ADILA

Rabu, 28 Oktober 2009

ANALISIS HISTORIS WACANA KALAM SOSIAL


A. Pendahuluan
Pada beberapa tahun menjelang berakhirnya abad ke-20, pemikiran Islam menunjukkan suatu perkembangan yang menarik. Pada saat ini banyak kita cermati perkembangan gagasan-gagasan “baru” yang bernada kritis terhadap tradisi pemikiran Islam. Nasr Hamid Abu Zaid, Hasan Hanafi, M. Abied Al-Jabiri, Fazlur Rahman adalah di antara beberapa nama yang dapat kita sebutkan dalam konteks ini.
Abad ke-20 merupakan gelombang kedua timbulnya kesadaran baru pemikir Islam. Gelombang pertama dimulai pada tahun 1897 M dimana pada saat itu kesadaran kritis muncul setelah umat Islam sadar akan ketertinggalan dari bangsa Barat yang selama ini diklaim sebagai bangsa yang rendah. Umat Islam selama ini terbius oleh jargon al-Islam ya’lu wala yu’la alaih mulai bangkit setelah melihat kenyataan jatuhnya Mesir oleh Napoleon Bonaparte. Gelombang kedua dimulai sejak munculnya kesadaran umat Islam atas kekalahan dunia Islam atas Israel pada tahun 1967. Sejak saat itu kritik umat Islam atas realitas dirinya menjadi hal yang niscaya.
Berbagai pemikiran pembaharuan mulai bermunculan di blantika pemikiran modern Islam dalam rangka membangun kembali “kejayaan” Islam yang telah runtuh. Umat Islam yang saat ini menghadapi berbagai tantangan seiring dengan kemajuan modernitas yang nyata-nyata memastikan respons serius dari umat Islam. Tawaran pemikiran pembaharuan yang digagas para mujtahid memiliki spektrum yang sangat luas mulai dalam bidang hukum, politik, kalam (teologi), ekonomi dan sebagainya.
Tulisan ini akan mencoba memberikan diskripsi munculnya pembaharuan pemikiran yang berkembang dalam bidang kalam yang saya katakan sebagai wacana kalam sosial. Secara historis jelas bahwa pada abad ke-20 banyak gagasan pemikiran kalam (baca: teologis) muncul dalam merespons perkembangan yang ada. Hal inilah yang kemudian dapat kita cermati adanya aras baru perbincangan kalam kontemporer. Tulisan ini membatasi pada persoalan latar historis munculnya wacana kalam sosial yang mewujud dalam beberapa performanya seperti kalam pembebasan, kalam feminisme, dan kalam pluralisme. Secara sistematis pembahasan ini akan mencakup hal-hal sebagai berikut, yaitu: memaknai kalam, memahami kalam sosial, performa wacana kalam sosial dan penutup.

