ADILA

Minggu, 29 Maret 2009

BAJO YANG KU KENAL

Sejak aku lahir tepatnya pada tahun 1981 di sebuah pulau kecil dengan jarak tempuh 18 jam ke arah utara dari pulau jawa namanya pulau Sapeken, Sapeken adalah salah satu kecamatan dengan sembilan desa dan puluhan pulau-pulau kecil yang tertata rapi sangat indah yang membuat orang betah tinggal di pulau seribu itu. Sapeken berada di bawah pemerintahan Sumenep Madura, tapi bukan berarti orang sapeken itu madura, tapi mereka adalah orang BAJO yang tidak pernah bersenggolan dengan bahasa dan adat Madura kecuali orang-orang tertentu yang pernah mengenyam pendidikan di Madura.
Tanjung Kiaok; itulah nama desa tempat aku dilahirkan, dibesarkan dan dididik oleh orang tua menjadi orang yang bertanggung jawab (amanah), orang tua (ence) ku adalah seorang nelayan tulen yang tidak pernah mengecam pendidikan tinggi seperti HIMAS, dan ibu (mame) juga hanya tamatan SD tidak pernah menyecam bangku SMP apalagi Perguruan Tinggi, ibu hanya menjadi ibu rumah tangga yang amanah, yang menjaga harta dan anak-anak suaminya, sifat itu yang aku banggakan dari seorang ibu yang sholehah. Dengan kesederhanaan itu kemudian bisa mendidik putra-putrinya menjadi orang yang bermanfaat buat orang lain.
Saat petang tiba, adzan maghrib menggema, sholat magrib selesai dilaksanakan, saat itulah aku dikenalkan dengan suku bajo. Suku Bajo yang dikenalkan itu ternyata asal muasalnya dari pulau Sulawesi satu marga dengan suku Bugis, sehingga antara suku bugis dan bajo ada kemiripan bahasa. Ada beberapa adat istiadat suku bajo yang diceritakan ibu pada anak sulungnya ini sebelum ibu pulang menghadap sang pencipta (Allahummayarham), diantaranya :
1. Ngonse Kubur
Ngonse Kubur adalah tradisi yang mendatangi makam kerabat tatkala mau melangsungkan pernikahan (bunteh) dengan tujuan untuk meminta do’a restu dari kerabat yang meninggal. Calon Mempelai Wanita (CMW) dan Calon Mempelai Laki (CML) ikut dalam acara ziarah makam tersebut. CMW menggunakan sarung warna merah yang menutupi semua tubuhnya kemudian di kawal oleh bidadari cantik yang menggunakan pakaian yang sama, sementara CML hanya menggunakan busana warna putih dengan kopiah hitam, dengan jalan kaki menuju tempat ziarah tersebut. Sampai ditempat barulah melakukan prosesi acara dengan mengirim surat al-fathehah sebagai pembuka kemudian dilanjutkan dengan membaca surah yasin yang dipersembahkan untuk para leluhur yang mendahului, setelah do’a dan minta restu.
2. Maleppe Raraki
Maleppe Raraki adalah bagian dari adat istiadat suku bajo dengan melepaskan perahu kecil berukuran 1 x 0,5 m yang dilengkapi dengan orang-orangan dan makanan seadanya kemudian dilepas di tepi pantai dengan mengikuti arah mata angin. Acara sacral ini dilakukan pada momen-momen tertentu seperti acara maudu (maulid) dan acara me’raj (Isra’mi”raj) dengan tujuan supaya terhindar dari balak lautan. Maleppe Raraki saat ini sudah tiada karena kepala suku adat sudah meninggal dan tidak ada yang mewarisi.
3. Makallabe
Makallabe adalah tradisi pernikahan suku bajo yang melibatkan anak-anak muda yang dilakukan malam hari untuk mengiringi mempelai wanita ngunjungi mertua (orang tua CML), dengan menggunakan busana serba tertutup seperti saat ziarah ke makam tadi. Unik nya adalah semua pemuda dan pemudi yang mengiringi kunjungan itu membawa permen, permen itu akan diberikan kepada petugas yang sudah siap dengan bakinya di pintu masuk rumah CL. Setelah sampai di depan rumah, tidak ada satu pun yang bias masuk setelah MW masuk terlebih dahulu. Syaratnya adalah MW harus dijemput oleh mertua laki, kalau bukan mertua laki, maka MW tidak mau masuk. Supaya suasana menjadi haru, maka banyak saudara dari pihak ML menjemput, sementara MW tetap pada pendiriannya kecuali mertua laki (bapak ML) yang menjemput. Begitulah cerita singkatnya.
4. Ngimpuan Ringgit
Ngimpuan Ringgit adalah acara kunjungan dari pihak ML disaat akan dilakukannya akad nikah. Rombongan pihak CML terdiri dari ibu-ibu dan minoritas bapak, ibu-ibu membawa baki yang isinya beras dan gula, sementara pihal bapak-bapak membawa kelapa cantik, kayu baker cantik, pisang cantik dan tikolok panangat (jawa: panengset), juga membawa tombak, perjalanan rombongan ini bukan sunyi tanpa suara tetapi diiringi musik dangdut. Sesampainya di kediaman CMW, rombongan belum bisa masuk jika kalau tombak yang dibawa oleh rombongan CML belum bisa diserahkan kepada panita penyambutan CMW. Untuk bisa diserahkan tombak tersebut harus dilakukan dengan tradisi manca (silat), kalau tombak sudah ditangan keluarga CMW maka rombongan CML dipersilahkan untuk memasuki tempat prosesi diadakannya akad nikah. Akad nikah dilakukan sesuai dengan syariat Islam dengan menggunakan bahasa Bajo.
Itulah sekelumit cerita tentang budaya suku bajo yang ku kenal, dan tentunya masih banyak tradisi lain yang lebih unik yang suatu saat nanti akan saya tulis dalam blog ini, sebagai acuan bagi teman-teman mahasiswa atau dosen yang ingin melakukan penelitian dan menyelesaikan tugas akhir kuliah. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bi al-showab

0 komentar:

Template by - Abdul Munir - 2008