ADILA

Minggu, 30 Agustus 2009

MEMBUMIKAN FIQH HUMANIS NANGGROE ACEH DARUSSALAM


A. Pengantar
Siapa yang tidak kenal Aceh? Bagi orang Indonesia, Aceh telah menjadi salah satu icon bersejarah yang akan selalu terngiang di setiap sanubari anak bangsa sepanjang masa. Betapa tidak, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang sebelum ini menyandnag status Daerah Istimewa, sejak tanggal 25 Maret 2002, propinsi yang berada di ujung barat Indonesia ini mendeklarasikan diri untuk bertekad melaksanakan Syari'at Isla. Dan keinginan itu sudah disambut oleh Pemerintah dan DPR dengan terbitnya Undang-Undang Khusus tentang NAD. Maka untul mengimplemenatsikan semangat tersebut, beberapa perangkat telah disiapkan, seperti Mahkamah Syar'iyah dan Wilayatul Hisbah dan beberapa qanun (perda Syari'ah). Dengan begitu, NAD akan menjadi salah satu pioner wilayah bernuansa Syari'at Islam yang benar-benar kaffah.
Mengingat sejarah sebelum kemerdekaan, NAD yang sebelumnya hanya disebut dengan Aceh dan merupakan wilayah yang dikenal denga sebutan serambi Makka, sebuah nama yang berkonotasi suci dan sakral. Dengan penamaan itu, Aceh telah menjadi pusat penyebaran Islam di Nusantara dan beberapa negara di Asia. Nama yang mencerminkan kepribadian dan kesalehan sosial masyarakat Aceh ini telah menjadi trademark yang senantiasa dapat dibanggakan. Hal ini dapat ditilik dalam gemuruh perang Aceh melawan penjajah yang telah melahirkan banyak pahlawan besar sekaliber Cuk Nyak dien dan Tengku Umar. Aceh tidak saja mencengangkan bagi penjajah, tapi telah memberikan harapan baru bagi penegakan syari'at Islam di negara keplauan Indonesia.
Sejak terjanga Tsunami, gaung penerapan Syari'at Islam di NAD sepertinya turut tenggelam ditelan kepedihan. Apalagi, kota Banda Aceh yang menjadi pusat pemerintahan mengalami kerusakan berat yang memeluluhlantakkan hampir 60 % bangunan di kota tersebut. Setelah pristiwa nahas itu berlalu, kini Aceh mulai kembali menjalankan misinya untuk menjalankan syariat Islam secara penuh. Untuk itu, perlu diusung sebuah pemikiran menciptakan fiqh humanis dengan maksud agar masyarakat Islam Aceh yang belum memahami betul persoalan dan seluk beluk Islam tidak serta merta menolaknya. Dalam tulisan ini, fikih Aceh digunakan dengan maksud untuk membedakan makna syari'at dan fikih yang masih sering digunakan secara bergantian. Syari'at merupakan ajaran murni yang diturunkan Allahj melalui al-Qur'an dan Hadits Rasul, sedangkan fikih berarti produk pemikiran ulama dalam memahami kedua sumber hukum Islam tersebut yang memiliki berbagai keterbatasan, termasuk wilayah pemberlakuan.

B. Tantangan Penerapan Syari'at Islam di NAD
NAD telah menjadi wilayah yang berkuasa penuh dalam menjalankan pemerintahannya. Peraturan-peraturan yang berlaku dapat bersifat khusus untuk masyarakat tanah rencong itu. Masyarakat Islam di luar Aceh banyak yang kemudian berbondong-bondong ingin meniru Aceh dengan menerbitkan peraturan-peraturan semacam qanun yang disebut peraturan daerah, misalnya Tasikmalaya, Cirebon dan Pamekasan. Namun, yang membedakan Aceh dengan tempat lain adalah bahwa di Aceh dilengkapi sarana Mahkamah Syar'iyyah (yang menggabungkan Peradilan Negeri dan Peradilan Agama) dan Wilayatul Hisbah (aparat semacam polisi penjaga ketertiban masyarakat) yang dapat dengan mudah menanhkap dan menghukum para pelanggar hukum.
Pro-kontra pemberlakuan Syari'at Islam di NAD hingga kini masih nyaring terdengar. Para akademisi asli di NAD yang tergabung dalam Aceh Institut, misalnya gencar menyuarakan perbaikan pola penerapan syari'at Islam di Aceh. Beberapa tokoh, seperti Mashudi SR dan Harjoni Desky, menyebutkan bahwa sudah saatnya kebijakan ini ditinjau ulang. Mereka berpendapat bahwa banyaknya pelanggaran di Aceh selama ini bukan berarti Aceh sudah tidak lagi Islami, namun penerapan yang menekankan formalisasi yang tidak membumi. Unutk itu perlu diadakan reorientasi penerapan syari'at Islam di Aceh dengan wajah yang lebih mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan.
Sementara ini, syari'at Islam yang diberlakukan di NAD dinilai cukup efektif pasca pemberlakuan Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syari'at Islam Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam, walaupun masih belum dikatakan maksimal. Hal ini dapat dilihat dari sisi berjalannya sistem yang telah dibuat, dari segi Qanun, Wilayatul Hisbah, dan Mahmakah Syar'iyyah. Qanun yang sementara ini telah berlaku adalah qanun tentang Khamar dan sejenisnya (Qanun Nomor 14 Tahun 2003), Maisir (Qanun Nomor 13 Tahun 2003) dan tentang Khalwat (Qanun Nomor 14 Tahun 2003). Beberapa puluh kasus telah diselesainkan oleh Mahkamah Syar'iyyah sebagaimana dilansir oleh beberapa media massa, seperti Serambi Indonesia. Dalam beritanya tanggal 14 Juli 2007 menggambarkan tiga orang yang dikenai hukuman jilid 40 kali dengan rotan karena ditemui sedang menenggak minuman keras.
Sesuatu yang menarik untuk dicermati adalah bahwa pemberlakuan Syari'at Islam, atau lebih mudahnya Fikih Aceh, seringkali dikenakan kepada orang-orang kecil atau masyarakat biasa yang setiap harinya sudah ditakut-takuti oleh Wilayatul Hisbah. Mereka sepertinya menjadi korban kebijakan pemerintah yang tidak terlebih dahulu mensosialisasikan peratran tersebut. Ironisnya banyak pejabat yang melanggar namun tidak dikenai hukuman apapun. Mereka sepertinya bebas dari peraturan tersebut. Oleh sebab itu, pelaksanaan syari'at Islam di Aceh harus diliha dari peraturan tersebut. Oleh sebab itu, pelaksanaan syari'at Islam di aceh harus dilihat dengan kacamata jernih dan pikiran yang memihak kepada semua kalangan. Pelaksanaan cambuk memang dimaksudkan untuk memberikan efek jera, namun, banyak orang masih juga belum sadar dan terus menerus mencari cela untuk tetap melaksanakan maksiat itu. Untuk itu, perlu dicermati dan poin berikut ini.