B. Memaknai Kalam
Wolfson menjelaskan bahwa term kalam yang secara literal bermakna pembicaraan (speech) atau perkataan (word), digunakan untuk menerjemahkan kata logos dalam tradisi pemikiran filsafat Yunani. Term logos dalam bahasa Yunani mempunyai pengertian yang bervariasi baik yang berarti perkataan (word), pikiran (reason), maupun argumentasi (argument). Tidak mengherankan jika istilah kalam pada saat itu digunakan dalam konteks yang luas. Diskusi tentang alam diterjemahkan dengan al-kalam al-tabi’i (the phisical kalam). Istilah Yunani “teolog” diterjemahkan dengan ashab al-kalam al-ilahi atau al-mutakallimun al-ilahiyyat. Demikian juga, misalnya, kita mengenal istilah-istilah the kalam of Empedocles, maupun the kalam of Aristotle.
Term kalam, dengan demikian, belum menjadi terminologi khusus sebagaimana yang kita pahami selama ini. Seiring dengan perkembangan sejarah, term kalam telah mengalami sedikit pengkhususan makna. Hal ini dapat dilihat, misalnya, term kalam digunakan sebagai istilah teknis yang mengacu pada persoalan-persoalan yang kemudian menjadi objek utama dalam pembahasan kalam. Realitas adanya ungkapan mutakallimun yang digunakan oleh Ibn Sa’ad (w. 845 M) untuk merujuk orang-orang Murji’ah yang berdiskusi tentang status orang yang berdosa atau istilah yatakallam yang digunakan oleh Ibn Qutaibah (w. 889 M) dalam kaitannya dengan diskusi masalah kebebasan manusia yang dipelopori oleh Ghailan (w. 743 M), merupakan bukti bahwa term kalam telah mempunyai simplifikasi dalam orientasi pemaknaannya.
Puncak perkembangan term kalam, sebagaimana dijelaskan oleh Ibn Khaldun dalam Muqaddimah, adalah setelah istilah ini diadopsi sebagai nama bagi sebuah disiplin keilmuan yang ditandai dengan perkembangan pemikiran-pemikiran Mu’tazilah di kalangan Islam. Syahrastani (w. 1153 M) dengan lebih gamblang menjelaskan bahwa term kalam menjadi nama bagi sebuah keilmuan yang definitif pada masa khalifah al-Makmun (813-833 M) di mana pada saat itu para teolog (baca: Mu’tazilah) dalam membahas problem-problem yang berkenaan dengan ketuhanan telah dipengaruhi dan ditopang oleh pemikiran-pemikiran filosofis akibat adanya adopsi dan adaptasi hasanah pemikiran filsafat di luar Islam.
Setidaknya terdapat tiga perspektif argumentasi mengapa keilmuan ini dinamakan ilmu kalam. Pertama, menurut al-Taftazzani dalam karyanya Dirasat fi al-Falsafah al-Islamiyyah menjelaskan bahwa disebutnya keilmuan ini dengan ilmu kalam didasarkan pada objeknya di mana yang menjadi persoalan pertama dalam sejarahnya adalah berkenaan dengan kalam Allah yaitu apakah kalam Allah bersifat hadis atau qadim. Kedua, Harun Nasution dalam bukunya Teologi Islam memandangnya dari dua perspektif: (a) ranah objek, yaitu karena yang dibahas dalam ilmu ini adalah sabda Tuhan (al-Qur’an) yang telah menimbulkan pertentangan keras di kalangan umat Islam di abad ke sembilan dan ke sepuluh Masehi; (b) ranah subjek. Hal ini tidak lain karena para ahli kalam dalam sejarahnya sering menggunakan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan pendiriannya berkenaan dengan problem keagamaan yang dihadapi. Ketiga, De Boer dalam bukunya The History of Philosophy in Islam dimana ia lebih melihat dalam perspektif metodologis. Menurut De Boer, karena pemikir Islam (baca: mutakallim) dalam membahas persoalan-persoalan keyakinan dalam Islam adalah dengan menggunakan metode dialektik (al-jadali) dan oleh orang Arab hal tersebut dikenal dengan nama kalam. Itulah mengapa kemudian ilmu ini dikenal dengan nama ilmu kalam dan orang yang berbuat demikian disebut mutakallim.
Ilmu kalam juga sering diidentikkan dengan ilmu tauhid. Identikisasi ilmu kalam dengan ilmu tauhid adalah sesuatu yang tidak berlebihan jika ditinjau dari aspek objek materialnya. Namun dari sisi metodologisnya, sebenarnya identikisasi ilmu kalam dengan ilmu tauhid adalah kurang tepat, walaupun pada masa-masa selanjutnya persoalan ini nampaknya kurang menjadi perhatian dan tidak menjadi persoalan serius. Adalah al-Ghazali (w. 1111 M) yang menjelaskan hal tersebut dalam kitabnya al-Risalah al-Laduniyah. Menurut al-Ghazali, ilmu kalam tidak identik dengan ilmu tauhid. Ilmu kalam adalah bagian kecil saja dari ilmu tauhid. Hal ini didasarkan pada argumentasi bahwa ilmu tauhid pada hakikatnya adalah ilmu pengetahuan dan sekaligus pengamalan dan penghayatan, sementara ilmu kalam lebih merupakan metodologi rasional dalam membela akidah dari rongrongan kaum bid’ah, sehingga cakupan ilmu tauhid lebih luas dari ilmu kalam yang hanya sekedar bersifat apologetik.
Ilmu kalam tidak lebih sebagai bagian mekanisme pengukuhan pokok-pokok keyakinan secara rasional menghadapi kaum bid’ah. Perbedaan di antara keduanya tidak terletak pada objek materialnya namun lebih pada aspek metodologis dan penghayatannya. Penjelasan al-Ghazali tersebut sejalan dengan apa yang diuraikan oleh sejarawan Islam, Ibn Khaldun. Dalam Muqaddimah-nya, ia menjelaskan bahwa ilmu kalam adalah ilmu yang mengandung perdebatan tentang akidah keimanan dengan dalil-dalil rasional dan penolakan terhadap ahli bid’ah yang menyeleweng dari paham salaf dan ahlussunnah.
Potret perkembangan terminologi kalam dalam realitasnya telah menjadi keniscayaan sejarah. Kalau pada zaman klasik-tengah ilmu kalam telah mampu menjadi istilah utama dalam pemikiran Islam menggantikan tema ilmu tauhid dan juga terma ilmu ushuluddin ataupun ilmu aqa’id-sebagaimana yang digelisahkan al-Ghazali, maka pada zaman modern ini nampaknya terma ilmu kalam sedikit demi sedikit mulai tergusur oleh istilah baru yang lebih populer yakni “teologi”.

