ADILA

Rabu, 28 Oktober 2009

Mencermati Model Pembacaan Teks Al-Qur’an & Kritik Wacana Keagamaan Nasr Hamid Abu Zaid


A. Pendahuluan
Wacana keagamaan yang berkembang dan tumbuh subur di masyarakat Islam tidak dapat berhubungan, berdialog, bahkan menyentuh ilmu pengetahuan yang berkembang pesat di dunia Barat sejak XIV hingga abad XX M. Terisolasinya wacana keagamaan dari ilmu pengetahuan tersebut karena paradigma dan mekanisme berpikir yang digunakan oleh para cendekiawan muslim. Di mata Nasr, baik Islamis radikal maupun Islamis moderat memiliki paradigma dan mekanisme berpikir yang sama.
Abu Zaid melihat bahwa wacana keagamaan sudah sangat keruh karena adanya endensi ideologis yang membayanginya. Semua karya pemikiran keagamaan, baik bidang teologi, tafsir, fiqh, maupun yang lainnya tidak terlepas dari tendensi ideologis sang pengarang. Artinya, mereka diwarnai oleh kepentingan pribadi maupun kelompok, baik yang bersifat kepentingan ekonomi, sosial, budaya, politik, maupun interes-interes lainnya. Oleh karena itu, Abu Zaid berupaya melepaskan umat Islam dari kungkungan pemikiran keagamaan yang telah terkontaminasi oleh interes-interes subjektif tersebut dengan cara membongkar ideologi yang melingkupinya. Ia berupaya keras mengajak umat Islam untuk membaca al-Qur’an maupun sumber pemikiran keagamaan lainnya secara terbuka, objektif, dan produktif.
Tulisan ini berusaha untuk menarik implikasi pola pikir kritis Abu Zaid terhadap wacana keagamaan dalam proses pembelajaran matakuliah teologi di perguruan tinggi. Pembelajaran di perguruan tinggi dipilih karena berdasarkan pertimbangan perkembangan kognitif dan afektif dari taksonomi Bloom. Dari sisi domain kognitif, mahasiswa dianggap telah mampu untuk diajak berpikir pada level analisis, sintesis, dan evaluasi. Sementara itu, dari sisi domain afektif, mereka dianggap mampu untuk memberikan penilaian dan mengambil sikap. Hal itu memungkinkan mereka untuk diajak berpikir dengan gaya berpikir kritis Abu Zaid. Adapun matakuliah teologi dipilih sebagai contoh dari matakuliah ilmu-ilmu keislaman karena teologi mempunyai karakter khas, yakni teologi dapat mengkristal dalam bentuk ideologi sehingga dapat memungkinkan seseorang belajar teologi hanya untuk mengokohkan ideologinya. Untuk menghindari pembelajaran matakuliah teologi yang berkecenderungan tendensius, ideologis, dan normatif, maka perlu kembangkan model pembelajaran yang membuat mahasiswa aktif, kreatif, dan inovatif. Tulisan ini pada hakikatnya hendak memberikan alternatif pembelajaran yang membuat mahasiswa dapat menyikapi pemikiran teologi khususnya dan ilmu-ilmu keislaman lain pada umumnya secara kritis, konstruktif, proporsional, dan produktif.