1. Qua vadis Potong Tangan dan Rajam
Pertanyaan ini menggelitik, karena selama ini, orang-orang yang menolak syari'at Islam dikarenakan oleh trauma masa lalu yang meniscayakan potong tangan bagi para pelaku pencurian dan rajam bagi para pelaku zina. Untuk hukum pezina hingga kini di aceh belum di buat namun hukum pencurian nemapknya tidak lama lagi akan disahkan. Pertanyaan adalah apakah dengan potong tangan semua masalah pencurian akan selesai ? bagaimana kalau pencurian itu diartikan lebih luas? Apakah para koruptor yang sesungguhnya dapat dikategorikan sebagai kelas kakap dikenai hukuman ? kepincangan hukum semacam ini tentu akan menjadi bomerang bagi peneraan Syari'at Islam di NAD.
NAD sebagai wilayah yang menjungjung Syari'at Islam sepertinya justru semakin tidak Islam ketika syari'at Islam diterapkan. Para tokoh agama di aceh harusnya memusyawarahkan dengan seksama agar terciptanya fikih yang menghormati nilai-nilai kemanusiaan secara sempurna. Fikih aceh yang humanis akan tercipta apabila masyarakat Aceh mampu memhami syari'at Islam dengan sebaik-baiknya, yang mendasarkan kepada ajaran qur'an Hadits.
Potong tangan yang diidentikkan dengan perilaku pencurian perlu dilakukan interpretasi lebih flrksibel. Efe jera yang dihasilkan oleh hukuman potong tangan boleh jadi akan terwujud. Tetapi masalahnya, tidak seluruh pencurian harus dikenai hukuman potong tangan. Terlebih lagi, tidak semua ulama menyetujui eksekusi model ini. Oleh sebab itu, masyarakat aceh, yang diwakili para tokoh agamanya, harus melakukan diskusi intensif untuk merumuskan ijma' (konsensus) sebelum memutuskan bentuk konkret sanksi bagi pelaku pencurian.
Stelah itu, tahap yang tidak boleh dilupakan adalah sosialisasi keputusan tersebut yang telah dibentuk dalam qanun kepada masyarakat luas. Hukuman ini juga harus dapat berlaku untuk semua kalangan tanpa terkecuali. Semangat ini telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad yang berjanji akan memotong tangan Fatimah (putri kesayangannya), apabila ia mencuri. Fenomena yang popular terjadi sekarang ini adalag model pemberlakuan hukum yang lebih menekan masyarakat kecil yang hidupnya sudah lelah dihimpit kekurangan dan ketidakadilan. Oleh sebab itu, seperti dicontohkan Umar r.a. apabila pencurian itu dilakukan karena tuntutan ekonomi, maka perlu verifikasi sebelum penjatuhan hukuman yang bisa akan melepas pelaku pencurian tanpa pemberian sanksi apapun. Dalam kondisi ini, pihak yang justru bertanggung jawab adalah para pejabat yang telah menikmati hasil jerih payah rakyat dalam bentuk fasilitas yang sering tergolong mewah.
Untuk kasus aceh, apabila pasca Tsunami, kondisi perekonomian masyarakat masih tergolong belum pulih. Penerapan sanksi potong tangan secara serampangan nampaknya akan menambah trauma psikologis berkepanjangan bagi masyarakat. Tentunya, sikap ini akan menjatuhkan Aceh dari penerapan syari'at Islam secara kaffah.

