ADILA

Sabtu, 16 Mei 2009

PEMAIN & PENONTON


Dalam permainan sepak bola tatkala para pemain melakukan kesalahan kadangkala para penonton yang celoteh, bahkan memberikan solusi atas kesalahan itu. Penonton cerdas dalam mengomentari pemain, tapi belum tentu mereka bisa bermain bola. Kesalahan kecil yang dilakukan pemain bola yang gagal melakukan eksekusi bola akan menjadi kesalahan fatal bagi para maniak-maniak bola terutama tiem kesayangan mereka. Celoteh tentunya akan menjadi hangat dalam diskusi non-formal dari para penonton.

Diskusi kecil itu bukan hanya dilakukan di stadion tatkala mereka lagi menonton sepak bola, tetapi hal itu juga dilakukan sampai mereka pulang dari stadion, tetapi hasil diskusi mereka terasa nihil karena tidak akan bisa dijadikan rekomendasi untuk perbaikan reformasi penyerangan dan sebagainya. Apalah artinya suara rakyat kecil yang hanya bisa celoteh ditempat dan sama sekali tidak ada pengaruhnya bagi perkembangan permainan sepak bola. Lain halnya dengan para komentator yang sudah dinobatkan sebagai komentator tetap dalam setiap permainan bola. Suara rakyat kecil akan diperhatikan dalam hal-hal tertentu seperti momen-momen pilkades, pilkada, pilgub, dan apalagi pilpres. Itulah praktek suara kecil rakyat, satu suara mahal harganya bahkan dalam praktek politik banyak para kandidat yang membeli suara rakyat kecil dengan nilai 10 ribu sampai 50 ribu persatu suara. Begitu berharganya suara rakyat dalam momen-momen praktek politik ini. Itulah citra bangsa Indonesia dengan rela menghalalkan segala cara untuk mencapai kekuasaan semata. Ketika itu hilanglah harga diri sebagai bangsa yang terhormat.

Kembali kepada pemain dan penonton. Ternyata praktek semacam itu bukan hanya terjadi dalam pertarunga sepak bola dan percaturan politik tetapi juga sudah menusuk pada ranah-ranah instansi pendidikan yang kadang pula memanfaatkan celah-celah orang lain untuk menjatuhkannya. Kadang pula dalam prakteknya tatkala seorang pemimpin hanya bisa menyuruh, memarah dan menegur, yang intinya mungkin itulah tugas seorang pemimpin/kepala/ketua dan sebagainya.

Kegagalan Negara untuk bisa maju dan berkembang kadang pula dihalangi dengan praktek semacam ini yang gengsi besar untuk melakukan hal-hal yang tak sepantasnya dilakukan atau bahkan pekerjaan itu hanya bisa dilakukan oleh pembantu dan pegawai rendahan. Pemimpin hanya bisa jadi penonton yang tugasnya hanya menegur dan selalu menyalahkan orang lain. Jarang sekali kita temukan praktek-praktek kepemimpinam seorang khalifah Umar bin Khattab dan Umar bin Abdul Aziz dan tentunya para khalifah-khalifah yang lain, yang bukan hanya jadi penonton tapi mereka juga jadi pemain, pemain yang cerdas dan akurat dalam menyelasaikan tugas kenegaraan. Para khalifah tidak hanya mengandalkan kerja otak tetapi juga kerja otot. Sungguh kiranya kita menginginkan seorang pemimpin sebagaimana prakteknya para khalifah-khalifah itu.

Tentunya sangat ironis bagi para pemimpin-pemimpin Islam tatkala mereka hanya jadi penonton-penonton pasif yang bisanya hanya memerintah, memarahi dan menyalahkan hasil kerja orang lain. Itulah praktek dan potret anak bangsa Indonesia yang hanya bisa jadi penonton bukan pemain, yang bisa hanya mengandalkan otak ketimbang otot dengan dalih “jabatan ku lebih tinggi dari pada kamu”.

Harapan kita, semoga pemimpin-pemimpin mendatang bisa memberikan contoh yang baik buat generasi penerus dan mampu mengawal amanat rakyat dan selalu mementingkan kepentingan rakyat diatas kepentingan pribadi dan golongan. Akhir kata “jadilah pelaku sejarah dan jangan jadi penonton sejarah”. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bi al-Showwab.

0 komentar:

Template by - Abdul Munir - 2008