ADILA

Senin, 15 Juni 2009

MODEL KEPEMIMPINAN DALAM ISLAM

1. Model Kepemimpinan Rasulullah SAW
Model kepimimpinan Rasulullah SAW merupakan contoh sempurna bagi setiap generasi umat yang punya keinginan untuk menjadi seorang pemimpin. Tentunya perilaku Rasulullah SAW dengan sifatnya yang empat, yaitu shiddiq (jujur), amanah (dipercaya/akunta ble), tabligh (menyampaikan/trasnparan), dan Fathonah (cerdas).Pencitraan terhadap sifat Rasul SAW merupakan model ala kepemimpin Rasulullah SAW. Tentunya semua kita dan masyarakat akan menginginkan pemimpin yang amanah dan shiddiq, bisakah masyarakat wujudkan pemimpin yang amanah itu ?
Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mementingkan kepentingan rakyat dan umat di atas kepentingan pribadi dan golongan, idealnya begitu!!!. Kita mungkin pernah mendengar sejarah kepimpinan khalifah Umar bin Khattab, Umar bin Abdul Aziz, Sultan Shalahuddin al-Ayyubi, yang merakyat, yang peduli kepada umat bagi mereka “masyarakat tidak butuh janji tapi tindakan yang reel” sampai-sampai Khalifah Umar bin Khattab mikul sendiri gadum yang diberikan kepada rakyatnya, karena melihat rakyat lagi kelaparan.
Model Kepemimpinan Rasulullah SAW dan realitas kepemimpinan saat ini kepemimpinan merupakan sebuah modal yang harus dimiliki oleh para pemimpin yang hendak menjadi pemimpin. Biasanya, masing-masing pemimpin memiliki model mereka sendiri dalam memimpin sebuah organisasi baik formal maupun non-formal atau organisasi yang sangat besar. Namun secara garis besar model kepemimpinan dibagi menjadi 5 gaya kepemimpinan, yaitu : 1. Otokratis, 2. Militeristis, 3. Paternalistis, 4. Kharismatik, dan 5. Demokratis. Dari kelima model kepemimpinan di atas masing-masing ada penganutnya. Namun yang paling berhasil dan paling fenomenal seorang pemimpin yang pernah ada di dunia ini adalah Rasulullah SAW. Beliau berhasil karena mampu mengkombinasikan kelima model kepemimpinan di atas sehingga model kepemimpinan yang dianut oleh beliau menjadi sempurna.
Hampir tidak ada sejarah yang menceritakan kecacatan yang Rasulullah lakukan selama beliau menjadi pemimpin. Hal ini dilakukan karena dari model-model terdapat kelemahan dan juga kelebihan dari masing-masing model kepemimpinan tersebut. Selain itu, yang tidak boleh dilupakan adalah pribadi dari seorang pemimpin itu. Semua model itu tidak akan berarti apa-apa apabila diaplikasikan oleh seorang yang memiliki kepribadian yang buruk. Ia senang korupsi, menindas rakyat kecil atau mengambil hak orang lain. Hal ini secara tidak langsung akan membuat masa kepemimpinannya tidak akan bertahan lama. Oleh karena itu, Rasulullah SAW adalah contoh pemimpin sempurna yang pernah ada selama ini. Karena beliau mengkombinasikan antara akhlakul karimah dengan model kepemimpinan yang ada. Kekuatan akhlak yang Rasulullah miliki mampu menciptakan kekuatan baru yang sangat luar biasa. Dengan kekuatan itu, Rasulullah menjadi mampu menegakan dan menyebarkan ajarannya keseluruh penjuru dunia. Walaupun begitu, karena kemuliaannya tadi, tidak ada rasa sombong, ujub atau membanggakan diri sedikitpun yang timbul pada diri Rasulullah SAW. Inilah yang membedakan Rasulullah dengan pemimpin-pemimpin yang ada saat ini. Mereka sangat haus dengan kedudukan, harta, bahkan hal-hal yang menurut mereka dapat membuatnya kaya di dunia ini, sehingga mereka dapat menjalankan segala keinginan mereka sesuai nafsu yang mereka inginkan. Oleh karena itu, ketika ada pertanyaan model kepemimpinan apa yang harus kita jalankan, maka jawaban yang harus timbul adalah poin yang keenam yaitu model kepemimpinan Rasulullah SAW. Hal ini dikarenakan Rasulullah SAW-lah seorang pemimpin yang sudah diakui oleh dunia dalam berbagai hal, baik dari segi akhlak dan kemampuan-kemampuan yang lainnya. Oleh karena itu, pemimpin yang relevan dengan keadaan saat ini adalah seorang pemimpin yang paling mengenal siapa itu Nabi Muhammad SAW dan mengamalkan segala bentuk ajaran/risalah yang beliau bawa. Selain itu pemimpin saat ini haruslah benar-benar memusatkan perhatiannya terhadap amanah yang ia emban. Dan yang tidak perlu dilupakan adalah keadilan yang harus ditegakan dalam kinerjanya kelak.
Seorang pemimpin semetinya tidak membeda-bedakan suku, agama, ras dan agama. Apalagi di Indonesia yang multi agama dan menyebarnya faham-faham pluralisme, tentunya tak pantas kalau seorang pemimpin harus membeda-bedakan agama, ras dan suku dalam ranah-ranah publik. Dan sepatutnya pula pemimpin umat yang pro rakyat, yang meneladani sifat Rasulullah SAW, kalau dalam bahasa yang mudah dipahami adalah pemimpin yang “muhammadanisme”, bukan karena dari kalangan organisasi keagamaan (NU, Muhammadiyah, PERSIS, dan sebagainya).

