatkan barisan dengan Purnawirawan TNI, tetapi dalam pertemuan itu Wiranto meminta TNI harus netral saat kampanye.<code><a href="http://www.lila-adila.blogspot.com/">baca juga disini</a></code> Lagi-lagi Mega kritik Menteri jadi Tim Sukses. Di kalangan masyarakat kita juga melihat ada sekelompok orang yang membuat Gerakan Pro SBY-Boediono dengan rutin melakukan koordinasi dengan membentuk tim sukses masing-masing kelurahan. Apalagi Partai Politik yang mengusung masing-masing pasangan Capres acapkali kita lihat di media televise dan cetak telah disibukkan dengan strategi-strategi pemenangan pemilu presiden (Pilpres).<br />Lagi-lagi berita hangat baru-baru ini tentang simbol/atribut kampanye Pilpres disamping atribut baliho dan spanduk dan iklan kampaye di Koran dan TV, model seperti itu ternyata sudah biasa dilakukan oleh tim-tim sukses pemenangan pemilu, tetapi ada yang unik yaitu Jilbab juga bisa menjadi simbol kampanye Pilpres sebagaimana yang diberitakan koran Republika (28/06/2009), tiba-tiba persoalan jilbab menyeruak dan menjadi bagian isu dalam persaingan di Pemilihan Presiden (Pilpres 2009). Sorotan diarahkan kepada para isteri-isteri pasangan capres/cawapres yang berlaga di pilpres.<br />Menurut Zulkifliemansyah, yang menyebut bahwa konstituen PKS banyak yang terpikat dengan Mufidah Kalla (isteri Jusuf Kalla) dan Uga Wiranto (isteri Wiranto), yang sinyalirkan keduanya taat menjalankan syari’at, dengan mengenakan jilbab. Betulkah jilbab menjadi simbol wanita itu taat beragama??? Banyak juga wanita berjilbab melanggar syari’at agama.<br />PKS yang berkoalisasi dengan Partai Demokrat tatkala melihat Kristiani (Ibu Ani, isteri capres Sosilo Bambang Yudhoyono) mengenakan jilbab tatkala mendampingi SBY menerima dukungan dari Tarbiyah Islamiyah. Ibu Ani tampil dengan busana Muslim, ibu Ani kelihatan lebih anggun menggunakan busana muslimah. Selain ibu Ani lebih anggun juga menarik kader PKS untuk mendukung pasangan Capres dan Cawapres dari Partai Demokrat itu. Ternyata persoalan jilbab telah menjadi isu dalam kampanye Pilpres.</span><br /></div>Mas Doelhttp://www.blogger.com/profile/00461627397766309038noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7111786766239753974.post-1198020592933116342009-05-25T07:32:00.000-07:002009-05-25T07:34:58.208-07:00MALU JADI SARJANA<div style="font-family: verdana;" align="justify"><span class="awal">P</span>erguruan Tinggi (PT) adalah tempat dimana para generasi bangsa bisa meraih gelar Strata satu (S 1) dengan berbagai konsentrasi ilmu pengerahuan yang dipilih mestinya juga para sarjana itu menyandang title yang berbeda-beda. Para sarjana tentunya diharapkan menjadi ilmuan-ilmuan yang tangguh dan mumpuni dibidangnya masing-masing, baik dia sebagai sarjana pendidikan, maupun sarjana tehnis di perkantoran.<span class="fullpost"><br />Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta di Indonesia diharapkan bisa memberikan skil yang professional buat anak didik bangsa, sehingga nantinya tatkala mereka menjadi sarjana dan terjun di masyarakat bisa memberikan secuel harapan bagi masyarakatnya. Tapi kenyataannya tentu banyak para sarjana-sarjana pengangguran yang sudah mencari pekerjaan. Sementara para orang tua yang rela menjual sebidang tanah, menjual sapi, bahkan menggadaikan sertifikat rumah untuk membiayai pendidikan anak ke jenjang yang lebih tinggi, kelak nantinya bisa menopang dan membantu kebutuhan keluarga khususnya dalam hal finansial. Tapi realitanya malah terbalik dan tentunya jauh dari harapan keluarga.<br />Perguruan Tinggi hanya bisa memberikan skil dan ilmu pengetahuan bagi peserta didik (mahasiswa) dan bukan memberikan lapangan pekerjaan bagi para alumninya. Berkali-kali saya mendengar Rektor/Ketua Perguruan Tinggi tatkala wisuda berlangsung menyampaikan dengan sebenarnya bahwa Instistusi/universitas ini hanya memberikan kail, kepada mahasiswa bukan ikan. Tentunya cuplikan pidato itu mengandung makna filosifi yang artinya bahwa PT hanya memberikan teori-teori dan skil kepada mahasiswa, dan mahasiswa itulah kelak akan mengimplementasinya di masyarakat.<br />Disadari atau tidak kadang kita mendengar dari masyarakat bisikan atau pertanyaan tatkala kita mau berangkat studi ke jenjang yang lebih tinggi (universitas, institute, atau sekolah tinggi), pertanyaannya: kalau sudah lulus jadi apa???. Kita yang masih masa transisi hanya diam seribu bahasa, tidak tau mau jawab apa, sementara nanti kalau kita sukses, maka kita akan menjadi contoh di masyarakat yang tentunya nanti akan memberikan motivasi kepada orang tua dan anaknya untuk mengecam pendidikan yang lebih tinggi, jika sebaliknya pulang ke rumah jadi mengangguran, itupun nanti akan menjadi contoh bagi orang tua untuk tidak menyekolahkan anaknya. Karena itulah kemudian banyak sarjana yang frustasi dan bekerja apa adanya atau malah pergi tak tau kemana. Mereka itu akan menambah jumlah pengangguran di Indonesia.<br />Sebenarnya kalau perspektif agama yang di kedepankan, maka tidak ada yang sulit dalam hidup ini. Agama sudah memberikan nilai plus bagi orang-orang yang mau menuntut ilmu, bahkan itu merupakan kewajiban bagi setiap muslim. Allah swt sudah berjanji dalam al-Qur’an bahwa Allah akan mengankat derajat orang yang beriman dan berilmu. Masalahnya kemudian mereka sungguh-sungguh menuntut ilmu atau malah sebaliknya hanya pindah tempat tidur, makan dan sebagainya.<br />Seorang muslim sejati tidak akan pernah malu tatkala dia menyandang gelar sarjana, semestinya bangga karena tidak semua orang dipilih oleh Allah untuk ditakdirkan menjadi orang yang berilmu apalagi bisa mengecam pendidikan tinggi seperti kita. Untuk itu nilai-nilai agama yang menjadi tolok ukur dalam menyelesaian segala problem yang kita hadapi terutama masalah urusan perut (dunia) yang kadang-kadang membutakan mata hati kita.<br />Tentunya manusia hanya bisa berusaha tetapi Allah swt yang jadi penentu usaha kita berhasil atau tidak, semuanya itu tergantung niat kita, karena dengan niat itulah yang menjadi standar/ukuran kita sukses atau tidak. Kalau niat kita nuntut ilmu karena semata-mata ingin meraih kebahagiaan dunia semata (dapat pekerjaan), mungkin saja hal itu bisa kita capai, tapi sampai kapan?, karena ada jatah hidup manusi di dunia. Di akhirat nanti kita tidak mendapatkan kebahagiaan karena yang kita cari adalah kebahagiaan dunia semata. Kalau niat kita karena mencapai ridla Allah, maka kebahagiaan dunia akhirat akan kita capai, hidup dunia hanya sementara, dan kehidupan akhirat jauh lebih kekal.<br />Pesan moral buat generasi bangsa khususnya para Mahasiswa dari Kepulauan Sapeken, tata niat mulai sekarang, belajar yang tekun, raih cita-cita mu, jangan pernah putus asa, dan jangan pernah terpengaruh oleh omongan orang tentang “Sarjana Pengangguran” dan jangan “Malu menjadi Sarjana”. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bi al-Showwab.