C. Memahami Kalam Sosial
Kalam sosial merupakan pemikiran kalam yang memiliki keterkaitan erat dengan realitas problematika yang dihadapi masyarakat Islam dalam konteks kekinian di samping juga seiring dengan perkembangan pemikiran dan tuntutan yang ada. Sebuah kalam yang menjadikan manusia sebagai pusat dan muara orientasinya. Kalam yang berorientasi untuk memberikan solusi atas problem yang dihadapi masyarakat seperti penindasan, ketidakadilan, keterbelakangan, problem kesetaraan hak laki-laki dan perempuan, ataupun problem pluralisme agama. Tuntutan sosiologis dari praksis sosial kalam adalah menciptakan suatu struktur masyarakat yang berusaha menciptakan masyarakat yang terbebas dari segala kesenjangan, keterbelakangan, diskriminasi, dan ketidakadilan, serta pengedepanan etos egalitarianisme, dan saling penghargaan di antara sesama mahluk Tuhan.
Kalam sosial, dengan demikian, menggunakan keyakinan Islam sebagai pembangkit kesadaran akan realitas kehidupan yang tidak mengenakkan, menggugah kesadaran orang-orang yang berakidah Islam akan realitas kehidupan mereka dan realitas di sekitarnya, bukan mengunyah-ngunyah akidah tersebut untuk kepentingan akidah itu sendiri atau bahkan tanpa kesadaran akan tujuan-tujuannya. Kalam sosial menghendaki adanya dialektika sinergis dengan realitas yang tengah dihadapi dan menjadi tantangan kehidupan masyarakat Islam.
Mas’udi menjelaskan bahwa dialektika empiris sosiologis tidak lain merupakan keniscayaan untuk menuju kepada performa pemikiran kalam yang lebih dinamis yang memang sangat compatible dengan realitas dan tantangan kekinian yang dihadapi masyarakat Islam. Mempertahankan performa kalam dalam wajahnya yang old fashion tentunya akan melanggengkan realitas stagnasi dalam pemikiran Islam yang ini pada gilirannya akan menciptakan suatu “bahaya” bagi keberagamaan Islam. Rahman dalam hal ini menegaskan ‘unless theology was reformulated afresh, Islam would be in real and grave danger’.
Penancapan dan pemunculan kalam sosial, sebagaimana yang telah mengedepan dalam konteks masyarakat kontemporer, telah menjadikan dan mengorientasikan diskursus kalam tidak hanya sekedar memperbincangkan persoalan-persoalan apologis “kelangitan”, melainkan lebih pada upaya aplikasi atas ide-ide kemanusiaan yang didasarkan pemahaman atas ketuhanan. Sebagai khalifah Allah (Q.S. 2: 30), meminjam bahasanya Soetrisno, manusia tidak hanya dibebani untuk “membangun kerajaan surga” di alam “sana”, tetapi manusia mesti juga “membangun kerajaan surga” di alam “sini”, di dunia. Oleh karena itu, pengedepanan ide-ide ‘adalah, musawwah maupun hurriyyah, dalam setiap lini kehidupan untuk menciptakan tata kehidupan manusia yang sejahtera adalah sebuah keniscayaan.
Kalam sosial sebenarnya mencoba untuk menciptakan paradigma yang memposisikan dimensi transenden dan antroposentris, dimensi kehambaan dan dimensi kekhalifahan manusia dalam proporsinya yang saling terkait. Tugas kehambaan manusia secara niscaya tidak dapat menafikan terhadap realitas yang ada di sekitarnya. Manusia mesti peduli dengan realitas dan tantangan-tangan yang menghadangnya. Demikian pula, tugas sebagai khalifah di dunia tidak dapat meninggalkan realitas manusia sebagai hamba. Manusia mesti mengaplikasikan ide-ide ketuhanan itu dalam realitas kehidupannya. Kedua hal ini senantiasa berkait kelidan dalam membentuk mekanisme keberagamaan manusia. Manusia mempunyai tugas kehambaan dan sekaligus kekhalifahannya.
Kalam sosial menjadikan manusia sebagai pusat kesadaran di bawah sinaran keilahian. Kalam sosial berusaha untuk bagaimana pemahaman tentang dimensi ketuhanan tersebut mampu ditansformasikan untuk mengukuhkan eksistensi kemanusiaan dalam realitas “kebumiannya”. Dari Tuhan menuju bumi, dari dzat Tuhan menuju kepribadian manusia, nilai-nilai kemanusiaan diderivasi dari sifat-sifat Tuhan, dari kekuasaan Tuhan menuju kemampuan berfikir manusia, dari keabadian Tuhan menuju gerakan kesejarahan manusia, dari eskatologis menuju masa depan kemanusiaan. Sinaran keilahian menjadi hal yang tak ternafikan dalam konteks penajaman realitas kemanusiaan. Kalam sosial telah mengarahkan sasaran tembak yang orientasinya pada theocentris, menuju anthropocentris. Paradigma ini mentransformasikan lokus dari iman menuju kemanusiaan yang menjelma dalam suatu paradigma anthroposentris praksis sosial. Kalam sosial dalam realitasnya telah mewarnai wajah kalam yang selama ini cenderung sibuk “membela Tuhan’ dengan wajah barunya, pesona wajah kalam yang “membela manusia’ dalam kilauan sinaran keilahian.