2. Kepemimpinan Model Sholat Berjamaah
Ketika seseorang telah terpilih menjadi pemimipin dengan kriteria model kemimpinan Rasulullah SAW sebagaimana yang saya tulis diatas, maka tahap selanjutnya adalah dalam kepemimpinannya harus pandai membuat strategi-strategi dan job description yang jelas dan pro-umat. Para ulama banyak mengomentasi tentang filsafat sholat berjamaah sebagai obyek dalam mengaktulisasikan kinerja seorang pemimpin dengan berbagai macam interpretasi dan penafsiran yang tentunya mengarah kepada seorang imam sholat berjamaah dengan poin-poin sebagai berikut:
a. Seorang Imam Sholat harus fathonah
Imam sholat berjamaah harus cerdas. Artinya harus faseh bacaan al-Qur’an dan faham maksudnya ayat yang dibacakan tadi. Hal ini merupakan syarat mutlak seorang imam, karena jika ada imam sholat yang bacaannya tidak sesuai dengan tajwid, maka para ulama menghukumi sholatnya itu tidak sah. Jika aturan imam sholat pertama ini kita tarik pada ranah kepimpinan dalam lembaga, organisasi, kepala negara, maka sejatinya seorang pemimpin itu harus cerdas, pintar dan tentunya punya wibawa dan kharismatik di mata masyarakat. Cerdas dalam melihat situasi dan kondisi, cerdas dalam mengambil keputusan, cerdas dalam memecahkan problem masyarakat, cerdas dalam menafsirkan bergabagai gejala sosial yang timbul ditengah-tengah masyarakat, dan yang terpenting adalah seorang pemimpin harus cerdas dalam berbagai bidang. Karena misalnya pemimpin Negara, tentunya dia tidak bisa hanya mampu dalam bidang-bidang tertentu sementara bidang yang lain diabaikan, hal semacam ini akan membuat roda pemerintahannya akan terlihat pincang tidak stabil. Seperti imam sholat jika tidak menguasai kaidah makhraj huruf dalam bacaannya, maka tentunya akan menjadi tidak sempurnanya sholat, dan itu semua akan berdampak kepada jamaah sholat.
b. Seorang Imam Sholat harus sehat
Imam sholat wajib dan harus sehat jasmani dan tentunya pula harus sehat rohani. Syarat ini merupakan mutlak bagi imam sholat, karena jika imam sholat sakit (tidak sehat secara jasmani, apalagi rohani) maka akan mempengaruhi terhadap kondisi dan tidak sempurnanya sholat. Penafsiran semacam ini lebih pada interpretasi tidak sehat secara jasmani. Sementara sakit secara rohani merupakan sifat yang abstrak (tidak nampak) dan sakit semacam ini bisa mempengaruhi terhadap ketidak khususan imam dalam memimpin sholat berjamaah. Misalnya, jika imam sholat ada masalah atau sifat dendam, dengki, hasut, dan ruya’, maka sifat ini tentunya punya pengaruh besar terhadap ketidakeksistensi dalam membaca ayat-ayat al-Qur’an dan bahkan bisa tidak konsen dalam menghitung jumlah rakaat sholat.