</span><br /></div>Mas Doelhttp://www.blogger.com/profile/00461627397766309038noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7111786766239753974.post-81391265736273194642009-05-20T08:06:00.000-07:002009-05-20T08:12:45.445-07:00PERSETURUAN ORGANISASI ADVOKAT INDONESIA<div style="font-family: verdana;font-family:arial;" align="justify"><span class="awal">B</span>elum tuntasnya kasus independensi organisasi advokat di Indonesia dengan lahirnya Kongres Advokat Indonesia (KKI) yang mengaku dirinya sebagai satu-satunya organisasi advokat yang sah di Indonesia. Sementara itu merujuk pada surat Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.H.R.AH.03.03-40 tertanggal 28 Nopember 2008 yang ditujukan kepada Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia yang berkenaan <span class="fullpost">dengan perkembangan yang terjadi dalam organisasi advokat di Indonesai yaitu dengan adanya 2 (dua) organisasi, Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) dan Kongres Advokat Indonesia (KAI), dengan ini Kementrian Hukum dan HAM menyampaikan hal-hal sebagai berikut:<br />1. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat mengatur hal-hal berkaitan dengan organisasi advokat, antara lain:<br />a. Pasal 28 ayat (1)<br />Organisasi advokat merupakan satu-satunya wadah profesi advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi advokat.<br />b. Pasal 32 ayat (4)<br />Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun setelah berlakunya Undang-Undang ini, organisasi Advokat telah terbentuk.<br />2. -------------------------------------------------------------------------------------------------------<br />a. Dalam rangka memenuhi ketentuan perundang-undangan tersebut di atas, pada tanggal 21 Desember 2004, Advokat Indonesia sepakat untuk membentuk Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) sebagai satu-satunya wadah profesi advokat yang didirikan oleh 8 (delapan) Organisasi Advokat (Ikatan Advokat Indonesia disingkat IKADIN, Asosiasi Advokat Indonesia disingkat AAI, Ikatan Penasehat Hukum Indonesia disingkat HAPI, Serikat Pengacara Indonesia disingkat SPI, Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia disingkat AKHI, Asosiasi Pengacara Syari’ah Indonesia disingkat APSI, dan Himpunan Konsultan Hukum Pasal Modal disingkat HKHPM).<br />b. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Advokat tidak pernah memerintahkan secara tegas kepada 8 (delapan) organisasi Advokat untuk membentuk Organisasi Advoka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), namun demikian berdasarkan Pasal 32 ayat (3) 8 (delapan) organisasi tersebut diberikan wewenang sementara untuk menjalankan tugas dan wewenang organisasi Advokat, hingga Organisasi Advokat terbentuk. Selanjutnya didasarkan pada tanggung jawab moral untuk melaksanakan undang-undang, maka kewenangan tersebut diteruskan dengan membentuk Organisasi Advokat.<br />c. Setelah terbentuk PERADI, maka 8 (delapan) organisasi Advokat tidak mempunyai hubungan yang bersifat structural lagi, karena PERADI sebagai wadah tunggal perhimpunan Advokat Indonesia beranggotaan perorangan bukan beranggotakan organisasi.<br />d. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka PERADI telah tebentuk sebagai sat-satunya Organisasi Advokat dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 32 ayat (4) Undang-Undang Nomor 18 Taun 2003 tentang Advokat.<br />Akhir-akhir ini muncul lagi masalah dalam tubuh Kongres Advokat Indonesia (KAI), kemudian Abu Bakar CS membentuk Persatuan Advokat Indonesia yang disingkat PERADIN juga mengakui bahwa PERADIN satu-satunya Organisasi Advokat yang sah di Indonesia dengan surat dari Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 234/69.DIII, tertanggal 9 Januari 2009 yang menyatakan bahwa setelah diteliti secara seksama, organisasi PERADI dan KAI belum terdaftar di Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik, Depdagri, sementara PERADIN sudah terdaftar sebagai Organisasi Kemasyarakatan bukan Organisai Advokat atas nama Ketua Umum H.J.R. Abu Bakar, SH.<br />Alhasil, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1986 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan, organisasi kemasyarakatan yang belum memberitahukan keberadaannya, tidak dapat difasilitasi oleh Pemerintah. Semoga Bermanfaat. Wallahu a’lam bi al-Showwab.</span><br /></div>Mas Doelhttp://www.blogger.com/profile/00461627397766309038noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7111786766239753974.post-43750020024511134342009-05-19T08:58:00.000-07:002011-04-08T19:27:56.178-07:00LIMA GAGASAN FIQH INDONESIAOleh : Abbas Arfan Baraja<br /><div align="justify" style="font-family:verdana;"><span class="awal">P</span>ara ulama terdahulu di beberapa negara pernah membuat sebuah undang-undang fiqih khusus untuk penduduk muslimnya, seperti pada akhir abad 13 H. pemerintah Kerajaan Turki Usmani mengumpulkan sejumlah ulama besarnya dengan menginsruksikan pada mereka untuk membuat kitab undang-undang negara resmi negara dalam bidang mu`amalah (perdata) yang diambil dari beberapa pendapat<span class="fullpost"> fuqoha sekalipun bertentangan dengan mazhab yang ada atau berlaku, selama hukum yang dibuat itu bisa berjalan dan kondisi masyarakat saat itu. Akhirnya mereka berkumpul dan membuat Qonun (Undang-Undang) itu dengan nama Majallah al-Ahkam al-Adliyah pada tahun 1286 H. yang kemudian disahkan dan ditetapkan pengamalannya pada tahun 1292 H. Dalam hukum jual beli misalnya ditetapkan dengan mazhab Ibn Syubrumah. Ini termasuk awal keluar dari kungkungan taqlid pada empat mazhab yang terkenal.<br />Hal itu menjadi awal pemikiran beberapa ulama Indonesia untuk membuat Fikih Indonesia, berawal dari gagasan T.M. Hasbi Ash Shiddieqi pada tahun 1940-an, dibuat dan disahkannya KHI (Kompilasi Hukum Islam) pada tahun 1991 yang saat itu masih banyak ditentang oleh sebagian besar ulama Indonesia (terutama dari kalangan ulama tradisioanalis), K.H. Ali Yafie pun melontarkan gagasan yang sama pada tahun 1980-an, juga K.H. Sahal Mahfudh dengan ide Fikih sosial-nya tahun 1990-an; yang dalam pandangan penulis identik dengan Fikih Indonesia dan yang lebih heboh lagi pada tahun 2004 ini ketika draf KHI yang baru disusun oleh tim yang dibentuk dan diprakarsai Departemen Agama Republik Indonesia itu diketahui publik dan menjadi perdebatan antara pihak yang pro dan kontra, karena beberapa perubahan yang tertuang dalam draf itu dinilai sangat berani dan melenceng dari Syariat Islam terutama dari dalil Qur’an dan Hadis disamping terkesan menampilkan isu jender.<br />Memang layak dipahami, sebagai disiplin syari`ah terpenting, fikih seyogyanya bersikap responsif terhadap perkembangan dan menjauhi apriori. Hal ini akan tercapai bila fikih dapat berdialog dan membuka diri dengan tuntutannya selama ini. Salah satunya misalnya dengan menyeimbangkan sisi teks dan konteks dalam masalah fiqhiyyah itu. Persoalan kontemporer yang datang silih berganti memang jalan dilihat sebelah mata.<br />Tidaklah heran jika kemudian di Indonesia dan oleh beberapa tokoh ulama Indonesia memunculkan ijtihad berupa konsep dan gagasan Fikih Indonesia, di samping untuk mencari solusi atas pertentangan antar pengikut mazhab Fikih di negeri ini dan menciptakan satu kesamaan dan kesatuan dalam bidang Fikih yang meliputi seluruh kajian Fikih, mulai masalah ibadah, mu’amalah (perdata), dan jinayah atau hudud (pidana) sampai masalah ekonomi dan sebagainya.