B. Biografi Nasr Hamid Abu Zaid Nahdiyyin
Siapa sebenarnya Nasr Hamid Abu Zayd? Ia orang Mesir asli, lahir di Tantra, 7 Oktober 1943. Pendidikan tinggi, dari S1 sampai S3, jurusan sastra Arab, diselesaikannya di universitas Cairo, tempatnya mengabdi sebagai dosen sejak 1972. Namun ia pernah tinggal di Amerika selama dua tahun (1978-1980), saat memperoleh beasiswa untuk penelitian doktoralnya di Institute of Middle Eastern Studies, University of Pennsylvania, Philadelphia. Karena itu ia menguasai bahasa Inggris lisan maupun tulisan. Ia juga pernah menjadi dosen tamu di universitas Osaka, Jepang. Di sana ia mengajar bahasa Arab selama empat tahun (Maret 1985-Juli 1989). Karya tulisnya yang telah diterbitkan antara lain: [1] “Rasionalisme dalam Tafsir: Studi Konsep Metafor menurut Mu’tazilah” (al-Ittijah al-‘Aqliy fi-t Tafsir: Dirasah fi Mafhum al-Majaz ‘inda al-Mu’tazilah. Beirut 1982), [2] “Filsafat Hermeneutika: Studi Hermeneutika al-Qur’an menurut Muhyiddin ibn ‘Arabi” (Falsafat at-Ta’wil: Dirasah fi Ta’wil al-Qur’an ‘inda Muhyiddin ibn ‘Arabi. Beirut, 1983), [3] “Konsep Teks: Studi Ulumul Qur’an” (Mafhum an-Nashsh: Dirasah fi ‘Ulum al-Qur’an. Cairo, 1987), [4] “Problematika Pembacaan dan Mekanisme Hermeneutik” (Isykaliyyat al-Qira’ah wa Aliyyat at-Ta’wil. Cairo, 1992), [5] “Kritik Wacana Agama” (Naqd al-Khithab ad-Diniy. 1992) dan [6] “Imam Syafi’i dan Peletakkan Dasar Ideologi Tengah” (al-Imam asy-Syafi’i wa Ta’sis Aidulujiyyat al-Wasathiyyah. Cairo, 1992). Kecuali nomor satu dan dua, yang berasal dari tesis master dan doktoralnya, tulisan-tulisan Abu Zayd telah memicu kontroversi dan berbuntut panjang.
Ceritanya bermula di bulan Mei 1992. Abu Zayd mengajukan promosi untuk menjadi guru besar di fakultas sastra universitas Cairo. Beserta berkas yang diperlukan ia melampirkan semua karya tulisnya yang sudah diterbitkan. Enam bulan kemudian, 3 Desember 1992, keluar keputusannya: promosi ditolak. Abu Zayd tidak layak menjadi profesor, karya-karyanya dinilai kurang bermutu bahkan menyimpang dan merusak karena isinya melecehkan ajaran Islam, menghina Rasulullah Saw, meremehkan al-Qur’an dan menghina para ulama salaf.
Harian al-Liwa’ al-Islami dalam editorialnya 15 April 1993 mendesak pihak universitas Cairo agar Abu Zayd segera dipecat karena dikhawatirkan akan meracuni para mahasiswa dengan pikiran-pikirannya yang sesat dan menyesatkan. Pada 10 Juni 1993 sejumlah pengacara, dipimpin oleh M. Samida Abdushshamad, memperkarakan Abu Zayd ke pengadilan Giza. Pengadilan membatalkan tuntutan mereka pada 27 Januari 1994. Namun di tingkat banding tuntutan mereka dikabulkan. Pada 14 Juni 1995, dua minggu setelah universitas Cairo mengeluarkan surat pengangkatannya sebagai profesor, keputusan Mahkamah al-Isti’naf Cairo menyatakan Abu Zayd telah keluar dari Islam alias murtad dan, karena itu, perkawinannya dibatalkan. Ia diharuskan bercerai dari istrinya (Dr. Ebtehal Yunis), karena seorang yang murtad tidak boleh menikahi wanita muslimah. Abu Zayd mengajukan banding. Sementara itu, Front Ulama al-Azhar yang beranggotakan 2000 alim ulama, meminta Pemerintah turun tangan: Abu Zayd mesti disuruh bertaubat atau-kalau yang bersangkutan tidak mau-maka ia harus dikenakan hukuman mati. Tidak lama kemudian, 23 Juli 1995, bersama istrinya, Abu Zayd terbang melarikan diri ke Madrid, Spanyol, sebelum akhirnya menetap di Leiden, Belanda, sejak 2 Oktober 1995 sampai sekarang. Mahkamah Agung Mesir pada 5 Agustus 1996 mengeluarkan keputusan yang sama: Abu Zayd dinyatakan murtad dan perkawinannya dibatalkan. Dalam putusan tersebut, kesalahan-kesalahan Abu Zayd disimpulkan sebagai berikut:
1. Berpendapat dan mengatakan bahwa perkara-perkara ghaib yang disebut dalam al-Qur’an seperti ‘arasy, malaikat, syaitan, jinn, surga dan neraka adalah mitos belaka.
2. Berpendapat dan mengatakan bahwa al-Qur’an adalah produk budaya (muntaj tsaqafi), dan karenanya mengingkari status azali al-Qur’an sebagai Kalamullah yang telah ada dalam al-Lawh al-Mahfuz.
3. Berpendapat dan mengatakan bahwa al-Qur’an adalah teks linguistik (nashsh lughawi) [Ini sama dengan mengatakan bahwa Rasulullah Saw telah berdusta dalam menyampaikan wahyu dan al-Qur’an adalah karangan beliau].
4. Berpendapat dan mengatakan bahwa ilmu-ilmu al-Qur’an (‘ulum al-Qur’an), adalah “tradisi reaktioner” serta berpendapat dan mengatakan bahwa Syari’ah adalah
faktor penyebab kemunduran Umat Islam.
5. Berpendapat dan mengatakan bahwa iman kepada perkara-perkara ghaib merupakan indikator akal yang larut dalam mitos.
6. Berpendapat dan mengatakan bahwa Islam adalah agama Arab, dan karenanya mengingkari statusnya sebagai agama universal bagi seluruh umat manusia.
7. Berpendapat dan mengatakan bahwa teks al-Qur’an yang ada merupakan versi Quraisy dan itu sengaja demi mempertahankan supremasi suku Quraisy.
8. Mengingkari otentisitas Sunnah Rasulullah Saw.
9. Mengingkari dan mengajak orang keluar dari otoritas “teks-teks agama” [maksudnya: al-Qur’an dan Hadits].
10. Berpendapat dan mengatakan bahwa patuh dan tunduk kepada teks-teks agama adalah salah satu bentuk perbudakan.
Reaksi pro dan kontra bermunculan, dari kalangan intelektual maupun aktivis HAM. Pelbagai media di Barat kontan mengecam keputusan tersebut seraya memihak dan membela Abu Zayd. Opini dunia digiring supaya terkesan seolah-olah Abu Zayd telah dizalimi dan ditindas, bahwa hak asasinya dirampas, bahwa kebebasan berpendapat dan berekspresi telah dipasung.
Pemikiran Nasr yang kontroversial tersebut sebagai produk latar belakang pendidikan dan pemikiran keagamaannya. Meskipun Nasr sekolah di sekolah Teknik, bahkan ia pernah bekerja sebagai teknisi elektronik di Organisasi Komunikasi Nasional, tetapi sebelum itu, ia telah hafallengkap al-¬Qur’an sejak usia 8 tahun. Sarangkali ini yang menjadi penyebab mengapa ia memiliki perhaticn yang cukup besar terbadap interpretasi al-Qur’an. Sementara itu mengapa Nasr tertarik untuk menafsirkan al-Qur’an dengan meuggunakan teori kritik sastra?: Hal ini dapat dimengerti karena Nasr mendapat gelar SA di bidang bahasa dan sastra Arab pad a fakultas sastra universitas Kairo. Kemudian ia melanjutkan studi di bidang yang sama di Universitas Amerika di Mesir. Selanjutnya ia juga concern melakukan kajian terhadap wacana keagamaan, karena studi pascasarjananya, baik S-2 maupun S-3nya mengambil konsentrasi bahasa Arab dan IslamicStudies.
Pemikiran keagamaannya mulai terbangun sejak usia sebelas (11) tahun, ketika ia bergabung dengan Ikhwan al-Muslimin. Ikhwan al-Muslim adalahorganisasi Islam yang beranggotakan Islamis moderat. Bergabungnya Nasr dalam organisasi tersebut sedikit banyak berpengaruh terhadap cara pandangnya terhadap Islam dan pemikiran Islam. Selanjutnya pergumulannya dengan dunia sastra, mengantarkannya untuk bersentuhan dan bermesraan dengan teori dan kritik sastra serta filsafat termasuk di dalamnya hermeneutika.Sementara, perhatiannya terhadap pemikiran Islam membawanya untuk berdilog dengan pendekatan-pendekatan ilmiah Barat, rasionalisme, kritisisme, dan Fenomenologi.