Jika kemudian problem imam sholat yang semacam ini, ditarik dalam ranah kepemimpinan, maka seorang memimpin itu harus sehat secara jasmani dan rohani. Misalnya, beberapa hari setelah dideklarisasinya enam kandidat capres dan cawapres Indonesia, terlebih dahulu dia harus mengadakan pemeriksaan kesehatan pada tim dokter yang sudah dipersiapkan oleh Komisi Pemilihan Umum sebagai penyenggara. Ini mengindikasikan bahwa seorang pemimpin secara fisik harus sehat. Sehat secara jasmani tidak cukup untuk mempersiapkan seorang pemimpin, tetapi dia juga harus sehat rohani. Masalah rohani, ini adalah wilayah-wilayah abstarak, ranah-ranah yang sulit ditebak, dan sulit diintretasikan dalam ranah public. Sakit secara rohani ini banyak orang menafsirkan adalah sakit jiwa yang secara terperinci adalah dia mempunyai sifat sombong, riya’, dendam, iri hati, dan sebagainya. Sifat-sifat semacam ini harus di buang jauh-jauh dari hati seorang pemimpin karena akan mempengaruhi terhadap kinerja pemerintahan dan cendrung memilih dan memilah, karena seorang pemimpin yang sejati tidak bisa memilih dan memilah suku, agama, dan golongan dalam memberikan keputusan yang menyangkut orang banyak.
c. Seorang Imam Sholat siap dikritik
Manusia adalah cendrung keliru dan salah, karena itu merupakan sifat manusia, karena itu Islam mengajarkan harus saling menasehati dalam kebenaran dan ketaqwaan. Dalam sholat umpanya sering kita jumpai seorang imam lupa atau keliru dalam melafazdkan bacaan, maka para jamaah harus menegur secara ma’ruf sesuai dengan aturan dalam kaifiat sholat yaitu jika imam sholat keliru maka ucapan yang pantas diucapkan sebagai ungkapan kritikan adalah ”subahanallah”. Jika imam sholat mendengar ucapan itu, maka dia harus mengerti dan faham bahwa dia keliru, salah dalam melafadzkan bacaan al-Qur’an. Dan seorang imam juga tentunya menyadari dan segera memperbaiki bacaanya yang keliru itu, dan tidak boleh egois dan angkuh dengan meneruskan bacaan yang salah itu sampai selesainya sholat, hal ini akan mengurangi nilai-nilai kehilahiyah dalam sholat itu sendiri.
Kalau masalah diatas ini kita tarik pada ranah-ranah kepimpinan, maka seorang pemimpin itu tidak boleh egois apabila dikritik dalam pemimpinannya, memang itulah salah satu tugas seorang pemimpin siap dikritik selama kritikan yang konstruktif (membangun) yang membawa perubahan pada perbaikan dalam kepimpinannya. Jika pemimpin itu tidak siap dikritik, maka jangan jadi seorang pemimpin, karena tatkala pemimpin hanya mengandalkan dan memperhatankan keegoisannya, maka akan mempengaruhi terhadap kinerja kemipimpinannya.
Masyarakat yang dipimpin harus mengatahui aturan dan mekanisme cara mengkritik yang sopan dan mekanisme mengkritik yang benar, jangan asal mengkritik tapi tidak konstruktif karena itu akan menimbulkan masalah baru.
d. Seorang Imam Sholat harus tahu aturan
Imam sholat harus mengatahui kaifiah menjadi imam sholat. Misalnya jika memang dia tidak mampu untuk menjadi imam lebih baik memberikan kesempatan pada yang lain untuk menjadi imam, baik dari segi bacaan yang kurang tajwid, dan sebagainya. Jika dipaksakan untuk menjadi imam, dikhawatirkan akan membatalkan sholat. Begitu juga seorang pemimpin jika memang dia tidak mumpuni untuk menjadi seorang pemimpin sebaiknya dia harus memberikan kesempatan pada yang lain yang lebih mumpuni dalam memimpin, karena “jika suatu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya”.

0 komentar:

Template by - Abdul Munir - 2008