<br />Dan ada lima alasan yang menjadi prinsip landasan muwafaqoh (setuju-nya) penulis dengan ide atau gagasan Fikih Indonesia itu, yaitu sebagai berikut ini:<br /><br /><span style="font-weight: bold;">1. Mashlahah ‘Ammah (Kemaslahatan atau Kepentingan Umum)</span><br />Adapun pengertian kepentingan umum dalam batasan ‘Urf (adat dan kebiasaan) adalah diartikan dengan sarana yang menyebabkan adanya kepentingan umum dan bisa dimanfaatkan secara umum. Sedangkan pengertian kepentingan umum dalam pandangan syari’at adalah sesuatu yang menjadi penyebab untuk sampai kepada maksud atau tujuan syara’, baik berupa ibadat maupun adat.<br />Kepentingan umum dalam pandangan syari’at Islam sangat penting, karena tujuan syara' adalah menciptakan terciptanya kepentingan umum dalam kehidupan manusia . Kepentingan umum yang dimaksud adalah bersi¬fat dinamis dan fleksibel; artinya, pertimbangan kepentingan umum itu seiring dengan perkembangan zaman. Konsekuensinya, bisa jadi yang dianggap kepentingan umum pada waktu yang lalu belum tentu dianggap kepentingan umum pada masa sekarang, Oleh karena itu, ijtihad terhadap (pelaksanaan) hukum dengan pertimbangan kepentingan umum ini supaya dilakukan secara terus menerus, baik terhadap masalah-masalah yang secara prospektif diduga pasti terjadi.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">2. Taghoyyur al-fatwa bi taghoyyur al-azminah wa al-amkina</span><br />Maksudnya; Perubahan fatwa disebabkan perubahan waktu dan tempat. Sesungguhnya perubahan situasi dan kondisi suatu zaman mempunyai andil yang cukup besar dalam beberapa ketetapan hukum Syara’, karena apa-apa yang ditetapkan Syara’ itu berdasar pada adat manusia dan kebiasaan-kebiasaannya. Di samping itu, karena Syara’ (Syari’ah) adalah produk interpretasi sumber-sumber Islam pada konteks tertentu, dengan sendirinya Syari’ah tidak bersifat suci dan kebal perubahan. Dengan demikian menurut al-Na’im, Syari,ah yang telah diformasikan para ahli hukum klasik dapat direkontruksi pada aspek-aspek tertentu, asalkan rekonstruksi itu juga didasarkan pada sumber-sumber dasar Islam yang sama dan sepenuhnya sesuai dengan pesan moral dan agama. Oleh karena itu, maka sebagian ulama berpendapat bahwa latar belakang timbulnya Qaul Jadid-nya Imam Syafi’i itu karena situasi sosial yang berbeda antara Iraq dan Mesir (tempat lahirnya qaul jadid).<br /><br /><span style="font-weight: bold;">3. Fikih al-Taysir (kemudahan fikih)</span><br />Prinsip ini merupakan gagasan Syekh Yusuf al-Qordlawi dalam beberapa karyanya yang bertemakan al-Taysir, terutama dalam dua bukunya; Nahwa Ushul Fikih Muyassar dan Taysir al-Fikih li al-Muslim al-Mu’ashirah fi Dlau al-Qur’an wa al-Sunnah. Beliau berpendapat bahwa Fikih yang penting ini perlu dimudahkan untuk masyarakat di zaman kita sekarang ini. Hal ini merupakan keharusan bagi para ilmuwan, baik pribadi, kelompok, lembaga maupun perguruan tinggi. Karena konstruksi syari’at Islam berdiri di atas kemudahan, bukan kesulitan, dan pengajarannya kepada manusia dibangun di atas kemudahan bukan penyulitan. Lantas beliau berhujjah dengan beberapa ayat al-Qur’an dan Hadis Shoheh yang mendudukung prinsipnya.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">4. Fikih al-Aulawiyat (Fikih Prioritas).</span><br />Prinsip ini sejalan dengan pepetah Arab yang berbunyi “taqdim al-ahham ‘ala al-muhim” (memprioritaskan yang paling utama dari yang utama). Prinsip ini digagas dan dikembangkan oleh Syekh Yusuf al-Qordlowi juga dalam beberapa karyanya terutama secara fokus dan menyeluruh dalam bukunya “Fi Fikih al-Aulawiyat; Dirasah Jadidah fi Dau al-Qur’an wa al-Sunnah”. Beliau menegaskan dalam mukaddimah bukunya di atas bahwasanya Fikih al-Aulawiyat pada masa sekarang ini sangatlah penting. Maksud dari Fikih al-Aulawiyat adalah meletakkan segala sesuatu sesuai dengan proporsi dan tingkatannya dengan adil baik dalam bidang hukum, kebijakan atau amaliyah, yaitu dengan mempriorotaskan sesuatu yang paling utama lewat pertimbangan-pertimbangan syari’at yang benar, maka seseorang tidak sepatutnya mendahulukan atau mengutamakan yang tidak penting atas yang penting, atau mengedepankan yang penting di atas yang paling penting. Adapun landasan bagi masalah ini adalah bahwasanya semua kebijakan, hukum, amal dan kewajiban dalam pandangan syari’at memiliki batasan dan tingkatan perbedaan yang nyata dan jelas antara satu dengan lainnya dan tidaklah semuanya itu dalam satu tingkatan yang sama; ada yang besar dan ada yang kecil, ada pokok, ada cabang, ada rukun dan ada juga pelengkap, ada yang diletakan tengah (inti) dan ada yang dipinggirkan, dan juga ada yang di atas dan ada yang di bawah. Beliau pun menguatkan gagasannya ini dengan beberapa dalil al-Qur’an dan al-Sunnah yang shoheh yang mengindikasikan kepada adanya perbedaan keutamaan dalam ibadah.<br />Maka Prioritas yang perlu dan harus di kedepankan dalam fikih Indonesia antara lain adalah; mengutamakan persatuan atas pertentangan atau perselisihan; ijtihad kolektif atas ijtihad individu; kemudahan atau keringanan atas kesulitan atau pembebanan; metode kontekstual atas tekstual; kepentingan umum atas kepentingan pribadi atau kelompok; mengambil talfieq atas ta’ashub atau fanatik pada satu atau salah satu mazhab; memakai ilmu Ushul Fiqh atas teks-teks kitab Fikih, dan lain-lain.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">5. Fikih al-Waqi’ (Fiqh Realitas atau Sosial).</span><br /> Prinsip ini telah di gagas di Mesir oleh Nashir Sulaiman al-’umar dalam risalahnya (buku kecilnya) yang berjudul “Fikih al-Waqi”: Muqowwamatuh, Atsaruh, Mashodiruh”. Beliau memberi definisi fikih Waqi’ adalah: “Ilmu yang membahas tentang fikih (pengetahuan atau pemahaman, penulis) keadaan-keadaan kontemporer dari beberapa faktor penyebab yang ada di masyarakat, kekuatan yang mempengaruhi beberapa negara (kekuasaan, penulis), beberapa pemikiran yang merongrong aqidah dan upaya jalan yang ditempuh untuk menjaga dan menyembuhkan umat baik generasi sekarang dan mendatang” Fiqh al-Waqi’ yang ditawarkannya adalah Fikih dalam pengertian luas yang mencakup semua ilmu pengetahuan, baik agama atau umum, baik fatwa atau kebijakan politik. Oleh karena itu wajib bagi seorang mufti atu juris (ulama) untuk mengetahui dan mempertimbangkan Fikih al-Waqi’ ini terlebih-lebih jika yang dihadapinya itu adalah masalah kontemporer, karena suatu fatwa atau hukum tidak cukup hanya dengan Fikih al-Ushul (Ushul Fikih), dan Fikih al-Furu’ (Fikih/ Hukum Islam) saja, tapi harus dibarengi juga dengan Fikih al-Waqi’.<br />Keumuman Fiqh al-Waqi’-nya al-’Umar di atas berbeda dengan fikih sosial-nya K.H. Sahal yang cenderung memaknai kalimat fikih-nya (dari istilah fikih sosial atau fikih al-Waqi’) itu dengan lebih khusus, yaitu kepada Fikih (hukum Islam). Maka fikih itu harus dilihat secara kontekstual dan harus dihadirkan sebagai etika sosial. Karena Fikih bukan hanya alat untuk mengukur kebenaran ortodoks, tetapi juga alat untuk membaca realitas sosial.<br />Dalam konteks inilah, sebetulnya fiqh sosial secara substansial tidak ada bedanya dengan ilmu sosial profetis yang dikembangkan Kuntowijoyo atau Islam transformatif yang digagas oleh Moeslim Abdurrahman, atau dalam batas-batas tertentu tidak jauh berbeda dari pandangan M. Quraisy Shihab tentang “Membumikan al-Qur’an”. Hanya titik tekannya yang berbeda. Konsep Kuntowijoyo lebih menitik beratkan aspek ilmu sosial, sedangkan pandangan Moeslim Abdurrahman lebih berorientasi pada aspek “aksi sosial” yang teologis. Sementara itu Quraisy Shihab lebih memfokuskan pada dimensi tafsir.