ADILA

Selasa, 19 Mei 2009

LIMA GAGASAN FIQH INDONESIA

Oleh : Abbas Arfan Baraja

Para ulama terdahulu di beberapa negara pernah membuat sebuah undang-undang fiqih khusus untuk penduduk muslimnya, seperti pada akhir abad 13 H. pemerintah Kerajaan Turki Usmani mengumpulkan sejumlah ulama besarnya dengan menginsruksikan pada mereka untuk membuat kitab undang-undang negara resmi negara dalam bidang mu`amalah (perdata) yang diambil dari beberapa pendapat fuqoha sekalipun bertentangan dengan mazhab yang ada atau berlaku, selama hukum yang dibuat itu bisa berjalan dan kondisi masyarakat saat itu. Akhirnya mereka berkumpul dan membuat Qonun (Undang-Undang) itu dengan nama Majallah al-Ahkam al-Adliyah pada tahun 1286 H. yang kemudian disahkan dan ditetapkan pengamalannya pada tahun 1292 H. Dalam hukum jual beli misalnya ditetapkan dengan mazhab Ibn Syubrumah. Ini termasuk awal keluar dari kungkungan taqlid pada empat mazhab yang terkenal.
Hal itu menjadi awal pemikiran beberapa ulama Indonesia untuk membuat Fikih Indonesia, berawal dari gagasan T.M. Hasbi Ash Shiddieqi pada tahun 1940-an, dibuat dan disahkannya KHI (Kompilasi Hukum Islam) pada tahun 1991 yang saat itu masih banyak ditentang oleh sebagian besar ulama Indonesia (terutama dari kalangan ulama tradisioanalis), K.H. Ali Yafie pun melontarkan gagasan yang sama pada tahun 1980-an, juga K.H. Sahal Mahfudh dengan ide Fikih sosial-nya tahun 1990-an; yang dalam pandangan penulis identik dengan Fikih Indonesia dan yang lebih heboh lagi pada tahun 2004 ini ketika draf KHI yang baru disusun oleh tim yang dibentuk dan diprakarsai Departemen Agama Republik Indonesia itu diketahui publik dan menjadi perdebatan antara pihak yang pro dan kontra, karena beberapa perubahan yang tertuang dalam draf itu dinilai sangat berani dan melenceng dari Syariat Islam terutama dari dalil Qur’an dan Hadis disamping terkesan menampilkan isu jender.
Memang layak dipahami, sebagai disiplin syari`ah terpenting, fikih seyogyanya bersikap responsif terhadap perkembangan dan menjauhi apriori. Hal ini akan tercapai bila fikih dapat berdialog dan membuka diri dengan tuntutannya selama ini. Salah satunya misalnya dengan menyeimbangkan sisi teks dan konteks dalam masalah fiqhiyyah itu. Persoalan kontemporer yang datang silih berganti memang jalan dilihat sebelah mata.
Tidaklah heran jika kemudian di Indonesia dan oleh beberapa tokoh ulama Indonesia memunculkan ijtihad berupa konsep dan gagasan Fikih Indonesia, di samping untuk mencari solusi atas pertentangan antar pengikut mazhab Fikih di negeri ini dan menciptakan satu kesamaan dan kesatuan dalam bidang Fikih yang meliputi seluruh kajian Fikih, mulai masalah ibadah, mu’amalah (perdata), dan jinayah atau hudud (pidana) sampai masalah ekonomi dan sebagainya.
Dan ada lima alasan yang menjadi prinsip landasan muwafaqoh (setuju-nya) penulis dengan ide atau gagasan Fikih Indonesia itu, yaitu sebagai berikut ini:

1. Mashlahah ‘Ammah (Kemaslahatan atau Kepentingan Umum)
Adapun pengertian kepentingan umum dalam batasan ‘Urf (adat dan kebiasaan) adalah diartikan dengan sarana yang menyebabkan adanya kepentingan umum dan bisa dimanfaatkan secara umum. Sedangkan pengertian kepentingan umum dalam pandangan syari’at adalah sesuatu yang menjadi penyebab untuk sampai kepada maksud atau tujuan syara’, baik berupa ibadat maupun adat.
Kepentingan umum dalam pandangan syari’at Islam sangat penting, karena tujuan syara' adalah menciptakan terciptanya kepentingan umum dalam kehidupan manusia . Kepentingan umum yang dimaksud adalah bersi¬fat dinamis dan fleksibel; artinya, pertimbangan kepentingan umum itu seiring dengan perkembangan zaman. Konsekuensinya, bisa jadi yang dianggap kepentingan umum pada waktu yang lalu belum tentu dianggap kepentingan umum pada masa sekarang, Oleh karena itu, ijtihad terhadap (pelaksanaan) hukum dengan pertimbangan kepentingan umum ini supaya dilakukan secara terus menerus, baik terhadap masalah-masalah yang secara prospektif diduga pasti terjadi.