D. Performa Wacana Kalam Sosial

Berikut dipaparkan beberapa bentuk wacana kalam sosial yang muncul dan berkembang dalam sejarah pemikiran Islam modern. Penulis dalam hal ini hanya memaparkan tiga performa wacana kalam sosial yaitu kalam pembebasan, kalam pluralisme dan kalam feminisme. Pembahasan dalam konteks ini hanya dibatasi pada latar sejarah munculnya gagasan pemikiran tersebut.

1. Kalam Pembebasan
Istilah pembangunan (development) dalam realitas masyarakat modern telah menjadi sebuah keniscayaan. Pembangunan telah menjadi mainstream yang berbanding lurus dengan modernitas terutama dalam relasinya dengan pembentukan struktur-struktur ekonomi-politis masyarakat. Hal ini bisa dimaklumi karena memang dalam realitasnya istilah pembangunan sangat lekat dengan misi sistem ekonomi liberal kapitalis. Sebuah sistem yang mengedepankan dalil bahwa pemerataan hasil ekonomi akan terjadi kepada semua pihak yang berperan—entah dengan modalnya maupun dengan tenaganya—apabila mekanisme pasar dibiarkan berjalan dengan sendirinya. Pemerintah dibenarkan turut campur tangan sejauh hanya sebagai fasilitator penyedia keluangan bagi pasar untuk berfungsi dan sejauh ada dampak negatif yang harus dikoreksi. Sistem ekonomi pasar ini telah menjadi paradigma ekonomi yang niscaya di tengah masyarakat modern terlebih setelah ‘gugurnya’ Uni Sovyet tahun 1990 sebagai laboratorium sosialisme.
Filosofi ekonomi semacam ini yang nota bene sebagai ‘musuh lama ganti baju’ atau merupakan manifestasi dari neo-imperialisme Barat dalam pentas global modern, dalam realitasnya telah diusung sebagai paradigma pembangunan bagi negara-negara berkembang. Tidaklah mengherankan jika sistem ekonomi liberal kapitalis tersebut, tidak memberikan dampak yang lebih baik bagi upaya peningkatan kesejahteraan kaum lemah dan tertindas, tetapi justru menimbulkan gap yang semakin menganga antara masyarakat yang miskin dan yang kaya, antara negara miskin dan negara kaya. Ketergantungan serta proses periferalnya semakin menjadi, negara miskin yang diperiferi semakin tergantung pada negara kaya seperti yang kita lihat pada kasus hutang luar negeri negara berkembang dan hubungan dagang internasional.
Fakih, dengan jelas menegaskan bahwa pembangunanisme yang di-cekok-kan kepada bangsa-bangsa berkembang pada hakikatnya merupakan bentuk mekanisme baru kapitalisme modern dalam menyebarkan sayap-sayap imperialisme, sehingga adalah wajar jika pembangunanisme yang dijalankan itu dalam realitasnya malah melanggengkan struktur dan sistem ekonomi eksploitatif dan menciptakan struktur kelas yang tidak adil. Terlebih lagi sebagaimana yang disinyalir Engineer bahwa banyak bangsa-bangsa Asia dan Afrika setelah lepas dari penjajahan Barat, segera berubah menjadi rezim otoriter di mana orientasi pembangunan ekonominya tidak lagi dirancang untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat yang lemah tetapi hanya untuk memenuhi tuntutan sekelompok elit masyarakat. Dalam kondisi semacam ini, penciptaan tatanan masyarakat yang egaliter, berkeadilan baik secara ekonomi, sosial maupun politik sebagaimana yang menjadi cita-cita dan harapan kaum lemah menjadi sebuah realitas yang sulit tercipta.
