ADILA

Minggu, 17 Mei 2009

KULTUR ISLAM & DALIL MISIGONIS PERSPEKTIF GENDER


Kajian masalah wanita, menjadi topik yang masih hangat, seiring dengan pembahasan hak-hak asasi manusia yang tidak hanya berimplikasi pada permasalahan wanita itu sendiri tetapi masuk dalam dataran politik, ekonomi, hukum bahkan berimbas pula pada pembahasan agama, termasuk Islam, hingga pada relung-relung keyakinan pribadi pada setiap orang.Salah satu implikasi yang tidak terelakkan adalah isu ini berusaha membongkar dogma-dogma agama, menentang sebagian ayat-ayat al-Qur’an, menghujat hadis-hadis dan melawan setiap ide penerapan hukum Islam dengan alasan ketidaklayakan hukum itu dalam membentengi hak-hak wanita, bahkan jelas-jelas dianggap meminggirkan wanita.
Pada masyarakat kontemporer saat ini, kita agaknya lebih memfokuskan diri pada norma daripada nilai-nilai. Kita lebih terfokus pada perintah dan larangan dan kurang akan nilai-nilai (values). Kultur Islam telah meletakkan fondasi norma dan nilai-nilai, tetapi sebagaimana dikatakan di muka, kita kurang mendapat informasi atau penjelasan tentang nilai-nilai yang begitu esensial dalam rangka menjamin kehormatan dan harga diri kehidupan umat manusia dalam interaksi sosial keseharian kita. Memahami aspek-aspek kognitif dan normatif budaya merupakan dasar untuk memahami kultur dan budaya Islami. Tetapi, terdapat dua dimensi budaya yang memerlukan sedikitnya perhatian singkat kita, yakni integrasi kultur dan relativisme budaya. Ini akan memungkinkan kita untuk memahami bagaimana kultur dapat dipengaruhi oleh kompleksitas masyarakat modern.Integrasi Budaya
Menitik satu langkah variasi yang beragam dalam agama khusus Islam telah memberikan nuansa baru sebut saja gender yang kerap kali sering diperbincangkan dikalangan akademisi, agamawan, politkus bahkan pada ranah-ranah kultur. Dalil-dalil agama sering digunakan untuk menolak kesaksamaan gender. Dalil-dalil agama juga dijadikan alasan untuk mpertahankan kedudukan (status quo) wanita. Bahkan dalil-dalil agama juga dijadikan rujukan bagi alasan pembahagian kerja berdasarkan jantina, seolah-olah kaum lelaki ditakdirkan bergiat di arena awam manakala kaum wanita di arena rumahtangga. Tanpa disedari, kefahaman agama yang sebegini lama telah melahirkan kesan seolah-olah wanita sememangnya tidak setaraf dengan lelaki.
Kedudukan status wanita yang rendah ini diperkuatkan dengan perkembangan berbagai konsep dan teori ilmu-ilmu sosial, seperti antropologi, sosiologi dan historiografi yang epistomologinya didasari oleh kefahaman keagamaan di dalam masyarakat yang bias gender. Maskulinisasi epistimologi ini bukan hanya melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat memihak kepada lelaki tetapi juga melahirkan kebudayaan dan peradaban yang penuh dengan diskriminasi gender.
Daripada perspektif teologi terdapat empat perkara yang berpotensi menjadi faktor penting mempengaruhi pembentukan anggapan stereotaip terhadap wanita. Pertama, anggapan bahawa wanita tercipta hanya sebagai melengkapi hasrat dan keinginan Adam di syurga menjadikan wanita itu hanya sebagai pelengkap keinginan lelaki. Kedua, tempat di mana manusia pertama telah diciptakan iaitu syurga (yang berada di alam ghaib), telah melahirkan pelbagai mitos yang memperolokkan wanita. Ketiga, anggapan bahawa wanita dicipta daripada tulang rusuk Adam meletakkan kedudukan wanita lebih rendah daripada lelaki. Keempat, anggapan bahawa godaan wanitalah yang menyebabkan terkeluarnya Adam dari syurga ke bumi adalah satu drama kosmik. Cerita ini telah melahirkan konsep 'dosa warisan' yang dibebankan kepada wanita. Keempat-empat persoalan teologi ini melahirkan pandangan 'misoginis' yang merugikan wanita.