C. Wacana Keagamaan Nasr Hamid Abu Zaid
Rekonstruksi dan pembaharuan yang dilakukan Abu Zaid tidak terlepas dari konteks wacana keagamaan kontemporer dalam menyikapi warisan intelektual maupun pembaharuan. Dalam konteks ini, intelektual muslim dihadapkan pada posisi yang dilematis, yakni mempertahankan identitas atau mengikuti tuntutan modernitas. Akhirnya, desakan modernisasi di bidang sosial, ekonomi, politik, kultural, dan intelektual telah memaksa mereka untuk merekonstruksi pemikiran Islam.
Sayangnya, baik intelektual muslim yang memilih untuk mengikuti modernitas (ulama sekuler), yang mempertahankan tradisi klasik (ulama konservatif), maupun yang berusaha menyikapi keduanya secara proporsional (ulama moderat) pada akhirnya terjebak pada upaya untuk mendukung ideologi tertentu sebagai upaya untuk memenuhi interes-interes pribadi maupun kelompok. Bahkan mereka telah menjadikan al-Qur’an sebagai konsumsi politik, sosial, dan kultural. Mereka tidak lagi menafsirkan al-Qur’an secara objektif-produktif (qira’ah muntijah), melainkan tendensius-ideologis (qira’ah mughridlah tawlwiniyyah). Kondisi ini diperparah lagi dengan upaya beberapa ulama untuk menutup pintu ijtihad sehingga penafsiran terhadap al-Qur’an dan ilmu-ilmu keislaman bersifat repetitif. Tidak ada lagi kajian yang terbuka, kritis, objektif, dan produktif terhadap wacana keagamaan.
Fenomena tersebut berlangsung dalam beberapa abad (abad tengah sampai abad modern) sehingga membuat percampuran antara esensi ajaran Islam dengan pemikiran umat Islam sangat kusut. Abu Zaid berhasil mengidentifikasi kekusutan tersebut dalam lima bentuk.
1. Ada upaya pengidentikan “pemikiran keagamaan” dengan “agama”. Hal ini menyuburkan justifikasi kebenaran karena apa yang sebenarnya hanya sekadar pemikiran dianggap sebagai esensi agama. Penafsiran terhadap al-Qur’an dianggap setara dengan al-Qur’an itu sendiri sehingga menjadi absolut dan tak boleh disentuh logika.
2. Penjelasan semua fenomena dikembalikan kepada prinsip penyebab tunggal (causa prima). Artinya, penjelasan terhadap semua persoalan, baik menyangkut persoalan sosial maupun kealaman cukup dijelaskan bahwa semuanya terjadi atas kehendak Tuhan sehingga logika kritis tidak diperlukan lagi.8 Sebagai contoh, pertanyaan tentang mengapa terjadi kemiskinan, kesenjangan sosial, banjir tsunami, dan sebagainya cukup dijawab dengan satu jawaban, yakni itu semua terjadi karena kehendak Allah.
3. Ada ketergantungan absolut pada otoritas salaf. Semua persoalan dicarikan penjelasan dan penyelesaiannya dengan menggunakan kitab-kitab karya ulama abad tengah yang belum tentu masih relevan untuk memecahkan persoalan-persoalan kekinian. Bahkan, umat Islam cenderung menganggap teks-teks tradisional salaf tersebut seolah-olah setara dengan teks primer, al-Qur’an, dan diberi kesucian setara dengan kesucian al-Qur’an.
4. Tumbuhnya sikap truth-claim sehingga menolak adanya perbedaan pendapat sama sekali. Sikap ini merupakan dampak dari fenomena pertama sampai ketiga yang menggejala.
5. Pengabaian terhadap dimensi historis. Mereka tidak bersedia melihat bahwa pembentukan umat Islam dari zaman Nabi Muhammad hingga tercapainya masa kejayaan umat Islam pada masa khulafaurrasyidin maupun Turki Usmani memerlukan proses sejarah yang panjang. Pemikiran keislaman juga bukan merupakan produk pemikiran final yang sudah terekstraksi pada zaman nabi, melainkan telah berproses selama lima belas abad lebih. Sikap pengabaian terhadap dimensi historis tersebut telah membuat mereka larut ke dalam nostalgia kejayaan umat Islam di masa lalu tanpa mau belajar dari pengalaman sejarah yang berharga tersebut untuk pengembangan umat Islam di era sekarang ini.
Melihat kenyataan tersebut, Abu Zaid berusaha membebaskan masyarakat dari kungkungan ideologi dengan cara membaca seluruh warisan intelektual Islam secara kritis dan produktif (qira’ah muntijah). Tujuannya adalah untuk mempelajari kembali al-Qur’an maupun hasil karya pemikiran umat Islam sebagai interpretasi atas al-Qur’an secara ilmiah, terbuka, dan produktif9 sehingga esensi ajaran yang terdapat dalam semua pemikiran umat Islam dapat dipisahkan dari tendensi ideologis yang membayanginya.