Patahnya analisis Marx bahwa kapitalisme akan hancur akibat mekanisme internalnya sendiri di samping gagalnya gerakan-gerakan sosial ekonomi kiri baru, sosial demokrat, dalam mengemban proyek-proyek kesejahteraan yang diharapkan telah membuat orang mulai melirik kembali peran agama. Dulu agama diklaim sebagai biang kemandulan dan turut andil dalam melanggengkan status quo, tetapi sekarang agama justru malah tampil sebagai pendorong anti kemapanan dan menjadi media yang sangat efektif bagi gerakan-gerakan revolusioner bagi terciptanya masyarakat yang berkeadilan dan pembela kaum tertindas. Mengapa agama dalam realitas sejarahnya menampakkan performa dispersepsi yang beragam? Engineer dalam hal ini menjelaskan bahwa agama menjadi candu atau sebaliknya menjadi kekuatan yang revolusioner tergantung pada dua hal: pertama, realitas kondisi sosio-politik; kedua, tergantung pada subjek yang bersekutu dengan agama, apakah kaum revolusioner atau pro status quo. Performa agama, dengan demikian, sangat tergantung pada subjek yang memaknai dalam relasinya dengan realitas sosio-politis yang dihadapi. Agama tidak ubahnya sebuah ideologi yang akan sangat terdeterminasi aktor yang mengendalikan. Bila agama dimaknai sebagai sesuatu yang transformatif dan progresif, maka agama akan tampil secara historis sebagai kekuatan transformatif dan progresif. Demikian pula sebaliknya. Namun demikian, hal mendasar yang mesti difahami bahwa eksistensi agama dalam realitas historisnya tidak lain sebagai garda depan bagi realitas-realitas transformatif-progresif, gerakan-gerakan revolusioner untuk membela kaum tertindas, sehingga bukan hal yang mengherankan jika muncul klaim bahwa realitas historis agama yang pro status quo, yang melanggengkan penindasan, tidak lain merupakan bentuk penyimpangan dari eksistensi agama yang sebenarnya.
Agama dengan perangkat teologisnya yang secara historis telah terbukti mampu menjadi kekuatan revolusioner,transformatif-progresif, mesti dikedepankan dalam konteks kekinian. Bentuk-bentuk teologi yang menyimpang dari eksistensi agama yang sesungguhnya, teologi yang mendukung status quo, mesti diluluhlantakkan dan diganti dengan teologi yang membela kepada kepentingan rakyat yang tertindas dan terlemahkan. “Pembebasan teologi diperlukan untuk mengembangkan sebuah teologi pembebasan”, demikian Engineer. Adanya realitas kemiskinan, keterbelakangan, ketertindasan yang dialami masyarakat bukanlah sesuatu yang given, bukanlah taqdir yang tidak mungkin diubah. Realitas penindasan semua itu muncul sebagai akibat adanya realitas struktur yang secara apik dan sistemik telah menciptakan kondisi-kondisi tersebut. Dalam konteks ini, peran ‘kalam pembebasan’ sebagai kekuatan penyadaran dan ideologis untuk melawan realitas penindasan dalam masyarakat menjadi sebuah keniscayaan.