Sejarah mengatakan kepada kita bahwa segala kebudayaan dan peradaban manusia adalah keseluruhan organik dan menyerupai makhluk-makhluk hidup. Kebudayaan dan peradaban melintas melalui segala tingkat-tingkat kehidupan organik yang harus dilaluinya; kebudayaan dan peradaban-peradaban dilahirkan, melalui masa remajanya, masa dewasa dan matang, dan pada akhirnya datanglah masa gugur. Seperti tumbuh-tumbuhan yang layu dan gugur ke debu, kultur-kultur mati pada akhir masanya dan memberikan tempat pada kultur-kultur lain yang lahir dengan segar.
Apakah demikian halnya dengan Islam? Pada pandangan kulit sepintas lalu akan tampak demikian. Tiada diragukan bahwa kebudayaan Islam telah mengalami kebangunannya yang cemerlang dan masa berkembangnya; ia mempunyai kekuatan untuk mengilhami manusia untuk berbuat dan berkurban, ia mengubah bangsa-bangsa dan mengubah permukaan bumi, dan sudah itu ia berdiri diam dan macet, kemudian ia menjadi kata kosong dan sekarang kita melihat kerendahannya yang sangat dan kebobrokannya. Tetapi apakah hanya sekedar demikian itu?
Apabila kita percaya bahwa Islam bukanlah satu kultur diantara kultur-kultur, bukan hanya sekedar hasil pemikiran dan usaha manusia, tetapi satu hukum yang dititahkan Allah SWT untuk diikuti ummat manusia pada sepanjang zaman dan di setiap tempat, maka aspek itu berubah dengan sempurna. Kalau kultur Islam merupakan hasil kita mengikuti hukum yang diwahyukan,
Kultur populer Islam hanya sebatas kehendak untuk hidup secara layak menurut teks agama serta dalam ruang audiovisual ia diperdagangkan layaknya sebuah produk di pasaran yang terkadang tidak akrab terhadap made in dalam negeri. Kultur pop kontemporer tidak digunakan untuk aplikasi sosial seperti gerakan kebudayaan Wali Songo. Dulu kemapanan kultur pop wayang kulit tidak dilarang, tetapi diisi warna-warni kearifan Islam.
Misoginis seperti kebanyakan istilah ilmiah yang lainnya (seperti feminis, humanis, liberalis dll) merupakan istilah yang berasal dari bahasa Inggris. Oleh karena itu, untuk mengetahui definisi istilah tersebut kita harus merujuk ke dalam kamus bahasa aslinya. Dalam kamus bahasa Inggris misoginis berasal dari kata “misogyny” yang berarti ”kebencian terhadap wanita”. Dalam kamus ilmiah popular terdapat tiga ungkapan yaitu: “misogin” berarti: benci akan perempuan, membenci perempuan, “misogini” berarti, “benci akan perempuan, perasaan benci akan perempuan” sedang “misoginis” artinya “laki-laki yang benci kepada perempuan”. Namun secara terminologi istilah misoginis juga digunakan untuk doktrin-doktrin sebuah aliran pemikiran yang secara zahir memojokkan dan merendahkan derajat perempuan, seperti yang terdapat dalam beberapa teks hadis di atas.
Tiba waktunya, ayat-ayat al-Qur'an yang selama ini dianggap sebagai ayat misoginis menjadi bahan bakar kemajuan perempuan. Terlebih dalam sejarah, Islam tercatat sebagai agama yang mendiskriminasikan perempuan. Paling tidak sebagaimana anggapan Barat. Mereka mendasarkan tuduhannya dengan dalil berupa hukum dan ayat-ayat dalam al-Qur'an yang terkesan merugikan wanita. Sebuah anggapan yang terkesan terlalu sepihak, tidak proporsional; tanpa tahu latar belakang sebenarnya.
