ADILA

Jumat, 10 April 2009

DINAMIKA PARTAI NASIONALIS DAN RELEGIUS INDONESIA PASCA PILLEG 2009

Pupus sudah harapan partai-partai kecil untuk meraih suara banyak di parlemen, kenapa tidak? Kita sudah bisa melihat hasil menghitungan sementara dari surve Quick Qount yang mayoritas memenangkan Partai Demokrat (PD) dengan prosentase rata-rata 20 %. Ini adalah merupakan hasil yang mengejutkan bagi partai-partai lain khususnya bagi partai yang mengkliem dirinya sebagai partai pewaris perjuangan Bung Karno, sebut saja Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Pelopor, Partai Banteng Indonesia, dan Partai Marhanisme (Rahmawati Soekarno Putri). Ke empat partai ini mempunyai visi dan misi yang hampir sama dengan tujuan untuk membangkitkan roh perjuangan Bung Karno dari masing-masing tubuh partai tersebut. Bung Karno adalah sosok pejuang yang tegar dan memegang kuat terhadap kometmen kebangsaan. Akhirnya dengan kepatroit dan kewibawaannya banyak orang dan bahkan para calon legislatif yang menziarahi makam pahlawan ’45 itu.
PDI adalah partai yang berasas nasionalis, yang merupakan partai besar yang lahir pada masa Orde Baru. PDI Perjuangan pada pemilu 1999 meraih suara terbanyak yang kemudian disusul dengan Partai Golkar dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Pada pemilu tahun 2004 Partai Golkar mendapatkan suara mayoritas dan Partai Demokrat menempati urutan ke enam setelah Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Pemilu tahun ini sekalipun belum ada kejelasan dan masih menunggu hasil penghitungan manual dari KPU, tetapi kita sudah bisa menyimpulkan bahwa PD yang merajai Parlemen Indonesia.
Bagaimana nasib partai yang berasaskan Islam? Posisinya sementara ada pada level tengah. Jawa Timur yang merupakan basis PKB akhirnya tenggalam dan tak bersuara, Madura basis NU juga tidak mampu untuk menandingi perolehan suara dari Partai Demokrat. Lagi-lagi saya katakan bahwa partai berasaskan nasionalis yang pantas untuk meneruskan perjuangan Bung Karno, sementara partai berasaskan Islam biarkan saja menjadi sayap-sayap parlemen (penyeimbang), supaya Negara tetap dalam alur konstitusi ruh Ilahiyah.
GOLPUT adalah pilihan rakyat yang jumlahnya hamper 40 %, artinya bukan PD yang menang, tetapi GP yang merajai, tetapi GP itu tidak bias dipertanggung jawabkan, karena GP tidak punya aturan yang jelas dan tidak ada aturan yang mengaturnya, jadi kalau kata Anies Urbaningrum “nga’ ngefek coy” . Jadi kenapa rakyat JW yang mayoritas beragama NU itu tidak memilih partai berasaskan relegius, karena bukan karena partainya tetapi sosok/tokoh yang ada di partai, jadi jangan heran kalau PD meraih suara mayoritas karena ada SBY, yang kharismatik dan berwibawa, bukan karena SBY jadi Presiden, atau GOLKAR mendapatkan suara urutan 2 atau 3 karena JK kebetulan jadi Wk. Presiden, atau PDIP dan seterusnya, tetapi karena figur. Terus kenapa dengan PKB? Karena PKB kehilangan ruh tatkala Abdur Rahman Wahid (Gusdur) sudah chek out dari PKB, karena pengaruh Gusdur luar biasa bagi masyarakat NU Indonesia.
Saya memberikan apresiasi yang tinggi kepada Pak Prabowo dengan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra)-nya, karena mampu memposisikan sementara waktu pada urutan 10 besar, dan juga Pak Wiranto dengan Hanura-nya. Kedua tokoh ini adalah pahlawan Negara yang pernah mengawal Presiden Soeharto, dan mampu meraih suara yang sangat signifikan, sekalipun kedua partai itu baru ikut pemilu tahun 2009. Itu semua karena figur tokohnya bukan karena partainya.
Masyarakat muslim lebih cendrung nyontreng partai nasionalis karena figur dan sosok yang diusungnya jelas, programnya jelas dan bener-benar pantas untuk membawa bangsa dan Negara lebih baik lagi, dari pada partai-partai religius yang selalu ribut ngurusi basis massa yang dipetakan melalui organisasi keagamaan. Hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap partai religius ini bisa juga terlalu peragmatis terhadap kebijakan konstitusi syari’ah. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bi al-Showab.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Mas qodir, sampeyan perlu banyak-banyak lagi baca referensi. Masak PDIP lahir pada masa orde baru? mungkin itu PDI, tanpa P. Soal sikap politik masyarakat Jawa, khususnya Jawa Timur yang gak banyak milih partai Islam, mungkin benar bahwa hal tersebut dikarenakan hilangnya 'sosok' yang selama ini dianut. Tapi itu bukan satu-satunya, karena hilangnya kepercayaan publik terhadap para politisi adalah sebab lain yang jauh lebih besar.

Mengasumsikan keberadaan figur besar sebagai magnet perolehan suara sebenarnya juga gak selalu tepat. Tulisan sampeyan gak nyinggung PKS ya?. Nah, PKS itu kan gak punya tokoh besar. Wong namanya aja partai kader. Nama Hidayat Nurwahid dan Tifatul Sembiring mungkin menjadi daya tarik PKS, tapi mereka kan bukan caleg dari dapil-dapil di Jatim. Lantas faktanya suara PKS di Jatim cukup signifikan lho?!
Hehehe, salam. aku alumni F. Syari'ah juga. Blog-ku di www.widjojodipo.wordpress.com

Template by - Abdul Munir - 2008