<br />Itulah lima prinsip pokok alasan penulis dalam mendukung gagasan Fikih Indonesia. Jika al-Ghozali dan al-Syathibi memiliki lima prinsip pokok dalam konsep Maqoshid al-Syari’ah-nya, (yaitu; memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta), Ilmu Qowa’id al-Fikihiyah mempunyai lima macam Kaidah Kubra-nya (yaitu; al-Umur bi maqoshidiha, al-Yaqin la yuzal bi al-syak, al-Masyaqqoh tajlib al-taysir, al-Dloror yuzal dan al-’Adah muhakkamah), Fikih sosial-nya K.H. Sahal memiliki lima ciri pokok yang menonjol sebagai paradigma pemaknaan sosial dan juga negara kita menetapkan Pancasila sebagai lima sila dasar negara, maka saya mengusulkan lima prinsip landasan pokok di atas sebagai dasar alasan atau hujjah terciptanya fikih Indonesia, dan kelima prinsip itu saya beri nama dengan “Panca Tunggal Prinsip Fikih Indonesia (Wahdaniyah al-Khomsah li Asas Fiqh Indonesia”. Karena kelima prinsip itu saling terkait antara satu dengan lainnya; Sebagaimana halnya kita memilih atau menetapkan suatu fatwa atau hukum dengan memprioritaskan (Fiqh al-Aulawiyat) kepada faktor kemudahan (Fiqh al-Taysir), karena ada suatu kemaslahatan umum atau luas (al-Maslahah al-‘Ammah) yang bisa diambil, yang semuanya ini terjadi karena adanya perubahan waktu dan tempat, situasi dan kondisi (Taghoyyur al-Fatwa bi Taghoyyur al-Azminah wa al-Amkinah) yang benar-benar ada dan terjadi dalam sosial masyarakat (Fiqh al-Waqi’) yang tidak bisa kita hindari keberadaannya. Semoga bermanfaat. Wallahu a'lam bi al-Showwab</span><br /></div>Mas Doelhttp://www.blogger.com/profile/00461627397766309038noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7111786766239753974.post-43118645903599678712009-05-17T18:25:00.000-07:002009-05-17T20:07:58.880-07:00KULTUR ISLAM & DALIL MISIGONIS PERSPEKTIF GENDER<div style="font-family: verdana;" align="justify"><br /><span class="awal">K</span>ajian masalah wanita, menjadi topik yang masih hangat, seiring dengan pembahasan hak-hak asasi manusia yang tidak hanya berimplikasi pada permasalahan wanita itu sendiri tetapi masuk dalam dataran politik, ekonomi, hukum bahkan berimbas pula pada pembahasan agama, termasuk Islam, hingga pada relung-relung keyakinan pribadi pada setiap orang.<span class="fullpost">Salah satu implikasi yang tidak terelakkan adalah isu ini berusaha membongkar dogma-dogma agama, menentang sebagian ayat-ayat al-Qur’an, menghujat hadis-hadis dan melawan setiap ide penerapan hukum Islam dengan alasan ketidaklayakan hukum itu dalam membentengi hak-hak wanita, bahkan jelas-jelas dianggap meminggirkan wanita.<br />Pada masyarakat kontemporer saat ini, kita agaknya lebih memfokuskan diri pada norma daripada nilai-nilai. Kita lebih terfokus pada perintah dan larangan dan kurang akan nilai-nilai (values). Kultur Islam telah meletakkan fondasi norma dan nilai-nilai, tetapi sebagaimana dikatakan di muka, kita kurang mendapat informasi atau penjelasan tentang nilai-nilai yang begitu esensial dalam rangka menjamin kehormatan dan harga diri kehidupan umat manusia dalam interaksi sosial keseharian kita. Memahami aspek-aspek kognitif dan normatif budaya merupakan dasar untuk memahami kultur dan budaya Islami. Tetapi, terdapat dua dimensi budaya yang memerlukan sedikitnya perhatian singkat kita, yakni integrasi kultur dan relativisme budaya. Ini akan memungkinkan kita untuk memahami bagaimana kultur dapat dipengaruhi oleh kompleksitas masyarakat modern.Integrasi Budaya<br />Menitik satu langkah variasi yang beragam dalam agama khusus Islam telah memberikan nuansa baru sebut saja gender yang kerap kali sering diperbincangkan dikalangan akademisi, agamawan, politkus bahkan pada ranah-ranah kultur. Dalil-dalil agama sering digunakan untuk menolak kesaksamaan gender. Dalil-dalil agama juga dijadikan alasan untuk mpertahankan kedudukan (status quo) wanita. Bahkan dalil-dalil agama juga dijadikan rujukan bagi alasan pembahagian kerja berdasarkan jantina, seolah-olah kaum lelaki ditakdirkan bergiat di arena awam manakala kaum wanita di arena rumahtangga. Tanpa disedari, kefahaman agama yang sebegini lama telah melahirkan kesan seolah-olah wanita sememangnya tidak setaraf dengan lelaki.<br />Kedudukan status wanita yang rendah ini diperkuatkan dengan perkembangan berbagai konsep dan teori ilmu-ilmu sosial, seperti antropologi, sosiologi dan historiografi yang epistomologinya didasari oleh kefahaman keagamaan di dalam masyarakat yang bias gender. Maskulinisasi epistimologi ini bukan hanya melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat memihak kepada lelaki tetapi juga melahirkan kebudayaan dan peradaban yang penuh dengan diskriminasi gender.<br />Daripada perspektif teologi terdapat empat perkara yang berpotensi menjadi faktor penting mempengaruhi pembentukan anggapan stereotaip terhadap wanita. Pertama, anggapan bahawa wanita tercipta hanya sebagai melengkapi hasrat dan keinginan Adam di syurga menjadikan wanita itu hanya sebagai pelengkap keinginan lelaki. Kedua, tempat di mana manusia pertama telah diciptakan iaitu syurga (yang berada di alam ghaib), telah melahirkan pelbagai mitos yang memperolokkan wanita. Ketiga, anggapan bahawa wanita dicipta daripada tulang rusuk Adam meletakkan kedudukan wanita lebih rendah daripada lelaki. Keempat, anggapan bahawa godaan wanitalah yang menyebabkan terkeluarnya Adam dari syurga ke bumi adalah satu drama kosmik. Cerita ini telah melahirkan konsep 'dosa warisan' yang dibebankan kepada wanita. Keempat-empat persoalan teologi ini melahirkan pandangan 'misoginis' yang merugikan wanita.<br />Sejarah mengatakan kepada kita bahwa segala kebudayaan dan peradaban manusia adalah keseluruhan organik dan menyerupai makhluk-makhluk hidup. Kebudayaan dan peradaban melintas melalui segala tingkat-tingkat kehidupan organik yang harus dilaluinya; kebudayaan dan peradaban-peradaban dilahirkan, melalui masa remajanya, masa dewasa dan matang, dan pada akhirnya datanglah masa gugur. Seperti tumbuh-tumbuhan yang layu dan gugur ke debu, kultur-kultur mati pada akhir masanya dan memberikan tempat pada kultur-kultur lain yang lahir dengan segar.<br />Apakah demikian halnya dengan Islam? Pada pandangan kulit sepintas lalu akan tampak demikian. Tiada diragukan bahwa kebudayaan Islam telah mengalami kebangunannya yang cemerlang dan masa berkembangnya; ia mempunyai kekuatan untuk mengilhami manusia untuk berbuat dan berkurban, ia mengubah bangsa-bangsa dan mengubah permukaan bumi, dan sudah itu ia berdiri diam dan macet, kemudian ia menjadi kata kosong dan sekarang kita melihat kerendahannya yang sangat dan kebobrokannya. Tetapi apakah hanya sekedar demikian itu?<br />Apabila kita percaya bahwa Islam bukanlah satu kultur diantara kultur-kultur, bukan hanya sekedar hasil pemikiran dan usaha manusia, tetapi satu hukum yang dititahkan Allah SWT untuk diikuti ummat manusia pada sepanjang zaman dan di setiap tempat, maka aspek itu berubah dengan sempurna. Kalau kultur Islam merupakan hasil kita mengikuti hukum yang diwahyukan,<br />Kultur populer Islam hanya sebatas kehendak untuk hidup secara layak menurut teks agama serta dalam ruang audiovisual ia diperdagangkan layaknya sebuah produk di pasaran yang terkadang tidak akrab terhadap made in dalam negeri. Kultur pop kontemporer tidak digunakan untuk aplikasi sosial seperti gerakan kebudayaan Wali Songo. Dulu kemapanan kultur pop wayang kulit tidak dilarang, tetapi diisi warna-warni kearifan Islam.