D. Model Pembacaan Teks Al-Qur’an Nasr Hamid Abu Zaid

Menurut Nasr Hamid Abu Zayd, kajian terhadap teks agama yang selama ini berkembang jauh dari aspek kesejarahan. Yang dimaksud di sini bukan jauh dari peristiwa sejarah yang menyertai turunnya nas, yang biasa disebut asbab al-nuzul, tetapi jauh dari historisitas makna yang terkandung dalam teks. Kajian ini biasanya merupakan kajian terhadap historisitas bahasa teks, termasuk di dalamnya masalah bahasa dan budaya masyarakat yang memproduk, membangun, atau menyusun teks tersetut.
Seharusnya kajian terhadap scbuah teks tidak hanya berhenti pada makna yang tersurat teks tersebut, tetapi apa yang dimaksud diba1ik makna teks (signifikansi) yang tersurat. Teks yang menjadi obyek kajian, juga tidak disentuh secara menyeluruh. Meski semua wacana keagamaan membenarkan dilakukannya kajian ulang terhadap teks-teks keagamaan dengan menggunakan pendekatan yang berbeda sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada, namun hanya terbatas pada persoalan perundang-undangan agama (fiqh), dan sama sekali tidak menyentuh bahkan menolak kajian terhadap persoalan aqidah dan cerita-cerita agama.
Teks-teks tentang aqidah seharusnya diperlaukan sama sebagaimana teks perundangan (fiqh) yang terus dikaji, sehingga ditemukan substansi makna bahkan yang ada di balik subtansi tersebut, demikian juga dengan cerita-cerita dalam teks tersebut. jika teks agama (al-Qur’an) dikaji secara menyeluruh tanpa ada diskriminasinya obyek kajian, dengan menggunakan paradigma dan pendekatan ilmu pengetahuan yang berkembang akhir-akhir ini, sebagaimana yang disarankan baik oleh M. Arkoun maupun Ibrahim Ibn Rabi’, maka universalitas al-Qur’an akan dapat dirasakan oleh tidak hanya masyarakat muslim tetapi oleh semua manusia.
Sebagai teks bahasa. Al-Qur'an dapat disebut sebagai teks sentral dalam sejarah peradaban Arab. Bukan bermaksud menyederhanaan jika dikatakan bahwa peradaban Arab-Islam adalah "peradaban teks". Artinya, bahwa dasar-dasar ilmu dan budaya Arab-Islam tumbuh dan berdiri tegak di atas landasan di mana "teks" sebagai pusatnya tidak dapat diabaikan. Ini tidak berarti bahwa yang membangun peradaban hanya teks semata. Sebab, teks apa pun tidak dapat membangun peradaban dan tidak pula mampu memancangkan ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Peradaban dan kebudayaan dibangun oleh dialektika manusia dengan realitas di satu pihak, dan dialognya dengan teks di pihak lain. Peradaban dibentuk oleh interaksi dan dialektika manusia dengan realitas, dengan segala struktur yang membentuknya; ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Dalam peradaban kita, Al-Qur'an memiliki peran budaya yang tak dapat diabaikan dalam membentuk wajah peradaban dan dalam menentukan sifat dan watak ilmu-ilmu yang berkembang di dalamnya. Kalau boleh menyimpulkan peradaban dalam satu dimensi saja maka dapat dikatakan bahwa peradaban Mesir Kuno adalah peradaban "pascakematian", peradaban Yunani adalah peradaban "akal", sementara peradaban Arab-Islam adalah peradaban "teks".