2. Kalam Pluralisme

E pluribus unum atau yang biasa kita kenal dengan unity in diversity merupakan ungkapan yang tepat untuk menggambarkan kemajemukan yang ada di jagat ini. Dalam konteks Indonesia misalnya, ia dikenal sebagai sebuah negara dengan kebudayaan yang sangat beragam. Hal ini sangat bisa dimaklumi karena memang Indonesia merupakan negara dengan latar belakang yang paling beraneka ragam dengan sekitar 400 kelompok etnis dan bahasa yang ada di bawah naungannya. Demikian halnya dalam konteks agama, Indonesia juga menampakkan wajah keberagamaan yang sangat plural. Hal ini tidak lain disebabkan hampir semua agama, khususnya agama-agama besar di dunia, Islam, Kristen, Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu, terwakili di kawasan ini. Semua agama tersebut diakui keberadaannya dan diberi hak hidup di negara Indonesia. Eksistensi mereka dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu”, demikian bunyi Undang-Undang Dasar. Menilik keragaman tersebut adalah tepat jika bangsa Indonesia menyemboyankannya dengan “Bhineka Tungga Ika”.
Masyarakat dengan realitas keberagamaannya yang sangat plural ini merupakan masyarakat dengan kondisi yang sangat riskan karena sangat rentan dengan potensi konflik. Davis dalam Religion and the Making of Society menjelaskan bahwa agama bukanlah realitas yang melulu terkait dengan dimensi belief dan ritual keagamaan, tetapi juga sangat bertalian dengan dimensi sosio-politis. Dalam konteks sosio-politik inilah agama sangat rentan dengan potensi konflik yang picu adanya perbedaan-perbedaan kepentingan. “Apabila kepercayaan-kepercayaan yang berlawanan mengenai nilai-nilai tertinggi (ultimate values) masuk ke dalam arena politik, mereka mulai bertikai dan makin jauh dari kompromi”, demikian penegasan Alford dalam salah satu tulisannya.
Menilik adanya implikasi negatif pluralisme tersebut, tindakan antisipatif menjadi sebuah keharusan. Namun, solusi terhadap adanya implikasi negatif pluralisme tidak harus melalui mekanisme yang mengarahkan pengingkaran kenyataan pluralisme itu sendiri. Mekanisme demikian, misalnya, seringkali nampak pada upaya menciptakan suatu hegemoni berbagai aspek kehidupan masyarakat. Dalam konteks kehidupan modern di mana masalah pluralisme merupakan agenda kemanusiaan yang penting, penciptaan mekanisme seperti itu bukan solusi yang arif dan konstruktif. Di katakan demikian, karena bagaimanapun pluralisme merupakan kenyataan sosiologis yang tidak dapat dihindari. Pluralisme merupakan bagian sunnatullah, sebagai kenyataan yang telah menjadi kehendak Tuhan.
Effendi dalam tulisannya Pluralisme Realitas Sosial dan Hubungan Antar Agama menawarkan beberapa opsi yang bisa ditempuh dalam menjawab pluralisme keagamaan. Pertama, sikap menerima kehadiran orang lain atas dasar sikap tidak saling mengganggu. Kedua, mengembangkan kerjasama sosial-keagamaan melalui berbagai kegiatan yang secara simbolik memperlihatkan dan fungsional mendorong proses pengembangan kehidupan beragama yang rukun. Ketiga, mencari, mengembangkan dan merumuskan titik temu agama-agama untuk menjawab problem, tantangan dan keprihatinan umat manusia.
Aktifitas utama yang perlu dilakukan untuk mencegah adanya implikasi negatif pluralisme adalah pengembangan sikap kearifan dalam menerima pluralisme. Sikap yang bersedia menerima perbedaan, bukan hanya sebagai realitas objektif akan tetapi juga sebagai potensi dinamis yang memberikan kemungkinan-kemungkinan dan harapan akan kemajuan di masa depan. Hal ini berarti penumbuhan kesadaran akan adanya pluralitas ke segenap masyarakat adalah sebuah keniscayaan sebagai langkah pengembangan pluralisme menjadi kekuatan sinergis dalam kehidupan kemanusiaan.
Dalam upaya menumbuhkan kesadaran tersebut, kalam pluralisme yang ditawarkan oleh beberapa pemikir seperti Farid Essack, Gus Dur, Nurcholish Madjid nampak jelas menemukan titik signifikasinya. Hal ini tidak lain karena kalam pluralisme telah menawarkan sebuah paradigma pemikiran yang menohok ke jantung realitas keagamaan, teologi, yang nota bene, meminjam analisanya Kuntowijoyo, sebagai sesuatu yang sangat dekat dengan fenomen kesadaran manusia. Teologi yang merupakan suatu orientasi pemahaman keagamaan untuk menyikapi kenyataan-kenyataan aktual dan empiris menurut perspektif ketuhanan. Melalui konstruksi kalam pluralisme, di mana iman menjadi pijakan dasar, diharapkan umat Islam sebagai komunitas terbesar dalam konteks masyarakat Indonesia akan mampu menunjukkan sikap yang toleran, terbuka, dan menjauhkan diri dari sikap absolutistik dan klaim-klaim kebenaran.