<br />Misoginis seperti kebanyakan istilah ilmiah yang lainnya (seperti feminis, humanis, liberalis dll) merupakan istilah yang berasal dari bahasa Inggris. Oleh karena itu, untuk mengetahui definisi istilah tersebut kita harus merujuk ke dalam kamus bahasa aslinya. Dalam kamus bahasa Inggris misoginis berasal dari kata “misogyny” yang berarti ”kebencian terhadap wanita”. Dalam kamus ilmiah popular terdapat tiga ungkapan yaitu: “misogin” berarti: benci akan perempuan, membenci perempuan, “misogini” berarti, “benci akan perempuan, perasaan benci akan perempuan” sedang “misoginis” artinya “laki-laki yang benci kepada perempuan”. Namun secara terminologi istilah misoginis juga digunakan untuk doktrin-doktrin sebuah aliran pemikiran yang secara zahir memojokkan dan merendahkan derajat perempuan, seperti yang terdapat dalam beberapa teks hadis di atas. <br />Tiba waktunya, ayat-ayat al-Qur'an yang selama ini dianggap sebagai ayat misoginis menjadi bahan bakar kemajuan perempuan. Terlebih dalam sejarah, Islam tercatat sebagai agama yang mendiskriminasikan perempuan. Paling tidak sebagaimana anggapan Barat. Mereka mendasarkan tuduhannya dengan dalil berupa hukum dan ayat-ayat dalam al-Qur'an yang terkesan merugikan wanita. Sebuah anggapan yang terkesan terlalu sepihak, tidak proporsional; tanpa tahu latar belakang sebenarnya.<br />Dalam ayat mawarits, wanita memang mendapat bagian separuh dari laki-laki. Namun ada juga yang mendapat bagian sama dengan laki-laki bahkan lebih besar. Sebagai pertimbangan lain adalah bahwa laki-laki mempunyai kewajiban membayar mahar kepada istrinya dan menafkahi keluarganya. Harta istri adalah milik pribadinya. Jadi nilai keadilan ada disini, dimana wanita mendapat mahar, kemudian mendapat warisan entah dari bapaknya atau suaminya atau anaknya. Lalu ketika dia bekerja, maka hartanya tersebut hanya menjadi milik pribadinyanya karena dia tidak berkewajiban menafkahi keluarganya. Yang menjadi titik penting juga bahwa sama bukan berarti adil. Adil adalah sesuai dengan porsinya.<br />Kajian masalah wanita, menjadi topik yang masih hangat, seiring dengan pembahasan hak-hak asasi manusia yang tidak hanya berimplikasi pada permasalahan wanita itu sendiri tetapi masuk dalam dataran politik, ekonomi, hukum bahkan berimbas pula pada pembahasan agama, termasuk Islam, hingga pada relung-relung keyakinan pribadi pada setiap orang. Salah satu implikasi yang tidak terelakkan adalah isu ini berusaha membongkar dogma-dogma agama, menentang sebagian ayat-ayat al-Qur’an, menghujat hadis-hadis dan melawan setiap ide penerapan hukum Islam dengan alasan ketidaklayakan hukum itu dalam membentengi hak-hak wanita, bahkan jelas-jelas dianggap meminggirkan wanita.<br />Para ahli sejarah telah sepakat bahwa Islam muncul di saat perempuan terdera dalam puncak keteraniayaan, dimana hak untuk hidup, yang merupakan hak asasi setiap manusia tidak bisa mereka dapatkan. Fenomena semacam ini terus menggejala sampai Islam datang dengan membawa pesan-pesan Ilahi yang menyelamatkan manusia dari alam kegelapan dan kehidupan hewani menuju cahaya dan kehidupan insani. Pada saat itu pula islam mengangkat derajat perempuan dan melepaskan perempuan dari belenggu keteraniayaan. Islam telah mengangkat martabat perempuan dengan memberikan hak-hak yang telah sekian lama terampas dari tangannya serta menempatkannya secara adil.<br />Tidak hanya sampai disitu, untuk mempermudah masyarakat Islam dalam merubah kultur jahili menuju kultur Islami, Tuhan pun menganugrahkan anak perempuan, Sayyidah Fathimah az-Zahra as, kepada utusan-Nya agar masyarakat mudah meniru dalam memandang dan berprilaku terhadap perempuan. Layaknya skenario film yang berakhir dengan keindahan, datangnya Muhammad saw laksana pepatah “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang menjadi harapan RA Kartini. Artikel ini mencoba menganalisa beberapa teks di dalam doktrin ajaran Islam yang sering dikaji dengan bebas sebagai senjata untuk menisbahkan sebab-sebab kemunduran wanita di dalam Islam. Dikarenakan teks-teks itu pula, budaya dominasi laki-laki atas perempuan terbentuk sejalan dengan keyakinan atas doktrin tersebut.<br />Munculnya interpretasi bahwa Islam membenci dan merendahkan wanita ibarat sebuah penyakit kronis dan menahun dalam sejarah kehidupan manusia, yang tidak hanya dialami Islam tapi juga menimpa sekte, agama dan aliran kepercayaan lainnya. Jika kita analisa pokok permasalahannya, maka akan kita dapati bahwa sebenarnya pemahaman ini muncul dikarenakan penafsiran secara dangkal terhadap sebuah doktrin agama dan sekte. Misalkan saja Islam, maka kita pun akan mengambil secara sepenggal baik dari hadis ataupun al-Qur’an lantas menisbahkan kepada Islam dengan mengatakan, “Seperti inilah perempuan dalam prespektif Islam”.<br />Kehadiran Islam justru melenyapkan diskriminasi perempaun-laki-laki. Sejarah mencatat bahwa sebelum Islam datang, posisi perempuan hanyalah sebagai obyek, bahkan sering dijadikan komoditas perbudakan dan seksual. Asumsi yang berkembang saat itu memandang perempuan sebagai penghalang kemajuan, terutama di kala peperangan. Karenanya lebih baik dikubur hidup-¬hidup bila lahir bayi perempuan. Asumsi ini diluruskan Allah SWT dalam Al-Qur'an surat al-Ahzab ayat 35. Persoalan yang mucul kemudian adalah, sungguhpun Islam telah mendasari penyadaran intergratif tentang eksistensi perempuan, namun realitas saat ini di berbagai negara yang mayoritas muslim justru menampilkan pandangan yang kontradiktif. Pemasungan hak-hak perempuan dalam berbagai sektor kehidupan, dengan dalih ajaran agama, justru sering didengung-dengungkan. Perempuan tidak berhak menjadi pemimpin, tidak boleh menduduki posisi-posisi strategis, haram menuntut hak-hak sosial politik dan lain sebagainya. Jelas hal ini suatu distorsi terhadap ajaran Islam. Maka bergantilah era represif masa pra-Islam berlalu dengan kedatangan agama nabi Muhammad saw. yang mengembalikan perempuan sebagai manusia utuh setelah mengalami hidup dalam kondisi yang mengenaskan tanpa kredibilitas apapun dan hanya sebagai komoditi tanpa nilai.<br />Perbincangan keseteraan gender semakin manarik. Tidak hanya menyeruak ke seluruh lini kehidupan dan telah membongkar sekat demi sekat ruang ketidakadilan atas perempuan akibat ketimpangan gender di tengah masyarakat, tetapi juga semakin banyaknya kaum laki-laki yang terlibat dalam menyumbangkan pikiran wacana ini. Sebuah kemajuan langkah awal bagi siapapun yang ingin menemukan makna "pembebasan" yang tengah diperjuangkan. Semua orang ingin yang terbaik bagi bangsa dan daerahnya, tidak salah bila ada sorotan dan ragam pendapat dalam menemukan esensi dari sebuah wacana baru atau dianggap datang dari negara asing (barat).