Oleh karena peradaban Arab memberikan prioritas sedemikian rupa terhadap teks Al-Qur'an dan menjadikan interpretasi sebagaia metode, maka dapat dipastikan bahwa peradaban ini memiliki suatu konsep, meskipun implicit, tentang hakikat teks dan metode-metode interpretasinya. Meski demikian, dalam kenyataannya aspek interpretasi mendapatkan sedikit perhatian dalam beberapa kajian yang difokuskan pad ilmu-ilmu agama semata dengan mengabaikan ilmu-ilmu lainnya, sementara konsep "teks" belum disentuh melalui kajian yang mampu mengeksplorasi konsep tersebut dalam tradisi kita-jika memang ada, atau berusaha merumuskan dan mengkristalkannya jika konsep itu belum ada. Pengkajian konsep teks tidak sekedar petualangan intelektual dalam tradisi saja, tetapi lebih dari itu merupakan pencarian "dimensi" yang hilang dalam tradisi tersebut, yaitu dimensi yang dapat membantu kita untuk merumuskan "kesadaran ilmiah" atas tradisi.
Sebenarnya kajian tentang konsep teks adalah kajian tentang hakikat dan sifat Al-Qur'an sebagai teks bahasa. Ini berarti bahwa kajian ini memperlakukan Al-Qur'an sebagai kitab Agung berbahasa Arab. Kajian ini membicarakan pengaruh abadi kesustraannya. Al-Qur'an merupakan kitab stilistika Arab yang paling sakral, apabila di dalam agama memang dipandang demikian atau tidak. Pengkajian sastra Al-Qur'an dalam tataran stilistikanya- tanpa mempertimbangkan aspek keagamaanny. Kajian sastra – dengan "teks" sebagai konsep sentralnya – cukup menjamin terwujudnya "kesadaran ilmiah" yang dapat kita pergunakan untuk mengatasi dominasi "kepentingan ideologis" dalam peradaban dan pemikiran kita. Namun demikian, kajian tentang konsep tersebut dan upaya mengkristalkan serta merumuskannya, dapat dilakukan apabila ilmu-ilmu Al-Qur'an dibaca ulang dengan pembacaan baru dan serius. Apa yang dilakukan oleh wacana agama kontemporer terhadap "ilmu-ilmu Al-Qur'an", demikian pula terhadap "ilmu-ilmu hadits"
Proses tersebut pada dasarnya merupakan respons cultural terhadap situasi yang mengharuskan nalar Arab menarik diri ke dalam, berlindung di dalam wilayah ilmu "teks" dan berkonsentrasi pada kebudayaan dan pemikiran sendiri untuk melindungi dan mempertahankan kebudayaan dari kemusnahan dan kehancuran. Apabila kesatuan politik telah menjadi ilusi akibat kekuasaan minoritas militer itu sendiri maka kesamaan cultural dan intelektual dapat menjadi realitas seubstansional yang dapat diandalkan untuk menghadapi perpecahan politik. Apabila tiang-tiang penyangga imperium Islam dengan kekuasaannya yang membentang telah runtuh, dan wilayah-wilayah pinggiran telah terampas maka "kesamaan budaya" akan tetap meneguhkan keunggulan kaum muslimin atas musuh-musuh mereka.
Nasr Hamid Abu Zayd dianggap demikian karena pendapatnya tentang tekstualitas al-Qur’an. Ia menyatakan bahwa teks-teks agama (al-Qur’an) tidak lain adalah teks bahasa, dalam arti bahwa teks tersebut berkembang pada bangunan budaya tertentu. Teks al-Qur’an tidak terlepas dari aturan dan realitas bahasa budaya dimana sebuah teks itu muncul. Oleh karena itu, pemaknaan al-Qur’an sangat terbuka untuk di interpretasikan kembali bersamaan dengan perubahan dunia “pembacaan teks” yang sangat bergantung pada realitas bahasa dan budaya.