3. Kalam Feminisme

Dinamika relasi laki-laki dan perempuan tampak menunjukkan aktivitasnya yang semakin luar biasa dalam konteks masyarakat kontemporer. Adanya “gugatan” kaum perempuan yang kita kenal sebagai feminisme merupakan argumen tak terbantahkan terhadap realitas dinamika tersebut. Feminisme merupakan wacana baru dalam konteks masyarakat modern. Di antara asumsi yang melatari wacana tersebut tidak lain adalah upaya mempertanyakan kembali realitas relasi antara laki-laki dan perempuan seiring dengan perkembangan dan perubahan pola kehidupan sosial ekonomi, setelah sekian lama distingsi kodrati biologis di antara mereka melahirkan distingsi gender dan pada akhirnya meninggalkan realitas diskriminasi bagi perempuan.
Dalam konteks Islam, realitas diskriminasi yang terjadi dikalangan perempuan Muslim telah menjadikan feminisme menggelayut di kalangan pemikir Muslim. Mereka pun secara aktif mencoba untuk mengkaji dan melakukan pembacaan kembali terhadap tradisi Islam. Para feminis mempertanyakan mengapa ketidaksetaraan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat Muslim terjadi. Benarkah Islam yang diwahyukan kepada Muhammad saw. dengan al-Qur’an sebagai sumber moral yang mengedepankan etos keadilan dan egaliterianisme mengajarkan diskriminasi? Benarkan Muhammad yang seringkali diklaim sebagai sosok pembebas mengajarkan subordinasi terhadap salah satu jenis mahluk Tuhan. Pendeknya, “Bagaimana sebenarnya pandangan Islam terhadap perempuan?”. Inilah pertanyaan yang seringkali disodorkan kepada para feminis.
Secara geneo-historis, diskriminasi perempuan muncul sebagai akibat adanya doktrin ketidaksetaraan laki-laki dan perempuan yang telah menghiasi kehidupan manusia di sepanjang zaman, kecuali dalam masyarakat matriarkal yang jumlahnya tidak seberapa. Adanya anggapan-anggapan bahwa perempuan tidak cocok memegang kekuasaan karena perempuan diklaim tidak memiliki kemampuan seperti yang dimiliki laki-laki, laki-laki harus memiliki dan mendominasi perempuan, menjadi pemimpinnya dan menentukan masa depannya, aktifitas perempuan dibatasi di rumah dan di dapur karena dianggap tidak mampu mengambil keputusan di luar wilayahnya, adalah performa historis subjugasi atau penundukan perempuan di bawah struktur kekuasaan laki-laki.
Diskriminasi terhadap kaum perempuan ini telah menjadikan perempuan tersungkur ke pojok-pojok sejarah kemanusiaannya. Hak-haknya sebagai manusia seutuhnya, sebagai mahluk Tuhan yang sempurna, terenggut oleh keganasan sistem patriakhi yang selama ini secara kokoh dan angguh. Di Pakistan misalnya, sebagaimana dijelaskan oleh Anita M. Weiss dalam The Slow Yet Steady Path to Women’s Empowerment in Pakistan bahwa diskriminasi terhadap perempuan menampakkan pemandangan yang sangat kental. “all we can see is the public space of the male world”, demikian ungkapan Weiss ketika menggambarkan realitas yang terjadi di salah satu kota di Lahore, Wallet City. Hal ini terjadi tidak lain karena sebagian besar perempuan dibatasi ruang geraknya untuk lebih berkiprah dan berada di ruang domestik. “Most women spend the bulk of their lives phisically within their homes”.
Realitas diskriminasi dan subjugasi yang dialami oleh perempuan secara niscaya telah menumbuhkan kesadaran para feminis Muslim dalam mengatasi realitas tersebut, terlebih lagi setelah melihat idealisme yang diajarkan oleh al-Qur’an yang mengedepankan keadilan dan kasih sayang. “Semakin banyak saya melihat keadilan dan kasih sayang Tuhan yang tercermin dalam ajaran al-Qur’an tentang perempuan, semakin membuat saya sedih dan marah melihat ketidakadilan dan perlakuan tidak manusiawi yang merendahkan perempuan Muslim yang lazim terjadi dalam kehidupan nyata. Mulai tumbuh kesadaran kuat bahwa tugas saya -- sebagai bagian dari minoritas mikroskopik Muslimah terdidik -- untuk berbuat semampu saya dalam mengatasi situasi perempuan Muslim”, demikian kata salah seorang feminis Muslim, Riffat Hassan. Konstruksi kalam feminisme, dengan demikian, adalah keniscayaan yang tidak dapat diabaikan.

E. Penutup

Kalam sosial telah melahirkan sebuah Wacana Kalam Sosial dalam blantika perkembangan pemikiran Islam kontemporer merupakan salah satu bentuk dialektika pemikiran dengan perkembangan realitas kontemporer. Hal yang patut kita catat adalah bahwa wacana kalam sosial telah menjadi sebuah kebutuhan dalam rangka merespons tantangan-tantangan kehidupan seiring dengan perkembangan masyarakat modern. Realitas keterbelakangan, ketertinggalan, ketidakadilan dan hegemoni yang dialami masyarakat Muslim dalam kehidupannya mesti direspons dalam kerangka teologis (baca: kalam). Demikian juga seiring dengan munculnya globalisasi di mana kebutuhan akan pemahaman pluralitas menjadi sesuatu hal yang niscaya di samping juga problem-problem ketidakadilan gender. Wacana kalam sosial merupakan salah satu bentuk respons pemikir Muslim terhadap perkembangan yang ada dan ini hanya salah satu ikhtiar untuk mengatasi problem yang ada yang tentunya harus dibarengi dengan respons dalam perspektif lain seperti politik, kebijakan, dan sebagainya. [esha]