<br />Membaca konsep gender sambil memicingkan selah mata tidak akan menghantarkan kita pada sebuah jawaban, yang lahir justru pandangan-pandangan yang tidak membangun dan hanya melihat wacana gender sebagai momok. Anggapan-anggapan inilah yang kemudian membuat sebagian orang berhasrat untuk memberantas dan menafikan semangat kesetaraan dan keadilan sebelum mengkaji dan memahaminya lebih jauh.<br />Para ahli sejarah telah sepakat bahwa Islam muncul di saat perempuan terdera dalam puncak keteraniayaan, dimana hak untuk hidup, yang merupakan hak asasi setiap manusia tidak bisa mereka dapatkan. Fenomena semacam ini terus menggejala sampai Islam datang dengan membawa pesan-pesan Ilahi yang menyelamatkan manusia dari alam kegelapan dan kehidupan hewani menuju cahaya dan kehidupan insani. Pada saat itu pula islam mengangkat derajat perempuan dan melepaskan perempuan dari belenggu keteraniayaan. Islam telah mengangkat martabat perempuan dengan memberikan hak-hak yang telah sekian lama terampas dari tangannya serta menempatkannya secara adil.<br />Tidak hanya sampai disitu, untuk mempermudah masyarakat Islam dalam merubah kultur jahili menuju kultur Islami, Tuhan pun menganugrahkan anak perempuan, Sayyidah Fathimah az-Zahra as, kepada utusan-Nya agar masyarakat mudah meniru dalam memandang dan berprilaku terhadap perempuan. Layaknya skenario film yang berakhir dengan keindahan, datangnya Muhammad saw laksana pepatah “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang menjadi harapan RA Kartini. Artikel ini mencoba menganalisa beberapa teks di dalam doktrin ajaran Islam yang sering dikaji dengan bebas sebagai senjata untuk menisbahkan sebab-sebab kemunduran wanita di dalam Islam. Dikarenakan teks-teks itu pula, budaya dominasi laki-laki atas perempuan terbentuk sejalan dengan keyakinan atas doktrin tersebut. Semoga Bermanfaat. Wallahu a’lam bi al-Showwab.</span><br /></div>Mas Doelhttp://www.blogger.com/profile/00461627397766309038noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7111786766239753974.post-19926083348182625142009-05-16T22:56:00.000-07:002009-05-17T00:47:39.578-07:00PEMAIN & PENONTON<div align="justify"> <br /><span class="awal" style="font-family:verdana;">D</span><span style="font-family:verdana;">alam permainan sepak bola tatkala para pemain melakukan kesalahan kadangkala para penonton yang celoteh, bahkan memberikan solusi atas kesalahan itu. Penonton cerdas dalam mengomentari pemain, tapi belum tentu mereka bisa bermain bola. Kesalahan kecil yang dilakukan pemain bola yang gagal melakukan eksekusi bola akan menjadi kesalahan fatal bagi para maniak-maniak bola terutama tiem kesayangan mereka. Celoteh tentunya akan menjadi hangat dalam diskusi non-formal dari para penonton.<br /><br /></span><span class="fullpost" style="font-family:verdana;">Diskusi kecil itu bukan hanya dilakukan di stadion tatkala mereka lagi menonton sepak bola, tetapi hal itu juga dilakukan sampai mereka pulang dari stadion, tetapi hasil diskusi mereka terasa nihil karena tidak akan bisa dijadikan rekomendasi untuk perbaikan reformasi penyerangan dan sebagainya. Apalah artinya suara rakyat kecil yang hanya bisa celoteh ditempat dan sama sekali tidak ada pengaruhnya bagi perkembangan permainan sepak bola. Lain halnya dengan para komentator yang sudah dinobatkan sebagai komentator tetap dalam setiap permainan bola. Suara rakyat kecil akan diperhatikan dalam hal-hal tertentu seperti momen-momen pilkades, pilkada, pilgub, dan apalagi pilpres. Itulah praktek suara kecil rakyat, satu suara mahal harganya bahkan dalam praktek politik banyak para kandidat yang membeli suara rakyat kecil dengan nilai 10 ribu sampai 50 ribu persatu suara. Begitu berharganya suara rakyat dalam momen-momen praktek politik ini. Itulah citra bangsa Indonesia dengan rela menghalalkan segala cara untuk mencapai kekuasaan semata. Ketika itu hilanglah harga diri sebagai bangsa yang terhormat.<br /><br />Kembali kepada pemain dan penonton. Ternyata praktek semacam itu bukan hanya terjadi dalam pertarunga sepak bola dan percaturan politik tetapi juga sudah menusuk pada ranah-ranah instansi pendidikan yang kadang pula memanfaatkan celah-celah orang lain untuk menjatuhkannya. Kadang pula dalam prakteknya tatkala seorang pemimpin hanya bisa menyuruh, memarah dan menegur, yang intinya mungkin itulah tugas seorang pemimpin/kepala/ketua dan sebagainya.<br /><br />Kegagalan Negara untuk bisa maju dan berkembang kadang pula dihalangi dengan praktek semacam ini yang gengsi besar untuk melakukan hal-hal yang tak sepantasnya dilakukan atau bahkan pekerjaan itu hanya bisa dilakukan oleh pembantu dan pegawai rendahan. Pemimpin hanya bisa jadi penonton yang tugasnya hanya menegur dan selalu menyalahkan orang lain. Jarang sekali kita temukan praktek-praktek kepemimpinam seorang khalifah Umar bin Khattab dan Umar bin Abdul Aziz dan tentunya para khalifah-khalifah yang lain, yang bukan hanya jadi penonton tapi mereka juga jadi pemain, pemain yang cerdas dan akurat dalam menyelasaikan tugas kenegaraan. Para khalifah tidak hanya mengandalkan kerja otak tetapi juga kerja otot. Sungguh kiranya kita menginginkan seorang pemimpin sebagaimana prakteknya para khalifah-khalifah itu.<br /><br />Tentunya sangat ironis bagi para pemimpin-pemimpin Islam tatkala mereka hanya jadi penonton-penonton pasif yang bisanya hanya memerintah, memarahi dan menyalahkan hasil kerja orang lain. Itulah praktek dan potret anak bangsa Indonesia yang hanya bisa jadi penonton bukan pemain, yang bisa hanya mengandalkan otak ketimbang otot dengan dalih “jabatan ku lebih tinggi dari pada kamu”.<br /><br />Harapan kita, semoga pemimpin-pemimpin mendatang bisa memberikan contoh yang baik buat generasi penerus dan mampu mengawal amanat rakyat dan selalu mementingkan kepentingan rakyat diatas kepentingan pribadi dan golongan. Akhir kata “jadilah pelaku sejarah dan jangan jadi penonton sejarah”. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bi al-Showwab.</span><br /></div>Mas Doelhttp://www.blogger.com/profile/00461627397766309038noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7111786766239753974.post-26362963236465266552009-05-16T00:04:00.000-07:002009-05-17T00:52:12.338-07:00KESEDERHANAAN<div align="justify"> <br /><span class="awal" style="font-family:verdana;">H</span><span style="font-family:verdana;">idup yang serba-serbi memang watak manusia, yang tidak pernah merasakan puas dan tak pernah bersyukur akan kenikmatan Ilahi. Potret hidup yang demikian itu banyak kita jumpai disekitar kita, dan bahkan kalau kita prosentasekan 90 % tentunya dari jumlah penduduk planet bumi ini. Hidup yang serba-serbi bukan hanya dilakoni oleh kalangan kelas elit, tetapi juga sudah mencemari pada kelas-kelas sosial yang paling rendah dengan memaksakan kehendaknya untuk hidup sepert</span>i <span style="font-family:verdana;">itu.</span><span class="fullpost" style="font-family:verdana;"> Bahkan orang menilai hidup yang serba-serbi ini hanya dirasakan oleh orang yang punya harta banyak yang hidupnya di kota-kota, tetapi belum tentu orang yang punya harta banyak itu serba-serbi, atau bahkan orang menilai hidup serba-serbi itu adalah pergaulan anak remaja dan pemuda, juga belum tentu, karena orang tua masih banyak yang serba-serbi. Terus siapa orang yang serba-serbi itu???