2. Taghoyyur al-fatwa bi taghoyyur al-azminah wa al-amkina
Maksudnya; Perubahan fatwa disebabkan perubahan waktu dan tempat. Sesungguhnya perubahan situasi dan kondisi suatu zaman mempunyai andil yang cukup besar dalam beberapa ketetapan hukum Syara’, karena apa-apa yang ditetapkan Syara’ itu berdasar pada adat manusia dan kebiasaan-kebiasaannya. Di samping itu, karena Syara’ (Syari’ah) adalah produk interpretasi sumber-sumber Islam pada konteks tertentu, dengan sendirinya Syari’ah tidak bersifat suci dan kebal perubahan. Dengan demikian menurut al-Na’im, Syari,ah yang telah diformasikan para ahli hukum klasik dapat direkontruksi pada aspek-aspek tertentu, asalkan rekonstruksi itu juga didasarkan pada sumber-sumber dasar Islam yang sama dan sepenuhnya sesuai dengan pesan moral dan agama. Oleh karena itu, maka sebagian ulama berpendapat bahwa latar belakang timbulnya Qaul Jadid-nya Imam Syafi’i itu karena situasi sosial yang berbeda antara Iraq dan Mesir (tempat lahirnya qaul jadid).

3. Fikih al-Taysir (kemudahan fikih)
Prinsip ini merupakan gagasan Syekh Yusuf al-Qordlawi dalam beberapa karyanya yang bertemakan al-Taysir, terutama dalam dua bukunya; Nahwa Ushul Fikih Muyassar dan Taysir al-Fikih li al-Muslim al-Mu’ashirah fi Dlau al-Qur’an wa al-Sunnah. Beliau berpendapat bahwa Fikih yang penting ini perlu dimudahkan untuk masyarakat di zaman kita sekarang ini. Hal ini merupakan keharusan bagi para ilmuwan, baik pribadi, kelompok, lembaga maupun perguruan tinggi. Karena konstruksi syari’at Islam berdiri di atas kemudahan, bukan kesulitan, dan pengajarannya kepada manusia dibangun di atas kemudahan bukan penyulitan. Lantas beliau berhujjah dengan beberapa ayat al-Qur’an dan Hadis Shoheh yang mendudukung prinsipnya.

4. Fikih al-Aulawiyat (Fikih Prioritas).
Prinsip ini sejalan dengan pepetah Arab yang berbunyi “taqdim al-ahham ‘ala al-muhim” (memprioritaskan yang paling utama dari yang utama). Prinsip ini digagas dan dikembangkan oleh Syekh Yusuf al-Qordlowi juga dalam beberapa karyanya terutama secara fokus dan menyeluruh dalam bukunya “Fi Fikih al-Aulawiyat; Dirasah Jadidah fi Dau al-Qur’an wa al-Sunnah”. Beliau menegaskan dalam mukaddimah bukunya di atas bahwasanya Fikih al-Aulawiyat pada masa sekarang ini sangatlah penting. Maksud dari Fikih al-Aulawiyat adalah meletakkan segala sesuatu sesuai dengan proporsi dan tingkatannya dengan adil baik dalam bidang hukum, kebijakan atau amaliyah, yaitu dengan mempriorotaskan sesuatu yang paling utama lewat pertimbangan-pertimbangan syari’at yang benar, maka seseorang tidak sepatutnya mendahulukan atau mengutamakan yang tidak penting atas yang penting, atau mengedepankan yang penting di atas yang paling penting. Adapun landasan bagi masalah ini adalah bahwasanya semua kebijakan, hukum, amal dan kewajiban dalam pandangan syari’at memiliki batasan dan tingkatan perbedaan yang nyata dan jelas antara satu dengan lainnya dan tidaklah semuanya itu dalam satu tingkatan yang sama; ada yang besar dan ada yang kecil, ada pokok, ada cabang, ada rukun dan ada juga pelengkap, ada yang diletakan tengah (inti) dan ada yang dipinggirkan, dan juga ada yang di atas dan ada yang di bawah. Beliau pun menguatkan gagasannya ini dengan beberapa dalil al-Qur’an dan al-Sunnah yang shoheh yang mengindikasikan kepada adanya perbedaan keutamaan dalam ibadah.
Maka Prioritas yang perlu dan harus di kedepankan dalam fikih Indonesia antara lain adalah; mengutamakan persatuan atas pertentangan atau perselisihan; ijtihad kolektif atas ijtihad individu; kemudahan atau keringanan atas kesulitan atau pembebanan; metode kontekstual atas tekstual; kepentingan umum atas kepentingan pribadi atau kelompok; mengambil talfieq atas ta’ashub atau fanatik pada satu atau salah satu mazhab; memakai ilmu Ushul Fiqh atas teks-teks kitab Fikih, dan lain-lain.

