ADILA

Selasa, 24 Maret 2009

ADA JERITAN DI UTARA PULAU BALI

Membaca sepintas judul tulisan ini memang persepsi orang berbeda-beda, ada yang menafsirkan ada hantu di utara pulau Bali, ada juga yang menafsirkan ada orang yang tenggelam di utara pulau bali kemudian berteriak minta tolong, mungkin ada juga kebingungan dengan mengatakan ada gerangan apa di utara pulau Bali. Judul tulisan ini memang membuat orang jadi multitafsir, tetapi saya tidak bermaksud untuk membuat pembaca bingung dan bimbang, saya hanya mengatakan ada pulau-pulau kecil di utara pulau Bali. Begitulah mungkin…
Tulisan ini saya awali tatkala saya mendapatkan kabar dan berita yang tidak enak dari saudara di pulau sana tentang angin dan ombak bercampur badai menerjang pulau Sapeken yang terletak di utara pulau Bali itu, kemudian saya menyimpulkan bahwa “tamu musiman” telah datang dan ilustrasi pendek sudah saya tulis dalam Info Sapeken tentang Tambaru beberapa hari lalu.
Tidak dipungkiri lagi bahwa masyarakat yang tinggal di tepi pantai merupakan makanan empuk bagi musim hujan dan anginnya tak terkecuali masyarakat yang tinggal di kaki gunung dan sekitarnya, yang mengalami nasib hampir sama, tetapi dalam tulisan ini saya akan memberikan gambaran tentang jeritan suku Bajoe saat musim hujan telah tiba yang saya istilahkan “tamu musiman”. Suku Bajoe dalam sejarahnya adalah suku yang senang bepergian dari satu tempat ke tempat lain dari satu pulau ke pulau lain, hingga akhirnya menetap dengan jumlah banyak yang tersebar mayoritas di pulau-pulau terbentang di nusantara bahkan di seluruh dunia. Pulau Sapeken adalah salah satu dari sekian banyak homosepien suku Bajoe di muka bumi ini, yang mampu hidup dengan segala kelebihan, keterbatasan dan kekurangan yang dimiliki.
Dulu suku Bajoe terkenal dengan kepiawiannya dalam berkelana, mengelilingi samudera hinggap dari satu pulau ke pulau yang lain, bahkan badai dan topan menjadi sarapan pagi, budaya dan tradisi menjadi hiburan, bahkan binatang buas yang ada di laut menjadi teman, pintar membaca alam, situasi dan kondisi dengan menghitung bintang di langit, dengan melihat arah mata angin, bahkan mempunyai ilmu kelautan yang sangat luar biasa, kalau sekarang diistilahkan ilmu perikanan. Tetapi sayang itu hanya sekedar cerita untuk generasi selanjutnya, suku Bajoe zaman sekarang beda jauh dengan suku Bajoe tempoe doeloe.
Seiring dengan berputarnya roda kehidupan diiringi dengan bergantinya tahun, maka semuanya serba berubah, apalagi kita bicara masalah budaya, buadaya apa sih yang tidak masuk ke pulau Sapeken? yang menurut pengamat dan peniliti dari ITS Surabaya “ada Surabaya kecil di seberang sana” maksudnya ada kota mitrapolitan mini di timur pulau Madura. Tidak bisa dipungkiri lagi memang itulah realita yang ada, suku Bajoe yang terkenal pemberani dan tangguh menghadapi badai, topan itu, sekarang sudah menjerit, semua ketakutan tatkala tamu musiman telah datang, kemana jiwa kesatria itu, budaya dan tradisi yang dibanggakan telah sirna di bawa oleh dedemmit-dedemmit yang tidak bertanggung jawab, mana ada ??? yang tinggal hanyalah cerita masa lalu dan jeritan masa kini.
Goresan singkat ini hanya mampu memberikan secuel asa yang tak pernah terwujud kembali. Suku Bajoe yang terkenal dengan pemberani, sekarang telah tidur pulas dengan irama rintik-rintik hujan, suara syahdu badai dan selingan suara serdadu ombak. Kapal dan perahu jadi perhiasan pantai. Itulah potret masyarakat pulau Sapeken masa kini, maka itulah tantangan buat generasi berikutnya, generasi yang terhimpun dalam komunitas terdidik (HIMAS), mampukah mereka mempertahankan budaya dan tradisi itu dan menghilangkan jeritan di seberang sana. Sekali lagi saya katakana “ada jeritan di utara pulau Bali”. Semoga bermanfaat....Wallahu’alam bi al-Showab.

0 komentar:

Template by - Abdul Munir - 2008