DAFTAR PUSTAKA

--------- , Ihya’ Ulum al-Din. Beirut: Dar al-Fikr, 1995.
--------- , Risalah-Risalah. Bandung: Pustaka Hidayah, 1994.
Al-Ghazali, “al-Risalah al-Laduniyyah” dalam Majmu’ah Rasail. Beirut: Dar al-Fikr, 1996.
al-Syahrastani, Abu al-Fath Muhammad. al-Milal wa al-Nihal. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
al-Taftazzani, Abu al-Wafa al-Ghanaimi. Dirasat fi al-Falsafah al-Islamiyyah. Kairo: Maktabah al-Qohirah al-Hadisah, 1957.
Antonie Giddens, Jalan Ke Tiga, Pembaharuan Demokrasi Sosial, terj. Ketut Arya
Assyaukani, Lutfie. “Tipologi dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer” dalam Jurnal Pemikiran Islam Paramadina, Vol. I No. 1 (Juli-Desember 1998).
Davis, Charles. Religion and the Making of Society, (Cambridge: Cambidge University Press, 1994), 55-58.
Daya, Burhanuddin. “Hubungan Antar Agama di Indonesia”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an No. 4 Vol. IV Th. 1991.
Effendy, Djohan. “Pluralitas Realitas Sosial dan Hubungan Antar Agama”, dalam Mursyid Ali (ed.) , Pluralitas Sosial dan Hubungan Antaragama. Jakarta: BPPA, 1999.
Engineer, Asghar Ali. Hak-Hak Perempuan dalam Islam. Yogyakarta: LSPPA, 2000.
--------- . Islam and Liberation Theology, New Delhi: Sterling Publisher, 1990.
Esha, Muhammad In’ am. Evolusi Kapitalisme: Kajian Sosio-Historis Filosofis Perkembangan Kapitalisme, Makalah, (IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2000).
--------- . “Fundamentalisme Agama” dalam Jurnal Religi, edisi perdana, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 2002.
Esposito, John L. (ed.), Islam in Asia: Religion, Politics, and Society, New York & Oxford: Oxford Univesity Press, 1987.
Fakih, Mansour. “Teologi Kaum Tertindas’, dalam Spiritualitas Baru: Agama dan Aspirasi Rakyat. Yogyakarta: Dian/Interfidei, 1994.
Hafidz, Wardah. Islam dan Feminisme, Makalah disampaikan dalam pada latihan khusus KOHATI cabang Jombang (17-21 Oktober 1995).
Hanafi, Hasan. Islam in the Modern World: Ideology and Development. Kairo: Egyptian Associated Company, 2000.
Hassan, Riffat. “Teologi Perempuan dalam Tradisi Islam”, dalam Jurnal UQ No. 1 Vol. IV (1990).
Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Intoduction to History, terj. Franz Rosenthal New York: Princeton University Press, 1967.
Jahja, HM. Zurkani.Teologi Al-Ghazali: Pendekatan Metodologis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Kuntowijaya, Paradigma Islam, Intepretasi untuk aksi, Bandung: Mizan, 1998.
Machasin, “Islam dan Revolusi”, Jurnal Gerbang, No 02 (April-Juni 1999).
Madjid, Nurcholish. ”Mencari Akar-akar Islam Bagi Pluralisme Modern: Pengalaman Indonesia”, dalam Mark R. Woodward (ed.), Jalan Baru Islam: Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia, (terj.) Ihsan Ali-Fauzi, Bandung: Mizan, 1998.
Magnis-Suseno, Franz. Pemikiran Karl Marx. Jakarta: Gramedia, 1999.
Mernisi, Fatima dan Riffat Hassan, Setara di Hadapan Allah, Yogyakarta: LSPPA, 2000.
Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
--------- . Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa, Perbandingan. Jakarta: UI Press, 1986.
Neufeldt, Victoria. ed., Webster’s New World Dictionary. New York: Webster’s New World Clevenland, 1984.
Nitiprawiro, Fr. Wahono.Teologi Pembebasan. Yogyakarta: LKiS, 2000.
Paul A. Barran, The Political Economic of Growth. Middleesex: Peguin Books, 1973.
R.R. Alford, “Religion and Politics”, dalam Roland Robertson (ed.), Sosiologi of Religion, Canada: Penguin Books, 1978.
Rahman, Fazlur. Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago & London: The University of Chicago Press, 1982.
Rahmat, Jalaluddin. “Dari Psikologi Androsentris ke Psikologi Feminis: Membongkar Mitos-Mitos tentang Perempuan”, Jurnal Ulumul Qur’an, 5, No. 5 dan 6 (1994).
Rosemarie, Tong. Feminist Thought: A Comprehensive Introduction. London: Westview Press, 1989.
Soetrisno, Loekman. “Pembaruan Agama di Dunia Ketiga”, dalam M. Masyhur Amin ed., Teologi Pembangunan, Yogyakarta: LKPSM, 1989.
Syari’ati, Ali. Peranan Cendekiawan Muslim, terj. Tim Naskah Shalahuddin Press. Yogyakarta:Shalahuddin Press, 1985.
TJ. De Boer, The History of Philosophy in Islam, terj. Edward R. Jones. New York: Dover Publishions Inc., t.t..
Tobroni dan Samsul Arifin, Islam, Pluralisme Budaya dan Politik, Yogyakarta: SIPress, 1994.
Umar, Nasaruddin. Argumen Kesetaraan Gender: Perspektif al-Qur’an. Jakarta: Paramadina,1999.
Weiss, Anita M. “The Slow yet Steady Path to Women’s Empowerment in Pakistan”, dalam Yvonne Yazbeck Haddad dan John L. Esposito, Islam, Gender, and Sosial Change. New York-Oxford: Oxford University Press, 1980.
Wilber, ed., The Political Economy of Development and Underdevelopment. New York: Random House, 1973.
Wolfson, Harry Austin. The Philosophy of The Kalam. England: Harvard University Press, 1976. []

0 komentar:

Template by - Abdul Munir - 2008