Dalam ayat mawarits, wanita memang mendapat bagian separuh dari laki-laki. Namun ada juga yang mendapat bagian sama dengan laki-laki bahkan lebih besar. Sebagai pertimbangan lain adalah bahwa laki-laki mempunyai kewajiban membayar mahar kepada istrinya dan menafkahi keluarganya. Harta istri adalah milik pribadinya. Jadi nilai keadilan ada disini, dimana wanita mendapat mahar, kemudian mendapat warisan entah dari bapaknya atau suaminya atau anaknya. Lalu ketika dia bekerja, maka hartanya tersebut hanya menjadi milik pribadinyanya karena dia tidak berkewajiban menafkahi keluarganya. Yang menjadi titik penting juga bahwa sama bukan berarti adil. Adil adalah sesuai dengan porsinya.
Kajian masalah wanita, menjadi topik yang masih hangat, seiring dengan pembahasan hak-hak asasi manusia yang tidak hanya berimplikasi pada permasalahan wanita itu sendiri tetapi masuk dalam dataran politik, ekonomi, hukum bahkan berimbas pula pada pembahasan agama, termasuk Islam, hingga pada relung-relung keyakinan pribadi pada setiap orang. Salah satu implikasi yang tidak terelakkan adalah isu ini berusaha membongkar dogma-dogma agama, menentang sebagian ayat-ayat al-Qur’an, menghujat hadis-hadis dan melawan setiap ide penerapan hukum Islam dengan alasan ketidaklayakan hukum itu dalam membentengi hak-hak wanita, bahkan jelas-jelas dianggap meminggirkan wanita.
Para ahli sejarah telah sepakat bahwa Islam muncul di saat perempuan terdera dalam puncak keteraniayaan, dimana hak untuk hidup, yang merupakan hak asasi setiap manusia tidak bisa mereka dapatkan. Fenomena semacam ini terus menggejala sampai Islam datang dengan membawa pesan-pesan Ilahi yang menyelamatkan manusia dari alam kegelapan dan kehidupan hewani menuju cahaya dan kehidupan insani. Pada saat itu pula islam mengangkat derajat perempuan dan melepaskan perempuan dari belenggu keteraniayaan. Islam telah mengangkat martabat perempuan dengan memberikan hak-hak yang telah sekian lama terampas dari tangannya serta menempatkannya secara adil.
Tidak hanya sampai disitu, untuk mempermudah masyarakat Islam dalam merubah kultur jahili menuju kultur Islami, Tuhan pun menganugrahkan anak perempuan, Sayyidah Fathimah az-Zahra as, kepada utusan-Nya agar masyarakat mudah meniru dalam memandang dan berprilaku terhadap perempuan. Layaknya skenario film yang berakhir dengan keindahan, datangnya Muhammad saw laksana pepatah “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang menjadi harapan RA Kartini. Artikel ini mencoba menganalisa beberapa teks di dalam doktrin ajaran Islam yang sering dikaji dengan bebas sebagai senjata untuk menisbahkan sebab-sebab kemunduran wanita di dalam Islam. Dikarenakan teks-teks itu pula, budaya dominasi laki-laki atas perempuan terbentuk sejalan dengan keyakinan atas doktrin tersebut.
Munculnya interpretasi bahwa Islam membenci dan merendahkan wanita ibarat sebuah penyakit kronis dan menahun dalam sejarah kehidupan manusia, yang tidak hanya dialami Islam tapi juga menimpa sekte, agama dan aliran kepercayaan lainnya. Jika kita analisa pokok permasalahannya, maka akan kita dapati bahwa sebenarnya pemahaman ini muncul dikarenakan penafsiran secara dangkal terhadap sebuah doktrin agama dan sekte. Misalkan saja Islam, maka kita pun akan mengambil secara sepenggal baik dari hadis ataupun al-Qur’an lantas menisbahkan kepada Islam dengan mengatakan, “Seperti inilah perempuan dalam prespektif Islam”.