<br /><br />Orang yang serba-serbi itu adalah orang yang tidak mau bersyukur akan karunia Allah yang tak pernah merasakan kepuasaan dalam hidupnya, akhirnya dia berusaha untuk serba-serbi. Sederhana memang solusinya, tetapi itulah realita yang ada. Ada beberapa indikasi orang dikatakan serba-serbi. Pertama, orang tak punya control hidup, kedua, orang punya control terbawa arus, ketiga, harta banyak, dan keempat, tidak punya planning jangka panjang. Itulah empat faktor yang membuat orang hidup serba-serbi.<br /><br />Kita kembali pada topik bahasan tentang kesederhanaan yang tentunya punya kolerasi dengan serba-serbi tadi. Sederhana bukan berarti tidak punya apa-apa, dan bukan pula tidak modern, justru hidup yang sederhana dalam dunia modern seperti inilah pantas dikatakan modern. Kesederhanaan, kadang orang identikkan dengan serba kekurangan alias hidup pas-pasan, seperti itukah realitanya??? Apa pandangan Islam terhadap kesederhanaan ini?. Tinta emas sejarah Rasulullah SAW sebagai pembawa risalah kenabian telah memberikan contoh bagaimana orang menjadi bersyukur akan nikmat Allah swt.<br /><br />Seorang Nabi yang punya isteri kaya raya, harta melimpah, tapi kehidupan Rasulullah tidak serba-serbi, hidupnya sederhana, rumah tempat beliau tinggal tidak seperti deretan rumah-rumah di jalan Ijen Malang. Rasulullah adalah sosok insan suri tauladan, bahkan dalam riwayat tatkala harta Khadijah (isteri Rasul) telah habis dikorbankan untuk memperjuangkan agama Islam dan menegakkan kalimat tauhid dan mengIslamkan kaum Jauhiliyah, akhirnya secara kasat mata Rasulullah tidak punya apa-apa, tapi beliau tetap sabar dan selalu bersyukur kepada Allah swt. kalau hari ini tidak ada sesuatu yang bisa di makan, Rasulullah memilih berpuasa, tapi kehidupan Rasulullah selalu rukun, sakinah dan bahagia di dalam kesederhanaan itu.<br /><br />Sekilas cerita sejarah Muhammad Rasulullah saw, telah membuka mata hati kita untuk hidup dalam kesedernaan dan jangan berlaku boros dan menghamburkan harta tanpa ada manfaatnya, karena orang yang demikian itu adalah temannya syetan.<br /><br />Kita mungkin banyak mendengar, membaca cerita para auliya’, sahabat-sahabat Nabi bahkan cerita Nabi yang lain yang hidup di dalam kesederhanaan, juga para ulama-ulama pewaris para Nabi, juga hidup dalam kederhanaan, tetapi selalu bahagia sampai akhir hayatnya.<br /><br />Persepsi orang yang menidentikkan hidup sederhana pada miskin, itu salah total, karena orang yang punya harta juga bisa hidup sederhana, dan orang miskin juga bisa hidup serba-serbi dengan kemiskinannya. Jadi, kadang di desa-desa banyak kita saksikan “gubuk derita” penghuninya hidup dalam kesederhanaan, tetapi mereka bahagia dan serba kecukupan, cukup bagi mereka, tapi belum tentu cukup buat orang lain. Intinya kesederahanaan itu bisa dinilai oleh orang lain dan hanya dirasakan oleh yang merasakannya. Hidup dalam kesederhanaan itu adalah cita-cita para sufi, waliyullah dan para syuhada’ tentunya menjadi cita-cita kita semua. Hidup sederhana dalam limpahan nikmat dan karunia Allah swt akan menjadikan kita bersyukur. Semoga Bermanfaat. Wallahu a’lam bi al-Showwab.</span><br /></div>Mas Doelhttp://www.blogger.com/profile/00461627397766309038noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7111786766239753974.post-68894667569215959302009-05-14T18:35:00.000-07:002009-05-14T18:37:31.864-07:00REBUTAN KEKUASAAN<span style="font-family: verdana;" class="awal">H</span><span style="font-family: verdana;">idup kadang kala di atas dan kadang pula di bawah, dan semua itu adalah dinamika kehidupan yang sudah Allah swt atur dan merupakan scenario Tuhan Yang Maha Mengetahui. Manusia hanya bisa mengabdi dan meminta akan pertolongan Allah swt. Roda kehidupan akan selalu berputar sesuai dengan kehendak-Nya, dan Dia Allah telah menciptakan segalanya selalu berpasang-pasangan sebagai tanda akan kekuasaan Allah swt.</span><span style="font-family: verdana;" class="fullpost"> Kadang-kadang manusia dibutakan mata hatinya untuk tidak memikirkan akan ciptaan Allah, baik yang tersirat maupun yang tersurat, bahkan nasib kita sudah Allah tentukan sebelumnya. Hidup memang misterius….of….problem.<br />“Dunia panggung sandiwara”. Kekuasaan kadang menjadi rebutan orang, tidak mesti di dunia politik yang notabenenya memang mengejar kekuasaan belaka, tetapi juga tentunya dalam ranah domestic, organisasi, pendidikan, dan bahkan dalam dunia binatang sekalipun, perebutan kekuasaan itu menjadi alternative utama untuk mengantur dan memanfaatkan orang atas nama kekuasaan.<br />Dalam ranah domestic, seorang suami misalnya semestinya menjadi pemimpin dalam rumah tangga kadang pula menjadi pembantu isteri, karena penghasilan isteri jauh lebih banyak dari pada suami, atau suaminya duduk manis di rumah, akhirnya jadi “suami-suami takut isteri” dan kekuasaan itu ada di tangan isteri. Dalam dunia pendidikan misalnya banyak kita lihat khususnya di perguruan tinggi, orang banyak mengejar jabatan dan kedudukan, entah itu menjadi rektor, pembantu rektor, dekan, pembantu dekan, ketua jurusan, sekrataris jurusan, dan kepala unit, dengan berbagai macam lobi dilakukan untuk meraih jabatan tersebut, kadang pula menghalalkan segala cara untuk mencapai kekuasaan. Ironis memang kalau dunia pendidikan dijadikan sebagai perebutan kekuasaan sesaat dengan meminta jatah kursi hanya satu periode dan seterusnya, tatkala menjadi memimpin maka kadang dia menjadi raja, rakyat harus tunduk pada ujung jarinya, dan bahkan menjadi serakah akan kekuasaan itu. Kalau demikian halnya maka potret dunia pendidikan akan menjadi buram baik bagi peserta didik, maupun bagi guru/dosen serta masyarakat, akhirnya mahasiswa melakukan demonstrasi menuntut bapak/ibu harus mundur dari jabatannya sebagai………dan seterusnya.<br />Perebutan kekuasaan itu tak perlu lagi, jadilah manusia yang santun, pemain yang bijaksana, gunakan politik santun, agar semua menjadi harmoni, jangan fitnah orang, dan jangan ancam orang, pula jangan benci orang karena dia tidak memilih kita, dan yang terpenting jangan provokasi orang untuk memilih. Budaya seperti itu adalah budaya penakut yang takut kalah. Tapi kadang pula kita menyadari bahwa setiap manusia memiliki naluri dan mental yang berbeda-beda, dan perberdaan itulah kadang membawa malapetaka dan kadang pula mendatangkan rahmah, tergantung pada kita untuk menentukan pilihan. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bi al-Showab.</span>Mas Doelhttp://www.blogger.com/profile/00461627397766309038noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7111786766239753974.post-54317656787999040092009-05-14T08:37:00.000-07:002009-05-14T08:39:33.301-07:00“PAHLAWAN KECIL” DARI SAPEKEN<span style="font-family: verdana;" class="awal">B</span><span style="font-family: verdana;">eberapa hari yang lalu saya menulis artikel lepas dalam blog saya (http://abdulqodirqudus.blogspot.com) tentang “Ku Titip Sapeken Bukan Sepekan” dalam tulisan itu saya bermaksud menulis beberapa pesan moral kepada para kandidat legislative dari dapil 7 (Arjasa-Kangean, dan Sapeken) siapa saja yang terpilih menjadi anggota dewan daerah Kabupaten Sumenep jika mau berjuangan demi dan untuk rakyat jangan tanggung-tanggung.</span><span style="font-family: verdana;" class="fullpost"> Semangat itu harus terus membara sampai tuntas masa jabatan, semangat perjuangan itu jangan hanya hitungan seminggu, selesai dilantik atau malah menjadi tikus-tikus berdasi yang menggrogoti uang Negara (aji mumpung).