5. Fikih al-Waqi’ (Fiqh Realitas atau Sosial).
Prinsip ini telah di gagas di Mesir oleh Nashir Sulaiman al-’umar dalam risalahnya (buku kecilnya) yang berjudul “Fikih al-Waqi”: Muqowwamatuh, Atsaruh, Mashodiruh”. Beliau memberi definisi fikih Waqi’ adalah: “Ilmu yang membahas tentang fikih (pengetahuan atau pemahaman, penulis) keadaan-keadaan kontemporer dari beberapa faktor penyebab yang ada di masyarakat, kekuatan yang mempengaruhi beberapa negara (kekuasaan, penulis), beberapa pemikiran yang merongrong aqidah dan upaya jalan yang ditempuh untuk menjaga dan menyembuhkan umat baik generasi sekarang dan mendatang” Fiqh al-Waqi’ yang ditawarkannya adalah Fikih dalam pengertian luas yang mencakup semua ilmu pengetahuan, baik agama atau umum, baik fatwa atau kebijakan politik. Oleh karena itu wajib bagi seorang mufti atu juris (ulama) untuk mengetahui dan mempertimbangkan Fikih al-Waqi’ ini terlebih-lebih jika yang dihadapinya itu adalah masalah kontemporer, karena suatu fatwa atau hukum tidak cukup hanya dengan Fikih al-Ushul (Ushul Fikih), dan Fikih al-Furu’ (Fikih/ Hukum Islam) saja, tapi harus dibarengi juga dengan Fikih al-Waqi’.
Keumuman Fiqh al-Waqi’-nya al-’Umar di atas berbeda dengan fikih sosial-nya K.H. Sahal yang cenderung memaknai kalimat fikih-nya (dari istilah fikih sosial atau fikih al-Waqi’) itu dengan lebih khusus, yaitu kepada Fikih (hukum Islam). Maka fikih itu harus dilihat secara kontekstual dan harus dihadirkan sebagai etika sosial. Karena Fikih bukan hanya alat untuk mengukur kebenaran ortodoks, tetapi juga alat untuk membaca realitas sosial.
Dalam konteks inilah, sebetulnya fiqh sosial secara substansial tidak ada bedanya dengan ilmu sosial profetis yang dikembangkan Kuntowijoyo atau Islam transformatif yang digagas oleh Moeslim Abdurrahman, atau dalam batas-batas tertentu tidak jauh berbeda dari pandangan M. Quraisy Shihab tentang “Membumikan al-Qur’an”. Hanya titik tekannya yang berbeda. Konsep Kuntowijoyo lebih menitik beratkan aspek ilmu sosial, sedangkan pandangan Moeslim Abdurrahman lebih berorientasi pada aspek “aksi sosial” yang teologis. Sementara itu Quraisy Shihab lebih memfokuskan pada dimensi tafsir.
Itulah lima prinsip pokok alasan penulis dalam mendukung gagasan Fikih Indonesia. Jika al-Ghozali dan al-Syathibi memiliki lima prinsip pokok dalam konsep Maqoshid al-Syari’ah-nya, (yaitu; memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta), Ilmu Qowa’id al-Fikihiyah mempunyai lima macam Kaidah Kubra-nya (yaitu; al-Umur bi maqoshidiha, al-Yaqin la yuzal bi al-syak, al-Masyaqqoh tajlib al-taysir, al-Dloror yuzal dan al-’Adah muhakkamah), Fikih sosial-nya K.H. Sahal memiliki lima ciri pokok yang menonjol sebagai paradigma pemaknaan sosial dan juga negara kita menetapkan Pancasila sebagai lima sila dasar negara, maka saya mengusulkan lima prinsip landasan pokok di atas sebagai dasar alasan atau hujjah terciptanya fikih Indonesia, dan kelima prinsip itu saya beri nama dengan “Panca Tunggal Prinsip Fikih Indonesia (Wahdaniyah al-Khomsah li Asas Fiqh Indonesia”. Karena kelima prinsip itu saling terkait antara satu dengan lainnya; Sebagaimana halnya kita memilih atau menetapkan suatu fatwa atau hukum dengan memprioritaskan (Fiqh al-Aulawiyat) kepada faktor kemudahan (Fiqh al-Taysir), karena ada suatu kemaslahatan umum atau luas (al-Maslahah al-‘Ammah) yang bisa diambil, yang semuanya ini terjadi karena adanya perubahan waktu dan tempat, situasi dan kondisi (Taghoyyur al-Fatwa bi Taghoyyur al-Azminah wa al-Amkinah) yang benar-benar ada dan terjadi dalam sosial masyarakat (Fiqh al-Waqi’) yang tidak bisa kita hindari keberadaannya. Semoga bermanfaat. Wallahu a'lam bi al-Showwab

0 komentar:

Template by - Abdul Munir - 2008