Kehadiran Islam justru melenyapkan diskriminasi perempaun-laki-laki. Sejarah mencatat bahwa sebelum Islam datang, posisi perempuan hanyalah sebagai obyek, bahkan sering dijadikan komoditas perbudakan dan seksual. Asumsi yang berkembang saat itu memandang perempuan sebagai penghalang kemajuan, terutama di kala peperangan. Karenanya lebih baik dikubur hidup-¬hidup bila lahir bayi perempuan. Asumsi ini diluruskan Allah SWT dalam Al-Qur'an surat al-Ahzab ayat 35. Persoalan yang mucul kemudian adalah, sungguhpun Islam telah mendasari penyadaran intergratif tentang eksistensi perempuan, namun realitas saat ini di berbagai negara yang mayoritas muslim justru menampilkan pandangan yang kontradiktif. Pemasungan hak-hak perempuan dalam berbagai sektor kehidupan, dengan dalih ajaran agama, justru sering didengung-dengungkan. Perempuan tidak berhak menjadi pemimpin, tidak boleh menduduki posisi-posisi strategis, haram menuntut hak-hak sosial politik dan lain sebagainya. Jelas hal ini suatu distorsi terhadap ajaran Islam. Maka bergantilah era represif masa pra-Islam berlalu dengan kedatangan agama nabi Muhammad saw. yang mengembalikan perempuan sebagai manusia utuh setelah mengalami hidup dalam kondisi yang mengenaskan tanpa kredibilitas apapun dan hanya sebagai komoditi tanpa nilai.
Perbincangan keseteraan gender semakin manarik. Tidak hanya menyeruak ke seluruh lini kehidupan dan telah membongkar sekat demi sekat ruang ketidakadilan atas perempuan akibat ketimpangan gender di tengah masyarakat, tetapi juga semakin banyaknya kaum laki-laki yang terlibat dalam menyumbangkan pikiran wacana ini. Sebuah kemajuan langkah awal bagi siapapun yang ingin menemukan makna "pembebasan" yang tengah diperjuangkan. Semua orang ingin yang terbaik bagi bangsa dan daerahnya, tidak salah bila ada sorotan dan ragam pendapat dalam menemukan esensi dari sebuah wacana baru atau dianggap datang dari negara asing (barat).
Membaca konsep gender sambil memicingkan selah mata tidak akan menghantarkan kita pada sebuah jawaban, yang lahir justru pandangan-pandangan yang tidak membangun dan hanya melihat wacana gender sebagai momok. Anggapan-anggapan inilah yang kemudian membuat sebagian orang berhasrat untuk memberantas dan menafikan semangat kesetaraan dan keadilan sebelum mengkaji dan memahaminya lebih jauh.
Para ahli sejarah telah sepakat bahwa Islam muncul di saat perempuan terdera dalam puncak keteraniayaan, dimana hak untuk hidup, yang merupakan hak asasi setiap manusia tidak bisa mereka dapatkan. Fenomena semacam ini terus menggejala sampai Islam datang dengan membawa pesan-pesan Ilahi yang menyelamatkan manusia dari alam kegelapan dan kehidupan hewani menuju cahaya dan kehidupan insani. Pada saat itu pula islam mengangkat derajat perempuan dan melepaskan perempuan dari belenggu keteraniayaan. Islam telah mengangkat martabat perempuan dengan memberikan hak-hak yang telah sekian lama terampas dari tangannya serta menempatkannya secara adil.
Tidak hanya sampai disitu, untuk mempermudah masyarakat Islam dalam merubah kultur jahili menuju kultur Islami, Tuhan pun menganugrahkan anak perempuan, Sayyidah Fathimah az-Zahra as, kepada utusan-Nya agar masyarakat mudah meniru dalam memandang dan berprilaku terhadap perempuan. Layaknya skenario film yang berakhir dengan keindahan, datangnya Muhammad saw laksana pepatah “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang menjadi harapan RA Kartini. Artikel ini mencoba menganalisa beberapa teks di dalam doktrin ajaran Islam yang sering dikaji dengan bebas sebagai senjata untuk menisbahkan sebab-sebab kemunduran wanita di dalam Islam. Dikarenakan teks-teks itu pula, budaya dominasi laki-laki atas perempuan terbentuk sejalan dengan keyakinan atas doktrin tersebut. Semoga Bermanfaat. Wallahu a’lam bi al-Showwab.

0 komentar:

Template by - Abdul Munir - 2008