E. Kesimpulan
Berdasarkan kajian terhadap tulisan Nasr Hamid Abu Zayd dalam paparan di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
Kerangka Pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd dipengaruhi oleh dua hal
1. Latar belakang pendidikannya Nasr hafal al-Qur’an sejak usia 3 tahun, kuliah di jurusan Bahasa dan Sastra Arab, selanjutnya program pascasarjananya mengambil konsentrasi Islarnic Studies
2. Pergulatan pemikiran keagamaan Masuknya Nasr pada organisasi lkhwan al-Muslimin, dialognya dengan wacana keagamaan di Mesir, Islamis (Radikal & Moderat) dan Sekularis (Radikal & Moderat), dan dialognya dengan ilmu Humaniora, sosial, serta ilmu alam
Nasri Hamid Abu Zayd berangkat dari kegelisahannya menghadapi wacana keagamaan yang berkembang dan tumbuh subur di masyarakat Islam. Wacana keaganaan yang tidak dapat berhubungan, berdialog, bahkan menyentuh ilmu pengetahuan yang berkembang pesat di dunia Barat. Terisolasinya wacana keagamaan dari ilrnu pengetahuan tersebut menurutnya karena paradigma dan mekanisme berpikir yang digunakan. Di mata Nasr, baik Islam is radikal maupun Islamis moderat memiliki paradigma dan mekanisme berpikir yang sama. Paradigma berfikirnya merujuk pada Hakimiyyah (Tahkim al-Nas) dan Pembacaan Nasy. teks yang subyektif.

Pola pikir Abu Zaid yang kritis terhadap wacana keagamaan dengan membongkar tendensi ideologis yang mengungkungnya ternyata tidak hanya sekadar berimplikasi teoretis, tetapi ia juga mempunyai implikasi praktis. Secara spesifik, pola pikir tersebut dapat diadopsi dalam desain proses pembelajaran ilmu-ilmu keislaman. Untuk mencetak mahasiswa perguruan tinggi Islam (PTAI) yang dapat mengikuti pola pikir kritis dan produktif Abu Zaid, proses pembelajaran didesain dalam bentuk pembelajaran aktif sehingga memungkinkan peserta didik berpikir kritis, produktif, inklusif, dan proporsional.
Namun demikian, perlu disadari bahwa untuk membongkar interes-interes yang ada di balik karya pemikiran keagamaan belum mungkin dilakukan secara maksimal oleh mahasiswa, khususnya mahasiswa strata satu. Sebagai pengganti model kritik ideologi yang dilakukan oleh Abu Zaid, mereka diajak untuk mengeksplorasi seluruh varian pemikiran, mengelaborasi metode dan latar belakang pemikirannnya, dan memetakannnya dalam konstelasi pemikiran keagamaan maupun sains kontemporer sehingga mereka dapat memahami inti pemikiran, posisinya dan implikasi praktisnya. Dengan cara demikian, mereka diharapkan dapat menyikapi semua pemikiran teologi dan keislaman lainnya secara kritis, konstruktif, inklusif, produktif dan proporsional.

DAFTAR PUSTAKA

Ichwan, Nur. 2003. Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur’an: Teori Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zaid. Bandung: Teraju
Sunarwoto, 2003. “Nasr Hamid Abu Zaid dan Rekonstruksi Studi-Studi al-Qur’an” dalam Sahiron Syamsuddin, dkk, Hermeneutika al-Qur’an Mazhab Yogya. Yogyakarta: Islamika
Suparjo, 2007. Pemikiran Kritis Abu Zaid (Purwokerto: Insania,
Zaid, Nasr Hamid Abu, 1994. Al-Nash, al-Sulthah, al-Haqiqah: al-Fikr al-Dini bain Iradat al-Ma’rifat wa iradat al-Haiminat. Beirut: Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabi.
Zaid, Nasr Hamid Abu. 2001. Tekstualitas al-Qur’an: Kritik terhadap Ulum al-Qur’an, terj. Khoiron Nahdliyyin.Yogyakarta: LKiS
http://sastrasantri.worpress.com. Nasr Hamid Abu Zaid dan Wacana Keagamaan (di akses tgl. 21 Oktober 2009, pukul. 22.15)

0 komentar:

Template by - Abdul Munir - 2008