2. Efektifitas Wilayah Hisbah
Peran wilayatul hisbah memang dapat diakui aparat penegak keadilan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Pada zaman Rasul wilayatul hisbah telah dibentuk. Bahkan Nabi sendiri pun sekaligus menjabat sebagai wilayaul hisbah. Tugasnya adalah meneliti dan mengontrol perilaku masyarakat yag dinilai tidak berlandaskan ajaran Islam. Seperti kasus penjual gandum yang meletakkan gandum basah di bawah gandum kering sehingga saat ada pembeli gandum basah akan bisa masuk timbangan karena pembeli hanya melihat gandum keringnya saja. Nabi sempat marah dan bersabda bahwa mereka yang menipu bukan golongan umatnya.
Terkait dengan NAD, wilayatul hisbah merupakan suatu kemajukan karena peraturan tidak alan berlaku efektif kalau tidak ada penegak hukum. Sementara ini yang dirasakan oelh rakyat Indonesia adalah bahwa penegakan hukum di Indonesia masih lebih bersifat tebang pilih, artinya orang kecil dan lemahlah yang selalu menjadi bulan-bulanan aparat penegak hukum sedangkan mereka yang menjadi pelaku kejahatan yang lebih besar justru aman-aman saja. Terus apa kata dunia????
Dalam penegakan hukum, sikap tegas aparat memang dibutuhkan. Akan tetapi, ketegasan yang lebih dekat dengan kegarangan akan menyebabkan trauma dan kebencian masyarakat terhadap penegak hukum. Masyarakat justru akan memusuhi aparat yang berlagag berkuasa dan ingun menang sendiri.
Di sisi lain, beberapa aksi protes dilancarkan oleh sejumlah pesantren di bawah naungan Rabithah Thaliban aceh yang menilai bahwa penegakan hukum di NAD kini kian melambat. Mereka bahkan mengancam akan menegakkan Syari'at Islam dengan cara mereka sendiri. Ini membuktikan bahwa penegakan hukum melalui wilayatul hisbah memang masih dibutuhkan karena merekalah yang memiliki peralatan dan perlengkapan untuk membuat jera para pelaku maksiat. Namun sayang, apabila mereka sendiri yang melakukan pelanggaran seringkali mereka tidak tersentuh hukum. Ini adalah sebuah ironi yang haus segera dibenahi.
Fakta lain yang perlu mendapat perhatian adalah bahwa pelaksanaan syari;at Islam di NAD asih bersifat simbolik. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa banyak anak perempuan yang menggunakan jilbab hanya saat mereka berada di NAD. Saat mereka kelaur NAD, mereka dengan mudah melepaskan jilbab dan mengumbar aurat. Begitu pula para pemabuk dan penjudi. Mereka kalaulah karena takut hukuman jilid, mereka cukup keluar NAD untuk memenuhi hajat bermaksiat. Ini berarti ada yang salah dalam mental orang Aceh. Pembenahan pelaksanaan fikih Aceh seharusnya melibatkan seluruh eleman masyarakat sehingga aceh yang Islami akan dapat dieujudkan. Kekhawatiran banyak kalangan adalah bahwa penerapan syari'at Islam di NAD hanya menjadi komoditas politik para pejabat, bukan merupakan kebutuhan Aceh sendiri.
Di era global, NAD bukan wilayah yang tidak tersentuh pergaulan dunia. Sarana informasi saat ini sungguh gencar masuk ke rumah-rumah di wilayah paling terpencil sekalipun. Sejumlah budaya barat yang jelas-jelas merusak moral sedemikian mudah diakses anak-anak muda kita. Bagaimana fikih Aceh menyelesaikan semua problem ini.
Dapat diyakini bahwa syari'at Islam di Aceh masih parsial. Untuk menerapkan syari'at Islam secara kaffah sudah barang tentu membutuhkan rentang waktu yang cukup lama. Untuk itu, perjalanan syari'at Islam di Aceh bukannya dihentikan karena dianggap belum mumpuni, namun justru harus didukung seluruh rakyat Aceh bahka seluruh yang menginginkan syari'at Islam. Alangkah indahnya hidup ini kalau semua tata di Indonesia mengingat masyarakatnya sangat heterogen dan telah memiliki budaya yang lama berakar di masyarakat.

C. Penutup
Dari ulasan di atas, dapat disimpulkan bahwa penerapan syari'at Islam di Aceh perlu pemikiran yang jernih dan hati-hati. Para pejabat yang berkuasa harus merupakan orang-orang terpilih yang dengan hati nuraninya akan mampu mengusung syari'at Islam berwajah fikih khas Aceh yang humanis demi kesejahteraan masyarakat luas (kaffatan linnas), tanpa pilih kasih. Semoga, dengan demikian, Islam yang berslogan rahmatan lil 'alamin akan mudah terealisasi di NAD, Amin.

0 komentar:

Template by - Abdul Munir - 2008