<br />Pesan moral ini mengingatkan kita pada salah satu sejarah besar kepemimpinan Khalifah Abu Bakar Assiddiq, tatkala menyampaikan pidato kenegaraan lepas pelantikan sebagai khalifah (presiden) saat itu. Dalam kutipan pidatonya Abu Bakar menyampaikan: “Jika saudara melihat kebenaran dalam kepemimpinan ku maka ikutilah aku, dan jika saudara melihat kesalahan, maka jangan ikuti aku”. Dalam sepenggal kata sambutan Abu Bakar Assiddiq ini telah memberikan pesan moral kepada siapapun saja yang ingin menjadi pemimpin/wakil/pejabat/dsb.<br />Lima orang tokoh yang dipercaya mewakili masyarakat kepulauan Sapeken-Kangean untuk duduk di Parlemen DPRD Kabupaten Sumenep yang selanjutnya saya sebut sebagai “Pahlawan Kecil” mereka itu adalah Dulsiam (putra kelahiran Desa Sepangkur), H. Moh. Ali (putra kelahiran Desa Pagerungan Besar), Nur Asyur (putra kelahiran Desa Sapeken), Badrul Aini (putra kelahiran Kangean), dan Moh. Husen (putra kelahiran Kangean). Semoga mereka benar-benar membawa aspirasi masyarakat kepulauan untuk bisa menciptakan kemakmuran dalam keadilan dan keadilan dalam kemakmura. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bi al-Showwab.</span>Mas Doelhttp://www.blogger.com/profile/00461627397766309038noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7111786766239753974.post-15156874198972811842009-04-19T19:20:00.000-07:002009-05-14T01:20:02.633-07:00POHON KEMATIAN<span style="font-size:100%;"><span style="font-family:verdana;"><span class="awal">s</span>emua makhluk yang bernyawa di muka bumi ini akan mersakan kematian (<span style="font-style: italic;">wa ma khalatul jinna wa al-insan illa liya’buduun</span>), tidak ada yang abadi selain keabadian Allah SWT. Banyak orang berusaha untuk menempukkan harta benda dan kekayaan dunia, sementara kekayaan dan harta melimpah itu akan dia tinggalkan, seorang laki-laki mendambakan wanita cantik yang kelak nanti akan ditinggalkan, buah hati belahan jantung anak simata wayang juga akan menjadi kenangan hidup dan menjadi sejarah kehidupan manusia. Orang yang selalu menumpukkan harta benda (<span style="font-style: italic;">hubbu ad-dunya)</span> biasanya takut untuk mati.</span></span><span style=";font-family:verdana;font-size:100%;" class="fullpost" ><br />Alkisah; konon katanya, ada orang kaya yang sepintas memahami tafsiran ayat Qur’an tentang surga, bahwa surga itu adalah istana yang megah dengan segala perabotan lengkap dan kebutuhan terpenuhi yang dibawah istana mengalir sungai yang sejuk dan mempesona, akhirnya orang kaya tersebut membuat istana besar dan luas dengan segala isi dan perabotan yang lengkap dan sempurna juga dibwah istana itu dibuatkan sungai yang membuat istana itu semakin indah dan mempesona, kemudian dia berfikir seperti inikah kehidupan surga, dan dia berfikir bahwa dia tidak akan meninggalkan kehidupan dunia ini dan hidup kekal di dalam istana yang di buatnya itu.<br />Hingga pada suatu hari si kaya tadi mengunjungi dan silaturahmi kepada seorang kyai kampung dan menceritakan apa yang dia sudah perbuat dengan membangun surga dunia serta mencukupi segala fasilitas istana yang sangat sempurna. Setelah semuanya diceritakan kepada kyai tersebut, akhirnya kyia menanggapinya dengan mengatakan bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini kawan keculai kematian itu sendiri, untuk itu segeralah bertobat dan memohon ampun kepada Allah SWT, kelak nanti istana mu itu akan kau tinggalkan. Seketika itu orang kaya tersebut bertobat dan memohon ampun kepada Allah atas prasangka dan kesalahan yang selama dunia dia perbuat serta menghibahkan harta dan kekayaannya termasuk istana itu kepada agama Islam sebagai modal untuk menegakkan ajaran Islam di muka bumi ini.<br />Dari cerita singkat di atas kita teringat akan kisah 9 orang mahasiswa dari perguruan tinggi negeri dan swasta di Malang Jawa Timur yang mengakhiri kehidupannya dengan menabrak pohon di Kota Batu Malang. Kejadian itu tentunya membuat orang terkesima dan sangat mengerikan. Kejadian itu berawal dari kepulangan mereka dari pesta ulang tahun salah seorang teman mereka yang dirayakan di taman rekreasi malam “Payung” kota Batu tepatnya pukul 01.00 wib yang kondisi mereka masih dalam keadaan setengah sadar setelah minum-minuman beralkohol dengan mengendarai mobil taruna yang kapasitas 6 orang sementara diisi 9 orang, 4 laki-laki dan 5 perempuan.<br />Kejadian itu bermula tatkala mobil yang di tumpanginya oleng karena ban belakang taruna pecah, mobil tidak bisa dikendalikan karena kecepatannya di atas 70 km/jam dan jalannya juga menurun akhirnya menabrak pohon di tepi jalan dan tidak ada satu orang pun yang selamat atas insiden maut itu, bahkan ada satu mahasiswi yang kebetulan duduk di depan bersama sopir berpisah antara badan dengan sebelan kakinya, juga setelah di evakuasi warga di dalam mobil tersebut ada seorang mayat cewek yang bugil, bahkan juga pohon yang ditabrak membelah mobil taruna itu, sementara pohon tersebut tidak mengalami kerusakan, tidak tumbang dan tidak retak, kecuali daun berguguran dan kulit terkelupas. Sangat menakjubkan kejadian itu, sementara pohon itu sebagaimana yang saya lihat minggu kemarin 19/4/2009 pohonnya sangat kecil sekali, tetapi menghilangkan 9 jiwa mahasiswa-mahasiswi itu.<br />Menurut sumber yang falid bahwa di lokasi kejadian tersebut sudah banyak dan sering terjadi kecelakaan, sekalipun jalannya lurus dan luas persisnya di depan Kantor Wali Kota Batu. Kenapa sering terjadi kecelakaan? Respon masyarakat sekitar pohon yang kecil itu menurut keyakinan mereka ada penghuninya, tapi terlepas dari semua itu adalah suratan taqdir dari Ilahi dan pesan moral buat generasi bangsa dan pelajaran buat semuanya.<br />Banyak orang yang terpukul dengan insiden maut tersebut, bukan cuma sanak keluarga yang ditinggalkan tetapi kampus dimana merena menimba ilmu juga berkabung. Anak yang dikuliahkan di Malang tentunya akan membawa kebahagiaan kelak buat keluarga dan masyarakatnya, ternyata mengakhiri kehidupannya dengan cara yang sangat mengerikan…...<span style="font-style: italic;">na uzu billa min zalik</span><br />Peristiwa kamis malam 16/4/2009 terkesan memberikan pesan kepada kita bahwa kematian itu akan dating dalam kondisi dan situasi apapun serta tidak kenal batas usia muda mapun tua, susah maupun senang, sakit maupun sehat. Kalau sudah saatnya tidak ada satu pun orang yang bisa menghalanginya. Untuk itu persiapkanlah dirimu saat ini untuk menghadapi kematian, karena dia akan dating secara tiba-tiba kepada siapapun yang sudah takdirnya untuk meninggalkan jatah hidupnya di dunia ini.<br />Kepada generasi penerus bangsa “mahasiswa” jadikan peritiwa 16/4/2009 itu sebagai pelajaran yang berharga untuk menata hidup yang lebih baik lagi, dan semoga Allah swt mengampuni semua dosa dan memberikan tempat yang terbaik di sisinya, juga bagi keluarga yang ditinggalkan akan tetap tabah dan sabar atas apa yang menimpa anak dan keluarga. Amin. Semoga bermanfaat. <span style="font-style: italic;">Wallahu a’lam bi al-Showab.</span></span>Mas Doelhttp://www.blogger.com/profile/00461627397766309038noreply@blogger.com0